Kamis, 27 Agustus 2009

Pemasaran Seni Karajinan di Bantul: Kasus Seni Kerajinan Keramik Kasongan PASAR SENI KERAJINAN KERAMIK KASONGAN SEDANG GUSAR DR. TIMBUL RAHARJO,

Pemasaran Seni Karajinan di Bantul: Kasus Seni Kerajinan Keramik Kasongan
PASAR SENI KERAJINAN KERAMIK KASONGAN SEDANG GUSAR
DR. TIMBUL RAHARJO, M. HUM.

A. Awal
Sekitar pukul dua siang minggu lalu, mbah Sarjiman karyawan penulis bagian packaging keluar gerbang sambil bersiul menenteng walesan pancing dan sebotol umpan ikan yang ternyata sejak pagi telah dipersiapkannya. Setelah presensi di depan satpam ia kemudian hendak belalu dengan sepeda motornya. Kebetulan penulis berpapasan dengannya dan menyapa “isih awan kok wis bali mbah?” (masih siang kok sudah pulang mbah?) dia menjawab “nggih la pun mbaten wonten gawean, niki ajeng mancing” (ya habis sudah tidak ada pekerjaan, mending mancing saja) ladalah ternyata disusul 40 orang anak buah mbah Sarjiman yang juga pulang awal. Pak Parno yang menjabat sebagai quality control bagian finishing juga sudah membawa sabit siap mencari damen buat ternak sapinya. Kemudian penulis bergegas menemui mbak Tris yang menjabat sebagai manager di perusahaan penulis, ia menjelaskan bahwa krisis financial global telah berdampak pada industri seni kerajinan termasuk usaha penulis. Kemudian penulis teringat cerita Pak Buang yang sekarang berprofesi menