Rabu, 29 April 2009

INDUSTRI SENI KRIYA SEBAGAI MEDIA PERCEPATAN KESEJAHTERAAN EKONOMI KERAKYATAN[1]

INDUSTRI SENI KRIYA
SEBAGAI MEDIA PERCEPATAN KESEJAHTERAAN EKONOMI KERAKYATAN[1]
Dr. Timbul Raharjo, M. Hum.


A. Pendahuluan
Tampak judul di atas kental dengan nuansa ekonomi, namun penulis bukanlah seorang ekonom. Penulis adalah seorang kriyawan yang mencoba melihat sisi seni kriya dari perspektif ekonomi yang ternyata mampu mengangkat derajat perekonomian masyarakat perajin di beberapa wilayah Indonesia. Agar tidak salah tafsir dalam persoalan ini penulis menyebut dengan industri seni kriya. Oleh karena ada penambahan kata “industri”, maka seni kriya tidak lagi sebuah masterpiece, namun telah tereproduksi menjadi produk massal yang sering disebut dengan seni kerajinan. Sebab, seni kriya adalah sebuah karya yang diciptakan sebagai karya seorang kriyawan yang orisinal, kreatif, dan inovatif. Karya itu berdiri sebagai sebuah karya yang tiada duanya dan mampu memberikan sebuah produk baru sebagai karya seni kriya.
Tentu, hal ini menarik perhatian para pemerhati seni kriya. Apalagi jika teringat wajah kriyawan yang sering mengernyitkan jidat ketika hasil karyanya direproduksi para perajin seni kerajinan. Mereka gusar, marah, dan penuh segudang kejengkelan ketika mengetahui karya seni kriyanya diproduksi oleh perajin tanpa permisi. Terjadilah pertentangan antara kreativitas kriyawan dalam membuat karya dan kreativitas perajin dalam menjiplak seni kriya itu. Pertentangan itu terjadi diakibatkan kurangnya pengetahuan tata krama berbisnis di antara para perajin. Mereka menganggap persoalan karya kriya baru yang diciptakan kriyawan tidak memiliki nilai, karena beberapa perajin tidak pernah memikirkan betapa mahalnya sebuah ide kreativitas.
Pada beberapa tahun belakangan ini pemerintah menggalakkan apa yang disebut seni kreatif. Industri seni kreatif tersebut terus dipompa dengan harapan bahwa seni kreatif mampu memberikan inspirasi baru dalam persaingan global. Sebab, pada era global, ketika kreativitas membuat produk baru secara ekonomis dapat diterima masyarakat konsumen, maka daya saingnya semakin kuat. Dengan demikian, selanjutnya secara makro dapat membentuk ekonomi kreatif yang merupakan wujud dari upaya mencari titik temu pembangunan ekonomi masyarakat yang berkelanjutan melalui aspek kreativitas. Terbentuk pula suatu kelestarian iklim perekonomian yang berdaya saing tinggi, didukung cadangan sumber daya yang terbarukan dan tepat guna[2]. Banyak negara maju hanya mengandalkan kreativitasnya saja, seperti Jepang dan Korea. Dengan keterbatasan sumber daya alam namun karena kreativitasnya tetap mampu mengolah bahan yang didatangkan dari luar negaranya menjadi produk berdaya saing dan berteknologi tinggi. Nah, mampukah seni kriya sebagai bagian lahan kreativitas budaya bangsa Indonesia dapat dieksplorasi para kriyawan? Sesungguhnya juga dapat menjadi sebuah wilayah yang subur untuk meningkatkan daya saing bangsa Indonesia di mata dunia. Bukankah industri seni kriya saat ini mampu memberi nilai ekonomis dan banyak menyerap tenaga kerja?

B. Keadaan Dunia Seni Kriya
Seni kriya memiliki nilai artistik yang tinggi karena olah keterampilan tangan manusia. Olah seni itu umumnya terinspirasi atas kekayaan hasil seni dan budaya bangsa. Sebagai sebuah karakter budaya bangsa yang juga menggali sumber daya alam dan dipadu sumber daya manusianya, maka seni kriya memiliki aspek etnisitas yang mampu memberikan nuansa Indonesia. Aspek etnisitas itu terpancar dari keunikan eksplorasi seni tradisi Nusantara dan karakter bahan baku yang ada di setiap wilayah Indonesia. Perpaduan itulah yang menjadi menonjol pada pameran tentang aksesoris rumah dan furniture di Madrid beberapa bulan lalu. Memang, menjadi berbeda jika dibandingkan dengan hasil produk China, Vietnam, maupun negara Asia lainnya. Ciri khas Bali, Yogyakarta, maupun Lombok memberikan aksen ketertarikan tersendiri bagi para konsumen di Eropa.[3]
Pada tataran pendidikan maupun pemerintahan, kata “seni kriya” sangat dikenal untuk menyebut produk seni yang adiluhung hasil gubahan seni budaya bangsa. Para kreator seni kriya adalah sebagai kriyawan-kriyawan yang mampu memberikan inovasi baru terhadap perkembangan seni kriya Indonesia. Pada kenyataannya justru sering tidak mendapat tempat yang baik ketika karya yang dihasilkan tidak lagi menjadi karya kriya. Mereka merasa hasil kreativitasnya terenggut arus perubahan industrialisasi seni yang mengakibatkan seni kriya menjadi produk seni kerajinan. Seni kerajinan sangat mengikuti perubahan pasar sehingga jika produk yang dilempar ke pasar memiliki daya jual yang baik, maka para perajin akan sekuat tenaga mereproduksinya. Nah, ini menjadi sebuah persoalan bagi sebagian kriyawan. Memang, di antara mereka menjadi khawatir sebab mereka (kriyawan) berusaha mencari inovasi dan kreativitas yang cukup lama dalam proses penciptaannya. Namun dengan serta-merta dicomot sebagai model atau contoh bagi para pengusaha industri seni kerajinan. Inilah yang mengakibatkan beberapa kriyawan mandeg kreativitasnya.
Terdapat dua tujuan dalam penciptaan seni kriya, yaitu sebagai barang yang dibuat atas dasar kepentingan ekspresi pribadi dan seni kriya yang diciptakan atas dasar keperluan ekonomis. Keduanya diciptakan secara penuh perhatian dengan tujuan ke depan, mungkin hanya sebagai koleksi pribadi atau sebagai barang yang siap dijual: sebagai barang pemenuh pasar. Kriyawan-kriyawan justru muncul kreativitasnya untuk mau berkarya ketika karya yang dihasilkan memiliki daya tawar yang baik. Daya tawar itu akan bermuara pada medan transaksi baik secara langsung atau tidak langsung berupa tindakan ekonomis. Oleh karena itu, kriyawan yang mendasarkan pada tataran kesenimanannya sering tidak tahan ketika persoalan ekonomi menimpa dirinya. Namun, kriyawan yang juga memikirkan bagaimana mekanisme produksi yang kreatif dan berusaha menelurkan reproduksi yang baik pula, maka kriyawan semacam ini akan selalu kreatif mencari peluang bagi produknya agar dapat diterima pasar. Adakalanya dengan kreativitasnya malah menciptakan produk seni kriya yang mampu mengarahkan pasar atau konsumen mengikuti arah perkembangan seni kriya kreasi baru itu. Bukankah karya seni lain pun akan selalu hidup jika ada penyangga yang dapat memberikan keleluasaan berkreasi agar kedua arah yakni antara produktivitas atas hasil kreativitas mendapatkan peluang atau diterima oleh pihak lain sebagai pengguna atau penikmat. Seorang kriyawan yang mampu membentuk karyanya diterima penikmat sebagai barang seni yang memiliki nilai tinggi, maka sang kriyawan tersebut telah mampu memberikan arah perubahan atas arus pasar yang sejalan dengannya.
Namun persoalan yang sering muncul adalah keengganan kriyawan untuk berkarya kriya karena persoalan dijiplak atau desainnya diproduksi orang lain. Seorang kriyawan yang memiliki talenta tinggi dalam menciptakan seni kriya dapat membuat pengguna, penikmat, atau pasar mengikuti gerak kreativitas itu. Hanya saja, beberapa kriyawan belum dapat memanfaatkan peluang tersebut. Hal ini disebabkan persoalan mindset dalam diri mereka justru berpikir tidak ada persoalan jika menciptakan karya yang sesuai imajinasinya. Hanya saja, bagaimana mekanisme keberlangsungan kreativitas itu sehingga dapat terus terjaga? Belum banyak juga kriyawan yang menguasai cara berproduksi yang baik serta cara memasarkannya. Hal ini memerlukan manajemen yang baik, didukung karakter kriyawan tersebut agar mau menjadi entrepreneur yang baik. Tentu, dalam hal ini, tidak saja diperlukan bagaimana membuat produk seni kriya yang baik, namun juga bagaimana menjalankan mekanisme proses reproduksi dan memasarkan hasil produknya. Itulah hal yang juga sangat penting.
Sebagai seorang kriyawan maka tinggal memilih jalur yang akan dilalui. Akankah memilih jalur seni kriya sebagai ungkapan jiwa kriyawan atau seni kriya sebagai produk yang mengabdi pada pasar? Jalur yang utama, jika mengikuti program pemerintah tentang seni kreatif maka memiliki peluang yang baik manakala sebuah kreativitas dapat diorganisasi menjadi badan usaha yang bergerak dalam pemenuhan desain baru atau ide baru seni kriya yang dapat dimanfaatkan oleh para pengusaha seni kerajinan. Tentu legalitas desain yang diciptakan akan mendapatkan hak sebagai desain ciptaan kriyawan karena didaftarkan ke badan yang mengurusi hak atas kekayaan intelektual (HAKI) yang meliputi hak cipta, hak merk, dan hak paten[4].

C. Keadaan Dunia Seni Kerajinan
Seni kerajinan merupakan bentuk kegiatan berkreasi masyarakat. Jika dalam sebuah wilayah terdapat seni kerajinan yang tumbuh dan berkembang sebagai bentuk kegiatan mata pencaharian, maka wilayah itu disebut dengan sentra seni kerajinan. Para penduduknya menggantungkan hidupnya dari membuat seni kerajinan yang banyak mengandalkan keterampilan tangan. Keahlian itu umumnya didapat dari peninggalan warisan orang tua mereka yang kemudian dikembangkan sebagai bagian penyesuaian dengan gerak pertumbuhan dan perubahan zaman. Bagi sentra industri seni kerajinan yang berkembang dapat dipastikan memiliki pelanggan atau konsumen yang baik. Jika produk seni kerajinan itu semakin laku, maka kegiatan produksi volumenya semakin meningkat. Terjadi sebuah mekanisme sirkulasi proses produksi yang kait-mengait sehingga terjadi sinergisme yang satu sama lain saling membutuhkan.
Pada beberapa tahun ini pemerintah menamai sinergisme itu sebagai klaster. Klaster sebuah sentra seni kerajinan adalah bentuk kegiatan yang saling mendukung secara keseluruhan dalam sebuah sentra seni kerajinan guna mencapai percepatan ekonomi kerakyatan. Keserasian antara peran pemerintah, perajin, dan konsumen dalam membangun sarana pembangunan infrastruktur, mekanisme perizinan, kesediaan bahan, transportasi, keamanan, dan agen-agen pemasar bergerak searah agar mencapai tujuan yang sama.
Sinergisme tersebut menjadi kesepakatan yang diatur bersama dalam mengembangkan sentra industri seni kerajinan. Hal ini diupayakan karena perajin yang sebagian merangkap sebagai pengusaha seni kerajinan umumnya susah diajak kerjasama. Mereka saling menutup diri, yang mengakibatkan tidak adanya komunikasi di antara para perajin, sehingga akhirnya terjadi persaingan tidak sehat. Saling curiga, menurunkan harga, menyerobot desain baru, menjelekkan lawan usaha dan seterusnya, sehingga tidak jarang terjadi perselisihan di antara mereka. Upaya-upaya sinergisme sebagai bentuk perwujudan kerjasama yang saling membutuhkan terus diupayakan. Tata kelolanya dapat di-sharing-kan secara bersama dalam sebuah bentuk kerjasama yang saling menguntungkan.
Namun upaya itu belumlah mendapatkan hasil yang maksimal. Di beberapa daerah masih terjadi persoalan yang cukup pelik, bahkan beberapa sentra seni kerajinan mulai surut, seperti kerajinan cor kuningan di Juwana Pati Jawa Tengah yang konon harga batangannya lebih laku daripada harga sebuah seni kerajinan. Maka, mereka pun mencetak bahan rongsok menjadi batangan-batangan logam kuningan untuk diekspor yang ternyata lebih menguntungkan. Juga masalah bahan baku kayu untuk keperluan permebelan masih menjadi persoalan, meskipun beberapa wilayah seperti di Klaten dan Solo dengan Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (ASMINDO) Surakarta telah membuat depo bahan baku yang didatangkan dari luar daerah. Namun masih terganjal mekanisme suplai yang memang rumit: transportasinya mahal, adanya pungli aparat dan para preman, dan perizinan yang serba duit[5]. Kemudian adanya kenyataan tangisan para perajin keramik di Banjarnegara yang tidak dapat melakukan glasir karena bahan bakar minyak maupun gas semakin tidak balance antara ongkos produksi dengan harga jualnya. Mereka sebagian kembali membakar dengan bahan bakar kayu yang suhu panasnya kurang stabil serta tidak cocok untuk membakar glasir.
Padahal, sebuah wilayah sentra seni kerajinan telah menjadi magnit bagi sebagian masyarakat yang ingin mengembangkan usaha kerajinannya. Sebab, keberadaan sentra tentu telah diketahui para pembeli seni kerajinan. Sebagai contoh, seni kerajinan keramik Kasongan misalnya. Sentra keramik ini telah banyak dilirik dan dijajah para pedagang seni kerajinan dari wilayah luar Kasongan meskipun produk yang dijajakan bukan keramik. Dan ternyata tetap laku. Para pembeli pada kenyataannya berpikir ulang untuk tidak hanya membeli kerajinan keramik, namun juga seni kerajinan lain yang ada di Kasongan. Sebab pedagang seni kerajinan mancanegara itu terdiri dari retailer dan wholesaler. Umumnya, retailer melakukan pembelanjaan lebih bervariatif yang banyak itemnya, hal ini untuk keperluan penjualan dalam lokasi art shop yang ia miliki saja. Berbeda dengan wholesaler yang membeli dengan jumlah banyak namun itemnya sedikit. Dalam proses pembelanjaan pun seorang retailer harus mengumpulkan barang belanjaannya dalam satu lokasi untuk konsolidasi. Sementara wholesaler lebih banyak melakukan pengiriman pada satu perajin yang mengerjakan dalam item terbatas tersebut.
Memang, sebuah sentra industri umumnya lahir dari kunjungan wisatawan yang tertarik dengan produk yang telah ada. Kemudian mereka membeli secara langsung sebagai oleh-oleh. Belakangan, setelah dirasa produknya memiliki daya jual yang baik, maka beberapa pembeli mengupayakan sebuah bisnis yang saling menguntungkan dalam sebuah pembelian yang relatif besar. Oleh karena itu, hasil kerajinan yang semula diperuntukkan bagi pariwisata kemudian ber-order banyak, maka sentra itu juga lebih banyak memenuhi dunia bisnis seni kerajinan. Ada juga yang secara sadar membentuk sebuah perusahaan dengan cara merencanakan sebuah proses produksi yang baik dan sistem pemasaran yang gencar. Bahkan ada juga perusahaan trading yang hanya menangani pemasaran saja tanpa memproduksi, melakukan collecting produk dari perajin, menata dokumen pengiriman, dan melakukan transaksi pembayaran langsung dengan para buyer. Hal demikian cukup menjamur terutama pada perusahaan yang merangkap sebagai shiping company dan agen yang mirip dengan trader.


D. Industri Seni Kriya yang Berkembang di Indonesia
Jika membicarakan persoalan industri pasti di benak kita kemudian masuk pada pemikiran yang berkaitan dengan teknologi modern: pabrik yang mesinnya canggih maupun perusahaan yang menggunakan alat permesinan, seperti pabrik besi-baja, otomotif, dan elektronik. Pada dasarnya terdapat apa yang disebut dengan industri hilir, yakni memproduksi barang yang siap dilempar ke enduser dan industri hulu yang banyak membuat barang baku dan bahan penolong. Namun, ada pula industri yang jauh dari urusan permesinan yakni industri jasa seperti perhotelan, pariwisata, dan lainnya[6]. Dalam beberapa persoalan yang berkaitan dengan seni kerajinan yang mengutamakan kerja tangan, ada yang menyebut dengan industri pedesaan sebab merupakan perkembangan sebuah kegiatan masyarakat pedesaan dalam membuat peralatan rumah tangga atau barang keperluan hidup. Awalnya, mereka membuat produk yang sederhana yang usefull untuk dikonsumsi sebagai barang kebutuhan rumah tangga (houseware). Lagi-lagi karena desakan modernisasi maka peralatan pabrikan oleh industri besar yang menggunakan mesin membuat industri pedesaan tersisih hingga perajinnya kehilangan pekerjaan. Hal ini juga disebabkan karena konsumen lebih suka mengonsumsi barang pabrikan yang konon relatif praktis, ringan, lebih bergengsi, dan dikemas secara menarik. Oleh karena itu, produk tradisional masyarakat industri pedesaan itu kemudian diupayakan untuk dapat memiliki nilai yang lebih daripada produk pabrikan, seperti penambahan aspek nilai seni pada produk kerajinan. Kerajinan pun tidak lagi berfungsi sebagai alat dapur, namun menjadi barang home accessories atau barang sebagai penghias ruang interior rumah tinggal. Aspek desain pun diperbaiki dan cara produksinya menggunakan peralatan semi manual. Oleh karena nilai kerja tanganlah yang diutamakan, maka peralatan mesin hanya dipakai menangani proses awal, sementara pada proses akhir nilai sentuhan tangannya tetap mempunyai ciri khas. Hal inilah yang ternyata mampu bersaing di mancanegara karena aspek etnisitasnya yang khas. Dan untuk industri besar beberapa saat ini bangsa kita masih menjadi sasaran pasar potensial terbesar di Asia Tenggara.
Pameran Inacraft 2009 di Jakarta Convention Center Senayan adalah sebuah pameran khusus industri seni kerajinan terbesar di Indonesia terutama untuk konsumsi dalam negeri atau pasar lokal. Di saat krisis ekonomi global seperti saat ini, adanya pameran Inacraft sangat bermanfaat untuk menyambung hidup di tengah redupnya pasar internasional. Kita tahu, terjadi penurunan ekspor seni kerajinan yang diperkirakan mencapai 75% sampai semester pertama tahun 2009. Pameran yang dibuka Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 22 April 2009 itu mengkampanyekan cinta Indonesia yakni dengan memberikan ajakan meningkatkan apresiasi dan kebanggaan menggunakan produk nasional. Kampanye cinta Indonesia itu dengan tema “100% Cinta Indonesia” sebab ternyata industri seni kerajinan nasional memang memberi kontribusi relatif besar, yakni 30% dari total produk industri kreatif di Indonesia. Melibatkan sekitar 700.000 Usaha Kecil Menengah (UKM), keberadaan industri seni kerajinan telah menyerap 1,8 juta tenaga kerja[7]. Pameran itu setidaknya memberikan acuan potret perkembangan seni kerajinan di Indonesia.
Industri seni kerajinan yang berkembang di Indonesia memberikan kontribusi yang signifikan pada pertumbuhan perekonomian nasional. Bahkan industri ini menyumbang 6,3% dari produk domestik bruto Indonesia. Perkembangan ini memberikan dukungan bagi pertumbuhan ekonomi yang berbasis kerakyatan dan dapat memberi peluang untuk terciptanya usaha baru yang dapat menyerap tenaga kerja. Untuk mengoptimalkan pertumbuhan seni kerajinan maka pemerintah telah membuka kran yang lebar pada akses permodalan. Terlihat pada upaya pemberian kredit lunak tanpa agunan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang dikucurkan pada para perajin sebagai binaannya. Fasilitas pemerintah melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR) diharapkan dimanfaatkan secara optimal. Konon, tahun 2009 alokasi anggaran KUR mencapai 20 triliun. Upaya itu sebagai bagian untuk dapat memberikan peluang yang lebar bagi pertumbuhan seni kerajinan.
Dalam pembicaraan tentang industri seni kriya marilah kita coba melihat perkembangan dari wilayah Yogyakarta. Yogyakarta dikenal dengan produk seni kerajinan yang dapat pula dijadikan tolok ukur perkembangan seni kriya di Indonesia, baik kriya sebagai karya seni maupun seni kerajinan pemenuh kebutuhan pasar[8]. Pertumbuhan dan perubahannya selalu dinamis. Terdapat sentra-sentra industri seni kerajinan yang berkembang yakni sentra seni kerajinan keramik Kasongan, Pundong, dan beberapa sentra seni kerajinan keramik lainnya. Ada pula sentra industri berbahan kulit tersamak dan perkamen yang berkembang di Manding, kulit ikan pari di Sleman, wayang kulit Genteng dan Pocong di Imogiri. Industri seni kerajinan perak di Kotagede, cor logam aluminium-kuningan di Gunung Sempu. batik kayu di Krebet Pajangan Bantul, topeng di Putat Gunung Kidul, tenun di Gamplong Sleman, dan lain sebagainya. Sentra itu terbentuk dari keunikan produk yang telah ada berkat keterampilan nenek moyang mereka. Bentuk-bentuk seni tradisi yang berkembang mendapatkan sentuhan desain yang menyesuaikan perkembangan zaman sehingga menjadikan sentra tersebut dapat berkembang cukup pesat.
Namun demikian, terjadi pasang-surut pada beberapa sentra industri seni kerajinan yang berkembang di Yogyakarta. Pada saat krisis ekonomi pada tahun 1998, jenis industri ini sebagian besar memiliki daya saing luar biasa. Bahan yang didapat adalah dari sumber daya alam lokal Indonesia, didukung dengan jumlah tenaga kerja dan keterampilan tangan perajin yang mampu membentuk sebuah kawasan ekonomi dapat bertahan bahkan meningkat di saat krisis. Namun, pada saatnya sebuah usaha tentu tetap mengalami surut seperti ketika krisis finansial global 2009 saat ini. Krisis ini bermula dari Amerika yang sangat berdampak pada industri seni kerajinan. Hal ini dikarenakan hampir 80% produk kerajinan diekspor ke mancanegara. Dengan melemahnya daya beli masyarakat internasional, maka dampaknya sangat terasa pada tahun 2009 ini. Diharapkan pada tahun 2010 nanti keadaan akan lebih baik dan dapat memberikan keleluasaan pasar ekspor seni kerajinan dari Indonesia.
Industri seni kerajinan menjadi tumpuhan kekuatan ekonomi masyarakat, seperti apa yang terjadi di wilayah Kabupaten Bantul. Kabupaten ini telah dikenal sebagai satu-satunya tempat diproduksinya barang seni kerajinan yang banyak menghiasi galeri di beberapa kota besar di dalam maupun di mancanegera. Hampir 20% penduduknya menggantungkan hidup dengan menggarap seni kerajinan. Memang, Bantul memiliki kekuatan penting dalam dunia seni kerajinan di wilayah Yogyakarta bahkan Indonesia. Barangkali benar jika Bantul memiliki predikat lain yakni the Mekkah of kriya Indonesia is Bantul. Industri seni kerajinannya berkembang hampir di setiap kelurahan karena terdapat perajin-perajin yang siap mengerjakan order yang datang.

E. Penutup
Industri seni kriya pada dasarnya memiliki peluang yang baik dalam meraih kesempatan berkembang di tengah pasar ekspor. Hubungan antara produsen dan konsumen sebenarnya hanya berhenti sesaat di saat krisis finansial global 2009 ini. Telah terbukti sector ini banyak memberikan pengaruh ekonomis terhadap masyarakat pengrajin. Hal inilah yang diharapkan menjadi salah satu bentuk kegiatan kreatif yang dapat memberikan nilai tambah pada kehidupan masyarakat sebagai bentuk ekonomi kerakyatan di Indonesia. Persoalan antara kriyawan dan perajin seni kerajinan sebenarnya juga dapat disinergikan dengan beberapa langkah kemungkinan, yaitu:
Perlunya komunikasi di antara kriyawan dan pengusaha industri seni kerajinan, agar tumbuh sikap saling memerlukan dan menghormati hak maupun kewajiban. Seorang kriyawan yang kreatif akan mencipta produk desain baru, dan perajin pun bersedia memproduksi dalam jumlah banyak. Sementara pengusahanya cenderung mengatur strategi dalam pemasaran.
Membentuk badan usaha yang berkaitan dengan penyediaan ide kreativitas dalam bidang seni kriya atau seni kreatif. Badan ini dikelola dengan manajemen yang baik sehingga hasil idenya dapat dijual kepada para perajin. Hal ini hampir mirip dengan research and development yang dapat mengakomodasi kemauan mengembangkan jenis produk karena adanya ide-ide yang orisinal dan laku jual.
Pemahaman perlunya pengetahuan kriyawan yang tidak saja mempelajari bagaimana menciptakan produk seni kriya yang berorientasi kepuasan batin saja, namun juga dapat mempelajari selera konsumen pada zamannya. Pengetahuan ini penting sebagai bagian mencari ide kecenderungan produk seperti apa yang akan muncul pada tren berikutnya.
Pada situasi krisis global tentu sedikit bertiarap sambil memperbaiki situasi di dalam perusahaan apakah kelemahan kita selama ini. Ekspansi dan investasi mungkin masih jauh dari pemikiran.
Terdapat industri kecil pedesaan yang melibatkan ratusan ribu tenaga kerja yang memiliki potensi reproduksi kerja tangan luar biasa. Industri ini tentu akan menyerap tenaga kerja dan memberikan peluang memperoleh pendapatan dalam hidupnya.
Seni kriya sebagai media percepatan perkembangan seni kerajinan terutama pada suplai desain baru. Industri seni kriya menjadi sangat penting manakala produk baru di era global telah menjadi ujung tombak keberhasilan sebuah produk sehingga dapat diterima pasar.
Mulai menghilangkan manajemen ala kadarnya menjadi manajemen yang profesional. Karena dengan profesionalitas itu akan memberi andil besar dalam pertumbuhan sebuah perusahaan. ***
F. Tambahan Wacana
“Kampanye Cinta Indonesia Bukan Tindakan Proteksi” ulasan berita Pameran Inacraft 2009 di harian Kompas, Kamis 23 April 2009
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Edisi Kedua, (Jakarta: Balai Pustaka)
Mari Elka Pangestu, “Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2009-2025”, makalah disampaikan pada Seminar Nasional bertema “Aksentuasi Triple Helix dalam Realisasi Ekonomi Kreatif” dalam rangka Dies Natalis ISI Yogyakarta ke 24 pada 9 Agustus 2009.
Seperti yang diungkapkan oleh Henk Sechram, seorang buyer berasal dari Belanda dalam sebuah pembicaraan non-formal dengan penulis saat berkunjung di studio penulis, pada 25 Maret 2009 di Kasongan Bantul Yogyakarta.
Timbul Raharjo, “Pasar Global Sedang Gombal”, makalah disampaikan pada diskusi ilmiah yang diselenggarakan Disperindag Provinsi DIY di Hotel Inna Garuda Yogyakarta pada 4 Januari 2008.
_________________, “Yogyakarta sebagai Ikon Perkembangan Seni Kriya di Indonesia”, makalah disampaikan pada acara Diskusi Ilmiah dalam rangka Purna Tugas Prof. Drs. SP. Gustami, S.U. di Gedung Pascasarjana ISI Yogya pada 4 April 2009.
Wahyuntana, ”Pengembangan Kerajinan di Yogyakarta”, makalah disampaikan pada acara persiapan pembukaan Jurusan D-3 Kriya Souvenir FSR ISI Yogyakarta, di Hotel Brongto Yogyakarta pada 28 Juli 2001.



[1]Makalah disampaikan pada acara Seminar Nasional dalam rangka Purna Tugas Prof. Drs. SP. Gustami, S.U. di Institut Seni Indonesia Yogyakarta pada 5 Mei 2009.
[2]Mari Elka Pangestu, “Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2009-2025”, makalah disampaikan pada Seminar Nasional bertema “Aksentuasi Triple Helix dalam Realisasi Ekonomi Kreatif” dalam rangka Dies Natalis ISI Yogyakarta ke 24 pada 9 Agustus 2009.
[3]Seperti yang diungkapkan oleh Henk Sechram, seorang buyer berasal dari Belanda dalam sebuah pembicaraan non-formal dengan penulis saat berkunjung di studio penulis, pada 25 Maret 2009 di Kasongan Bantul Yogyakarta.
[4]Wahyuntana, ”Pengembangan Kerajinan di Yogyakarta”, makalah disampaikan pada acara persiapan pembukaan Jurusan D-3 Kriya Souvenir FSR ISI Yogyakarta, di Hotel Brongto Yogyakarta pada 28 Juli 2001.
[5]Timbul Raharjo, “Pasar Global Sedang Gombal”, makalah disampaikan pada diskusi ilmiah yang diselenggarakan Disperindag Provinsi DIY di Hotel Inna Garuda Yogyakarta pada 4 Januari 2008.
[6]Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Edisi Kedua, (Jakarta: Balai Pustaka), 377.
[7]“Kampanye Cinta Indonesia Bukan Tindakan Proteksi” ulasan berita Pameran Inacraft 2009 di harian Kompas, Kamis 23 April 2009.
[8]Timbul Raharjo, “Yogyakarta sebagai Ikon Perkembangan Seni Kriya di Indonesia”, makalah disampaikan pada acara Diskusi Ilmiah dalam rangka Purna Tugas Prof. Drs. SP. Gustami, S.U. di Gedung Pascasarjana ISI Yogya pada 4 April 2009.

Senin, 20 April 2009

YOGYAKARTA SEBAGAI IKON PERKEMBANGAN SENI KRIYA INDONESIA

YOGYAKARTA SEBAGAI IKON PERKEMBANGAN SENI KRIYA INDONESIA[1]
Dr. Timbul Raharjo, M. Hum

A. Pendahuluan
Pada bulan Mei 1971, Sp. Gustami dan HM. Bakir melakukan pameran bersama yakni batik Painter “Bagus” (Bakir-Gustami) yang bertempat di Gedung Senisono Yogyakarta selama sepuluh hari[2]. Pameran tersebut menampilkan karya-karya batik yang proses pembuatannya tidak dengan menggunakan alat canting saja, namun kedua kriyawan tersebut pada saat itu telah mengkombinasikan dengan alat kuas. Ternyata karya batik dengan teknik baru itu banyak diminati para wisatawan, yang memang saat itu dunia pariwisata sedang baik. Banyak kunjungan wisatawan manca Negara yang menyukai karya seni batik itu. Oleh kareana memilki keunikan dan laku jual itu, kemudian banyak mengilhami beberapa seniman untuk turut juga mengaplikasi teknik cara membati dengan teknik kuas itu dan kemuadian populerlah apa yang disebut seni lukis batik (batik painting). Saat inipun banyak gallery-galery yang menawarkan karya lukis batik yang memang dipasok oleh para senirupawan. Karya seni lukis batik dapat dengan mudah dibawa oleh wisatawan sebagai cindera mata. Seiring banyaknya wisatawan yang datang ke Yogyakarta pada tahun 1980-an, maka seni lukis batik kuantitas produksinya cukup signifikan, sangat popular, dan banyak diminati oleh para konsumen.Wilayah Prawirotaman, Ngasem, maupun sekitar Jalan Malioboro masih banyak dijumpai produk seni lukis batik yang didiplay pada gallery-gallery seni lukis batik. Teknik membatik dengan kuas dirasa dapat mengakomodasi ekspresi senirupawan, sehingga hal ini menarik juga pada beberapa mahasiswa STSRI “ASRI”yang kemudian juga membuat karya-karya seni lukis batik itu, bahkan setelah lulus mereka mengembangkan di daerah masing-masing, seperti di Bukit Tinggi, Jakarta, Bandung, Surabaya, Waimena, dan lainnya. Batik yang semula sebagai seni tradisi yang mengakar budaya Jawa, atas peran serta kriyawan yang dapat mengeksplorasi dan mengembangkannya ternyata memiliki daya getar ke seluruh Indonesia.
Perkembangan seni kriya seperti seni lukis batik memberikan salah satu bentuk pengembangan atas seni budaya Indonesia yang selalu mengalami perkembangan dan perubahan. Pemerintah telah menyadari betapa pentingnnya pengembangan dalam bidang seni budaya terutama Seni Kriya, dengan membekali seseorang dengan ketrampilan untuk dapat mengekplorasi sumber daya alam pada wilayah-wilayah yang sumber bahan baku yang melimpah. Salah satu bentuk upaya itu seperti pada tahun 1990-an pemerintah banyak memberikan peluang kepada dunia pendidikan khusus setelah dicanangkannya tahun kriya, dibukalah banyak sekolah menengah kejuruan seni di Indonesia seperti SMSR (Sekolah Menengah Seni Rupa dan SMIK (Sekolah Menengah Industri Kerajinan) diberbagai daerah tersebut, dengan program PPPGK (Pusat Pengembangan Penataran Guru Kesenian) yang sekarang menjadi P4TK (Pusat Pengembangan Pelatihan Pendidikan dan Tenaga Kependidikan) Seni dan Budaya, menyelenggarakan pendidikan tenaga pengajar untuk keperluan mengajar dibeberapa sekolah menengah seni tersebut. Hal ini banyak diminati oleh para lulusan jurusan Kriya saat itu. Tenaga pendidik itu kemudian ditempatkan pada beberapa sekolah menengah seni diseluruh Indonesia. Tentu dengan banyaknya para lulusan Kriya yang tersebar di seluruh Nusantara, maka terjadi karakter berkeseniannya berciri Yogya, tentu dalam hal ini peran dari jurusan kriya ISI Yogyakarta banyak memberikan kontribusi atas perkembangan seni kriya di Indonesia. Barang kali terjadi perpaduan diantara inspirasi daerah setempat dalam cara pengembangan para kriyawannya. Tentu sentuhan eksplorasinya memiliki ciri khas kriyawan lulusan Yogyakarta. Bahkan beberapa Perguruan Tinggi di Indonesia yang juga membuka program studi yang berkaitan dengan seni kriya umumnya lulusan jurusan kriya mengisi posisi-posisi sebagai pendidik di lingkungan itu. Tentu mereka tatap berkarya yang menekankan pada kualitas teknik, ide penciptaan, dan tampilan produk seni kriya. Demikian pula meningkatnya populasi kriyawan dapat memperluas kawasan seni kriya di Indonesia[3].
Program pemerintah dalam meningkatkan peneyebaran ketrampilan membuat karya kriya sangat beralasan dengan upaya meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat. Lulusan SMIK telah banyak diserap oleh beberapa daerah di Indonesia bahkan Negara-negara seperti Malaysia, Korea, Arab telah banyak menyerap untuk membuat produk seni di negaranya. Demikian pula kantong-kantong seni kerajinan yang berkembang di Yogyakarta. Terbukti Kasongan, Kota Gedhe, Pucong, Krebet, Pundong, dan sentra seni kerajinan yang berkembang di Yogyakarta telah banyak memberikan inspirasi pada para pemerintah daerah di luar Yogyakarta untuk dijadikan model pengembangan sebuah sentra seni kerajinan di wilayahnya. Kantong-kantong sebagai sentra seni kerajinan yang tersebar di seluruh pelosok Yogyakarta menjadi barometer perkembangan seni kerajinan dari Indonesia. Pada pameran Internasional Iffina 2009 tanggal 11-16 Maret 2009 lalu produk-produk kriya yang baru yang inovatif muncul dari kreatifitas kriyawan Yogyakarta. Pemeran ulang tahun Dekranas akhir 16-22 Maret 2009 menampilkan hampir 60 persen didominasi produk seni kerajinan dari Yogyakarta. Stands yang ditempati oleh para pengrajin dari Yogyakarta menjadi tujuan para pembeli lokal baik Jakarta, Tangerang, Bandung, dan wilayah sekitarnya.

B. Kondisi Sosiokultural Yogyakarta Berpengaruh Terhadap Penciptaan seni Kriya.
Yogyakarta sebagai wilayah yang erat dengan bentuk kerajaan yang berbasis pada kebudayaan Jawa, oleh karena itu kebudayaan Jawa sangat menonjol di dalam setiap bentuk hubungan individu maupun kelompok.[4] Kesamaan kepentingan dibangun dalam jaringan kekerabatan yang didasarkan pada asas kegunaan yang nyata dalam pergaulan, pengenalan, dan daya ingat seseorang. Kebutuhan dasar manusia untuk bergaul akrab dengan memberi rasa hangat dan menjamin hari tua diperolehnya dalam keluarga inti yang diperluas. Keluarga inti yang diperluas ini merupakan kesatuan-kesatuan sosial yang mandiri, dalam arti bahwa kesatuan sosial itu mengelola ekonomi rumah tangga serta hak miliknya, mengasuh anak-anaknya, serta bertanggungjawab terhadap proses sosialisasi dan inkulturasi dari generasi mudanya, membantu dalam usaha pertanian untuk kebutuhan sendiri. Termasuk bekerjasama dalam berbagai aktivitas lain, misalnya mengurus berbagai perayaan yang bersifat adat atau pun keagamaan. Kehidupan ekonomi dan sosial-budaya masa kini, tampaknya tidak lagi dipenuhi oleh rumah tangga sendiri, tetapi semakin tergantung kepada berbagai pranata lain dalam masyarakat di luar hubungan kekerabatan. Misalnya, meskipun ada pranata sambatan, namun sudah memanfaatkan jasa tukang-tukang.[5]
Oleh karena itu jaringan kekerabatan mencair dengan pranata lain dalam masyarakat yang berpengaruh terhadap perilaku setiap warganya, termasuk jenis pekerjaan yang digelutinya. Hal ini tercermin pada geliat aktivitas masyarakat Yogyakarta yang memiliki rutinitas berkarya seni kriya dengan pola produksi serta kehidupan sosial-budaya yang berciri khas sebagai penghasil seni kriya. Seperti yang diungkapkan oleh Soedarsono dalam buku Seni Pertunjukan: Perspektif Politik, Sosial, dan Ekonomi, bahwa hadirnya sebuah golongan atau kelas di sebuah negara akan menyebabkan lahirnya sebuah seni yang cocok dengan selera golongan itu.[6] Menggaris-bawahi pendapat ini, sesungguhnya munculnya produk seni kriya tidak terlepas dari kehadiran kriyawan yang kreatif berjasa besar bagi pembangunan seni kriya di Yogyakarta. Kemudian melahirkan suatu strata sosial yang berkembang saat ini sebagai kriyawan yang memiliki pola pikir global dengan mengikuti perkembangan masyarakat internasional. Hal ini disebabkan adanya perubahan minat seni kerajinan yang dikonsumsi oleh masyarakat dunia lewat pasar ekspor. Pertumbuhan seni Kriya di Yogyakarta khusunya, mengalami pergerakan yang luar biasa. Pergerakan itu seiring dengan tumbuhnya daya kreatifitas para kriyawan Yogyakarta. Sebagai wilayah yang memiliki sumber daya manusia berpendidikan, mampu mengalah alam menjadi produk-produk seni kerajinan yang memiliki keunikan tersendiri. Daya kreatifitas itu diakibatkan oleh maraknya permintaan dan persaingan yang kian ketat. Tuntutan kreatifitas menjadi sangat penting dalam meniti dan memupuk kemampuan usaha seni kerajinan dalam dunia global. Tentu didalamnya kreatifitas inovasi, ekspansi, keberanian investasi dan lain sebagainya menjadi kunci utamanya.
Di samping itu bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta terkenal dengan pusat kebudayaan, pusat perjuangan, pusat pelajar dan mahasiswa dan tujuan wisata. Yogyakarta sebagai medan magnit bagi para muda di segala penjuru tanah air. Demikian pula lembaga pendidikan seni rupa ASRI yang didirikan di daerah ini sejak tahun 1950 didatangi oleh para pemuda dari segala penjuru nusantara. Ternyata para senirupawan yang belakangan punya nama tenar banyak yang bukan penduduk asli Yogyakarta mereka berdatangan dari luar Yogya. Bali yang selama ini kita kenal sebagai pulau dewata dan yang banyak menghasilkan karya-karya seni ternyata banyak senirupawan yang berkembang di Yogyakarta. Pada mereka adalah pengulat-pengulat seni yang tekun ulet dan lugu. Pada mereka mempunyai proses perkembangan yang unik. Karena jumlah yang cukup banyak, unik dan konsisten perkembangan mereka setelah di Yogyakarta cukup menarik untuk disimak, mereka berangkat dari Bali ke Yogya dengan membawa realisnya dan kemudian apa yang terjadi setelah sekian lama di Yogyakarta setelah sekian tahun belajar di Yogya mereka menjadi men-Jogya. Mereka berpendapat bahwa bentuk-bentuk realistis yang dibawa dari Bali ternyata kurang tepat lagi untuk mengakomodasikan ide-idenya, disamping itu ketatnya dalam bersaing mencari nilai-nilai baru. 9
Faktor lain yang menjadi kondusifnya eksistensi senirupawan Yogya tidak bisa terlepas dari setting sosial dan kultural seniman. Di Yogya setidaknya ada pergulatan mengenai spirit Yogya. Setting sosialkultural jelasnya menentukan bahasa ekspresi seorang seniman dari Yogyakarta dan memiliki warna tersendiri. KomunitasYogyakarta.ibarat sebuah panggung yang tidak begitu luas, maka untuk naik ke panggung itu orang harus memiliki daya saing yang tinggi. Demikian juga peran komunitas Yogyakarta yang padat membuat iklim menjadi sangat dinamik. Persaingan sangat ketat, saling mengintai, saling memaki, saling mengejek dalam konotasi positif, sehingga saling memicu dan memacu. 10 Dengan demikian kreatifitas akan sering terpacu seiring dengan kondisi kompetisi antar senirupawan dalam menciptakan karya.
Bahkan kemungkinan besar Yogyakarta sebagai salah satu tujuan buyer seni kerajinan dan permebelan di Indonesia. Meskipun belum ada penelitian yang signifikan namun hepotesa penulis yakin akan kebenarannya, tujuan utama untuk mencari jenis komonite seni kerajinan di Jawa dipastikan di Yogyakarta, biasanya menjadi agenda utama para buyers seni kerajinan. Meskipun Jepara sebagai raksasa furniture di Indonseia yang memiliki kemampuan ketrampilan yang luar biasa itu masih menjadi tujuan mereka, namun Yogyakarta tak kalah pentingya, disamping sebagai wilayah transit untuk menuju kewilayah lain seperti Jepara, Semarang, Serenan dan wilayah lain yang dekat dengan kota Yogyakarta.Dengan demikian kota ini memiliki kemampuan kreatifitas dalam mengolah seni kriya yang memiliki daya pikat tersendiri, juga menjadi daya tarik konsumen itu. Alasan lain yaitu, manakala sistem yang diterapkan dalam mengelala standarisasi internasional terkait dengan manajeman dan sistem quality control dan tingkat ketekunan dan kejujuran banyak dimiliki oleh sumber daya manusia Yogyakarta cukup profesional. Hal ini terlihat dengan beberapa importir luar negeri yang datang ke Indonesia, pernah berkomentar dengan penulis tentang limied time dalam penyelesaian order sesuai kesepakatan antara penjual dan pembeli dapat dipenuhi sesuai dengan perjanjian, dengan berbagai macam ketentuan administrasi yang menyertainya. Jika dikomparasikan dengan pengrajin di Bali, sistem budayanya memiliki karasteristik tersendiri, ketekunan membuat karya patut diacungi jempol, kegiatan religiusnya luar biasa, menjadi kontradiktif manakala harus berurusan dengan limited time pemenuhan kewajiban dalam jumlah relatif besar. Pada umumnya mereka bekerja dalam sekala kecil yang berciri khas pada masing-masing pengrajin, oleh karenanya buyers selalu memberikan space-time ke depan dengan cara manipulasi agar target waktunya dapat terpenuhi manakala kegiatan religius menyita waktu mereka. Dengan demikian jelaslah bahwa Yogyakarta adalah tempat yang kondusif untuk tumbuh dan hidupnya para senirupawan, maka sebuah pameran yang melibatkan banyak seniman merupakan refleksi bagaimana suatu konstruksi seni rupa hadir dalam masyarakat. Kondisi sosiokultural yang ada juga ikut mempengaruhi karakter olah cipta seni kriya. Seorang yang berasal dari Padang Sumatra menjadi sangat Jawa setalah lama berinteraksi dengan kehidupan masyarakat Yogyakarta. Setelah mereka kembali ke asalnya pengaruh itu kemudian terbawa dan tercermin pada karya-karya yang dihasilkan.

C. Arah Perkembangan Seni Kriya
Pada era globalisasi arah perkembangan seni kriya salah satunya adalah dapat menyerap tenaga kerja. Oleh karena itu setiap tenaga kerja dituntut untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang tinggi baik keterampilan dan keahlian dalam melakukan inovasi, akurasi dan kecepatan, maupun penguasaan informasi, komunikasi dan intellectual capital yang berbasis pengetahuan pekerja (knowledge worker). Untuk itu, standarisasi kompetensi sebagai landasan pengembangan program produktivitas harus yang berorientasi pada perkembangan pasar kerja global dan penanggulangan pengangguran, perlu dilaksanakan secara terpadu, terarah dan berksinambungan dengan melibatkan seluruh instansi pemerintah, dunia usaha dan masyarakat.[7] Seni Kriya salah satu bidang seni yang hasilnya mengutamakan pada pengetahuan, keterampilan, dan kreatifitas berkarya rupa, bertolak dari pendekatan medium, kepekaan estetik, kebutuhan keseharian, dan mengandalkan keterampilan manual ( manual dexterity ). Hasil karya kriya diutamakan mengandung nilai keunikan, konseptual, tema, imajinatif, dan inovatif. Seni Kriya kemudian lebih difokuslan pada ilmu dan keterampilan dalam menciptakan konsep, bentuk dan gaya dalam arti luas dalam industri kreatif. Karya Kriya yang dirancang lebih bersifat eksklusif memiliki nilai tambah dalam berbagai sisi, karena dalam proses pembuatannya menghandalkan keterampilan tangan ( handmade ). Pada konsep lain kriya dapat diproduksi ulang untuk memenuhi kebutuhan dalam jumlah banyak, atau juga terbatas. Produk Kriya unik dalam mengunakan material, unik dalam proses penyatuan, unik dalam sentuhan akhir karya, maka tidak ada produk satu dengan yang sama persis, originalitas yang selalu dinamis.
Nilai originalitas pada karya seni kriya berasal dari kreativitas seorang kriyawan dalam menciptakan karya baru yang menyesuaikan trend pasar yang sedang berkembang. Inovasi baru itu kemudian diproduksi secara massal sebagai barang seni kerajinan. Dengan bentuk kerjasama semacam itu, maka kriyawan dapat juga mempelajari berbagai bentuk produk karya seni kriya baru dari perkembangan pasar yang dituju yang sejenis melalui info dari pihak korporasi, buyer, dan survei ketika ada pameran dari produk lain. Produk buatan dari yang sedang berkembang sebagai kompetitor dapat dijadikan bagian sumber inspirasi pembuatan karya baru yang dipakai sebagai dasar penciptaan target tahun berikutnya. Kriyawan pun akhirnya memiliki kepekaan yang baik dalam membaca pasar dari gejala-gejala yang dilihatnya. Di samping itu dapat pula mengkombinasikan antara seni tradisi dengan seni modern sehingga membantu para pengrajin seni kerajinan untuk membuat produk yang memenuhi kebutuhan home accessories rumah modern saat ini.[8] Dalam menindaklanjuti pekerjaan produksi, ternyata aspek korporasi memiliki teknologi yang baik dalam membuat produk seni kriya menjadi produk massal guna memenuhi permintaan para buyer untuk diperdagangkan ke negara manca Negara.
Proses kreatifitas dalam membuat karya kriya tidak terbatas pada bagaimana membuat bentuk yang sesuai dengan dasar-dasar desain yang baku, namun telah juga dipadukan dengan berbagai aspek yang berkaitan selera konsumen. Umumnya, karya seni kriya akan disasarkan kepada penikmat seni sebagai konsumennya. Secara terang-terangan seni kriya umumnya secara jelas dijual sebagai barang pakai yang siap menhias ruang-ruang interior rumah atau kantor-kantor. Namun demikian ada pula ide, gaya, dan karakter karya yang dihasilkan seorang kriyawan yang lebih mementingkan pada sisi fine art-nya dengan cara penawarannya yang lebih tersamar jika dibandingkan dengan applied art. Seni Kriya yang telah direproduksi dalam jumlah yang relative banyak, maka jadilah apa yang kita sebut seni kerajinan. Seni kerajinan umumnya dibuat oleh tangan-tangan terampil masyarakat sebagai sentra seni kerajinan, bentuk kegiatan ini kemudian menjadi kantong-kantong seni kerajinan yang banyak menyerap tenaga kerja. Arah perkembangan tentu mengacu pada upaya kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu kreatifitas memegang peran yang penting dalam melakukan penciptaan kriya baik sebagai barang fine art atau sebagai karya applied art. Kreatifitas membuat karya baru diperlukan perancangan produk seni kerajinan dari hasil manifestasinya karya guna melalui berbagai pendekatan ilmu, teknologi, dan seni. Rancangan dalam bentuk desain baru dengan prototype baru kemudian dicoba untuk diterjunkan pada masyarakat konsumen bagaimana tanggapannya. Oleh karena itu seorang kriyawan, jika sudah terjun pada industri seni kerajinan dituntut untuk dengan cekatan dalam mengambil keputusan dalam pemecahan masalah tentang berbagai faktor yang berpengaruh dalam menerapkan prisip-prinsip penciptaan produk baru agar laku jual.[9] Apalagi dalam penentuannya dilengkapi dengan survey lapangan untuk mempelajari bagaimana keadaan kecenderungan yang sedang berjalan terhadap wilayah pasar yang akan dituju. Sebab, setiap wilayah pasar memiliki karakter yang dapat menentukan produk seperti apa yang sesuai dengan selera konsumen. Persoalan pasar tentu berkaitan dengan ekonomis, ketika seni kriya dapat dengan mudah diterima pasar maka ukuran bagus dan tidaknya produk seni kriya adalah tingkat keberhasilan pada laku dan tidaknya produk diterima konsumen.
Industri pariwisata turut memberikan gairah perkembangan seni kriya yamg berfungsi sebagai cinderamata. Apalagi kunjungan wisata marak mendatangi di beberapa daerah sehingga sangat mendukung proses produktifitas penciptaan produk-produk seni kriya baru yang tersebar diseluruh Indonesia. Cinderamata memberikan kesan yang mendalam atas tempat yang pernah di kunjunginya. Mereka akan bercerita kepada orang lain dengan bukti cinderamata yang pernah didapatkannya pada tempat yang pernah dikunjunginya. Ketertarikan atas aspek obyek wisata dan alamnya memberikan sebuah acuan sebagai sumber insperasi seorang kriyawan untuk menciptakan produk kriya yang berfungsi sebagai cinderamata sesuai imajinasinya.. Tentu setiap daerah wisata memiliki ciri khas masing-masing, dengan demikian kreatifitas kriyawan untuk menciptakan cinderamata yang memiliki ciri khas tersendiri menjadi tugas kriyawan itu.
Dengan demikian ada dua arah seni kriya, pertama sebagai barang fine art yang diproduksi sebagai ungkapan jiwa pribadi kriyawannya. Kemuadian seni kriya yang bertujuan sebagai master dalam memberikan arah perkembangan seni kerajinan. Seni kriya tersebut dapat diproduksi secara massal, namun dapat juga dalam jumlah terbatas (limited edition). Dengan demikian tujuan akan keberlangsungannya seni kriya sebagai pendukung dalam kegiatan kesejahteraan masyarakat dalam ekonomi kerakyatan akan tercapai.

D. Peran Jurusan Kriya Institut Seni Indonesia Yogyakarta
Jurusan kriya, Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia Yogyakarta telah meluluskan sarjana yang tersebar seluruh Indonesia, mereka menyelesaikan pendidikan di jurusan kriya kemudian mereka kembali ke daerahnya masing-masing untuk menjadi tenaga-tenaga terdidik yang dapat membina maupun berkarya di daerahnya. Sebagaian ada yang menjadi kriyawan, guru di sekolah menengah, dan bahkan mengajar perguruan tinggi. Mereka melakukan aktifitasnya berkarya dengan dasar-dasar yang mereka terima saat belajar di Yogyakarta. Jurusan Kriya memberikan ilmu yang berkaitan dengan minat utama yang dipilih. Jurusan Kriya mengajarkan pengetahuan dan ketrampilan seni rupa untuk memenuhi kebutuhan spiritual dan atau fungsional, dengan teknik/proses perwujudan yang mengutamakan kekriyaan. Tujuan Pendidikan kriya adalah menghasilkan lulusan dengan kemampuan menghayati nilai-nilai budaya nasional serta menanggapi gejala kebudayaan pada umumnya yang berkaitan erat dengan bidang kriya untuk mengembangkan kepribadian dan wawasannya. Menguasai dasar-dasar ilmiah dan mampu menelaah serta memecahkan permasalahan dalam bidang seni kriya dan menerapakannya pada kegiatan pleyanan masyarakat. Menguasai berbagai media teknik kriya sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni untuk menciptakan karya-karya seni kriya yang kreatif dan inovatif. Memeiliki sikap dan perilaku dalam membawakan diri untuk berkaya dibidang kriya seni maupun kehidupan bermasyarakat. Mampu berinterasi dengan bidang-bidang ilmu lainnya untuk memperluas wawasan sesuai dengan tuntutan sesuai dengan perkembangan jaman.
Kreatifitas membuat karya seni kriya yang menggali nilai-nilai budaya bangsa telah memberikan perhatian kepada pihak-pihak atau lembaga-lebaga baik negeri maupun swasta memberikan peluang yang lebar bagi lulusan jurusan kriya untuk berkiprah dalam pengembangan produk-produk seni baik seni kriya sebagai ekspresi pribadi maupun seni kriya sebagai karya fungsi yang dikonsumsi pasar. Banyak pengusaha seni kerajinan yang menggunakan tenaga-tenaga lulusan jurusan kriya untuk duduk sebagai tenaga ahli dalam eksplorasi produk baru. Mereka memanfaatkan kreatifitasnya dalam mengekplorasi material, warna, bentuk, dan gaya untuk dapat menciptakan produk baru. Produk yang diciptakan tentu memiliki keterikatan dengan bagaimana survey awal terhadap pasar, meskipun ada juga seorang kriyawan dapat membuat trend pasar sendiri. Tarik ulur terhadap pasar ini diperlukan kepekaan seorang kriyawan untuk menentukan desain yang sesuai dengan kondisi pasar saat ini seperti apa. Pada beberapa perusahaan yang berskala besar banyak menyerap tenaga-tenaga dari jurusan kriya, terbukti ketika ada event pameran internasional seperti TEI (Trade Ekspo Indonesia) pada tangga 10 Oktober 2008 lalu hampir dapat dijumpai lulusan jurusan kriya bekerja pada perusahaan-perusahaan seni kerajinan baik perusahaan lokal maupun pengusaha asing. Eksplorasinya yang ditampilkan luar biasa, sehingga setiap perusahaan menampilkan produk baru yang hampir sebagian besar memiliki karakteristik tersendiri-sendiri dari hasil kreatifitas mereka.
Kreatifitas itu tidak saja mandek, hanya terbatas pada seni kriya sebagai kebutuhan pasar saja, para kriyawan saat ini mencoba untuk mengekplorasi kreatifitasnya untuk menciptakan karya-karya yang dipakai sebagai seni kriya sebagai ungkapan batin saja. Kegiatan pemeran di setiap daerah banyak menampilkan karya-karya yang kreatif dan inovatif. Seperti kegiatan pameran Akbar seni kriya logam tradisi dan kontemporer di Gedung Purnabudaya Yogyakarta tahun 1996 yang deselenggarakan oleh Pakriyo (Paguyuban Kriyawan Yogyakarta), banyak diikuti hampir 100 kriyawan baik dari Yogyakarta maupun luar Yogya, seperti Surabaya, Cepogo Boyolali, Semarang dan lain sebagainya. Kegiatan pameran itu sebelumnya juga di adakan di Galeri Nasional Jakarta pada bulan Juni 1995, yang saat itu meraih kesuksesan besar sebab hampir separo karya seni kriya yang diapmerkan laku terjual. Bukan itu saja beberapa kriyawan terus berkarya dan memenangkan beberapa kompetisi seni kriya, seperti lomba desain yang diselenggarakan oleh IGDS (Indonesia Good Desain) tahun 2007 dimenangkan oleh Borobudur Silver yang menanpilkan desain satu set jewellery, namun yang menjadi biang keladinya adalah Roro Gres seorang desainer perhiasan lulusan jurusan kriya.
Peran Jurusan kriya dalam memberikan warna kreatifitas untuk mengeksplorasi seni kriya nusantara telah memunculkan karya-karya seni kerajinan yang beragam. Keberagamannya menyesuaikan dengan sumber daya yang ada pada setiap daerah atau daya kreatif desainer itu dalam menanggapi perkembangan jaman. Sebab kehidupan masyarakat saat ini mengalami goncangan-goncangan modernisasi, maka konflik batin dalam diri kriyawan untuk mengatasi perubahan-perubahan yang terjadi. Gagasan-gagasan yang cemerlanng untuk membimbing manusia untuk melihat kenyataan menempatkan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai naungan pengharapan untuk tercapainya kesejahteraan hidup. Oleh karena itu keahlian dan kreatifitas dalam berkarya merupakan ciri dari masyarakat yang selalu menyesuaikan dengan perubahan jaman.[10] Perubahan sertiap generasi selalu memiliki ciri khusus dalam kecenderungan berkehidupan, maka daya kreatifitas seorang kriyawan diperlukan untuk memeberi sentuhan keseuaian dengan karya seni kriya yang akan digunakan oleh masyarakat pendukungnya.

E. Kantong-kantong Seni Kerajinan di Yogyakarta
Memang sumber daya alam di Yogyakarta tidak sebanyak jika dibandingkan dengan wilayah lain yang memiliki rentangan wilayah yang luas seperti di luar Jawa. Namun hal ini tidak menjadi persoalan, kepakaan terhadap bagaimana mengolah alam yang ada itu, yakni dengan cara menciptakan desain kerajinan yang baru yang ternyata bahannnya di dapat dari luar Yogyakarta. Memadukan unsur-unsur alam yang lebih nge-trend dengan kata kerajinan natural, banyak memasukan unsur alam yang semula tidak dipikirkan oleh orang kebanyakan namun dengan daya kreatif desain berubah dari apa yang dikatakan sampah menjadi bentuk seni kerajinan yang unik dan menarik. Memang kecenderungan ini menjadi salah satu pilihan, ternyata cukup potensial diterima pada pasar dunia ketika issu keunikan alam menjadi salah satu pilihan. Bentuk eksplorasi kerajinan ditampilkan melalui desain baru dan finishing dengan tingkat kejelian tinggi. Hasilnya adalah sebuah benda kerajinan yang memiliki citra eklusif tanpa meninggalkan unsur keunikan, tradisi, dan naturalistik.[11]
Sebagaimana kita ketahuai bahwa, Yogyakarta memiliki kantong-kantong sebagai sentra seni kerajinan yang memproduksi seni kerajinan berbahan alam yang unik dan kreatif. Sentra ini terdapat di perkotaan maupun dipedusunan. Setiap wilayah penghasil kerajinan memiliki karasteristik pada teknik dan juga bahan yang spesifik dengan wilayah tertentu. Beberapa dari mereka, memang secara mentradisi didapat dari pendahulunya ada pula yang memang dikembangkan sebagai bagian dari kreatifitas seorang pengrajin yang kemudian menyebar pada tetangganya karena proses penurunan ketrampilan dalam bentuk kelompok kerja. Dalam suatu kelompok yang terdiri dari pimpinan dan karyawan, mereka saling silang menurunkan keahlian dalam aktifitas kerja pada sebuah unit usaha, maka terjadi proses penyebaran keahlian itu. Tentu sebuah sentra kerajinan dengan sifat yang unik bereproduksi mengandalkan ketrampilan tangan, dengan demikian serentak ketrampilan itu segera ditularkan pada pekerja lain dalam sebuah kerjasama kemitraan. Yaitu antara pengrajin dengan tingkat pesanan yang lebih tinggi dan sebagian lagi sebagai pengrajin sub kontraknya. Seperti yang terjadi dibeberapa sentra industri di wilayah Yogyakarta, mereka telah menggunakan sistem sub kontrak sebagai bagian kegiatan reproduksi mereka. Sentra industri seni kerajinan keramik Kasongan dan Pundong, sentra industri seni kerajinan tenun di Gamplong, seni kerajinan perak di Kota Gedhe, seni kerajinan kayu batik di Krebet, seni kerajinan wayang kulit di Pocong dan Gendheng dan lain sebagainya.
Sentra tersebut merupakan kelompok penghasil seni kerajinan yang memang telah lama hadir sebagai warisan budaya fisik pada wilayahnya. Tentu kehadirannya, tidak saja sebagai bagian karya seni yang bercirikhas wilayah tertentu, namun merupakan matapencaharian mereka. Nilai ekonomis sebagai bagian dari kegiatan bisnis mereka telah memberi kontribusi yang luas sebagai salah satu bentuk kantong seni kerajinan yang padat karya. Perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam dunia bisnis kerajinan ditandai dengan majunya sentra kerajinan yang ada, maka perluasannya melalu eks pegawai-pegawai atau karyawan yang secara bergelombang mendirikan usaha-usaha baru sebagai kantong baru yang muncul sebagai bentuk usaha baru (usaha kecil dan menengah: UKM). Kantong baru yang muncul disebuah wilayah dengan budaya yang berbeda dengan bidang kerja keseharian mereka, kemudian terjadi pembauran budaya pembuatan kerajinan baru itu pada penduduk disekitarnya yang secara alamiah sebagian bekerja di kantong baru tersebut.

F. Penutup
Yogyakarta memiliki kontribusi terhadap arah perkembangan Seni Kriya di Indonesia, setidaknya perkebangan Seni Kriya itu tidak dapat lepas dari peran Jurusan Kriya Institut Seni Indonesia Yogyakarta mampu memberikan warna tersendiri terhadap perkembangan seni kriya nusantara. Dari berbabagai daerah yang mengembangkan Seni Kriya sebagai salah satu bentuk pengembangan budaya telah merekrut kriyawan-kriyawan terutama dalam kesempatan pelatihan maupun pendidikan untuk mengeksplorasi sumber daya alam yang biasanya melimpah pada beberapa wilayah di Indonesia, mengharapkan para kriyawan untuk dapat menyulap dengan kreatifitas menjadi Seni Kriya barang yang memiliki nilai seni dan nilai ekonomis. Harapannya adalah pemerataan ketrampilan terutama pemberdayaan sumber daya manusia sebagai salah satu bentuk kegiatan ekonomi kerakyatan. Bagaimana bentuk dukungan lembaga terkait baik swasta maupun pemerintah untuk dapat tumbuh dan berkembang dengan baik di wilayah ini.

G. Kepustakaan
“Asesories rumah Serat Alam Arindha” pada Majalah Hendikraft , Majalah bulanan Handicraft dan Furniture Dwi Bulanan Edisi 20/Tahun IV/Agustus-September 2005.
“Design Meet Artisan” Craft Revival Trust, Artesanfas de Columbia S.A., Unesco, 2005
Direktur Jenderal Pembinaa pelatihan dan Produktifitas pada acara Pembukaan Bimbingan teknis pengembangan managemen UKM (Pasca Penghargaan Produktivitas dan Kualitas UKM Indonesia Tahun 2005) Surabaya, 22 Agustus 2006.
Heskett, John, Desain Industri Penerbit Rajawali, Jakarta, 1986
Katalog Pameran Kriya yang diselenggarakan oleh FKS (Form Komonikasi Seni) di Sasana Ajiyasa FSRD ISI tanggal 25-31 Oktober 1987.
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, Balai Pustaka, Jakarta, 1986
R.M. Soedarsono, Seni Pertunjukan Indonesia: Perspektif Politik, Sosial, dan Ekonomi Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2003
Soedarso Sp., Tinjauan Seni, Sebuah Pengantar Untuk Apresiasi Seni, Saku Dayar Sana, Yogyakarta, 1990.
Sukri, A. Im’an, Cahyo Joko Sukmono, Eni Martina, dkk, Masa Depan Yogyakarta dalam Bingkai Keistimewaan Unit Penerbit Parwi Foundation,, Yogyakarta, Tth.
Sun Ardi, "Yogyakarta Kota Persemaian Pelukis Indonesia", Katalog, Pameran Seni Rupa, Festifal Kesenia Yogyakarta III, Benteng Vredeberg Yogyakarta, 1992.
Weiner, Myron, ed., Modernisasi Dinamika Pembangunan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta 1984
"Yogyakarta Kontributor Utama Seni Rupa Indonesia", beberapa pendapat Suwarno W. dan M. Dwi Marianto, dimuat pada harian Bernas, Minggu Paing 14 September 1997.






Tentang Penulis:

Dr. Timbul Raharjo, M. Hum.
Lahir di Kasongan Bantul Yogyakarta, 8 November 1969. Lulusan Program Doktor di Universitas Gadjah Mada tahun 2008. Sejak tahun 1993 mengajar di Institut Seni Indonesia Yogyakarta Jurusan Seni Kriya, khususnya Seni Keramik. Tahun 2007 mendapat anugerah Upakarti dari Presiden Republik Indonesia. Menjadi perajin keramik sejak tahun 1996. Produk keramiknya diekspor ke beberapa negara yang terkena krisis global 2008. Sebelum krisis global per bulan bisa mengirim 20 kontainer, namun beberapa bulan ini hanya 5-7 kontainer saja.

[1]Makalah disampaikan pada acara diskusi Ilmiah dalam rangka Purna Tugas Prof. Drs. Sp. Gustami, S.U. di Gedung Pascasarjana Jl. Suryodiningratan No. 8 Yogyakarta, hari Sabtu 4 April 2009.
[2]Periksa Katalog Pameran Kriya yang diselenggarakan oleh FKS (Form Komonikasi Seni) di Sasana Ajiyasa FSRD ISI tanggal 25-31 Oktober 1987.
[3]Periksa Soedarso Sp., Tinjauan Seni Sebuah Pengantar Untuk Apresiasi Seni (Yogyakarta: Saku Dayar Sana, 1990).
[4]A.Im’an Sukri, Cahyo Joko Sukmono, Eni Martina, dkk, Masa Depan Yogyakarta dalam Bingkai Keistimewaan (Yogyakarta: Unit Penerbit Parwi Foundation, tth), hal. 60.
[5]Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa (Jakarta: Balai Pustaka, 1986) hal. 153-154.
[6]Periksa R.M. Soedarsono, Seni Pertunjukan Indonesia: Perspektif Politik, Sosial, dan Ekonomi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2003).
9Sun Ardi, "Yogyakarta Kota Persemaian Pelukis Indonesia", Katalog, Pameran Seni Rupa, Festifal Kesenia Yogyakarta III, Benteng Vredeberg Yogyakarta, 1992, hal. VI.
10"Yogyakarta Kontributor Utama Seni Rupa Indonesia", beberapa pendapat Suwarno W. dan M. Dwi Marianto, dimuat pada harian Bernas, Minggu Paing 14 September 1997, hal.9.
[7]Sambutan Direktur Jenderal Pembinaan pelatihan dan Produktifitas pada acara Pembukaan Bimbingan teknis pengembangan managemen UKM (Pasca Penghargaan Produktivitas dan Kualitas UKM Indonesia Tahun 2005) Surabaya, 22 Agustus 2006.
[8]“Design Meet Artisan” (Columbia: Craft Revival Trust, Artesanfas, S.A., Unesco, 2005), hal. 4.
[9]John Heskett, Desain Industri (Jakarta: Penerbit Rajawali, 1986), hal.6.
[10]Myron Weiner, ed., Modernisasi Dinamika Pembangunan (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1984), hal. X-XII.
[11]Seperti diungkap dalam sebuah tulisan tentang Asesories rumah Serat Alam Arindha pada Majalah Hendikraft , Majalah bulanan Handicraft dan Furniture Dwi Bulanan Edisi 20/Tahun IV/Agustus-September 2005, 15.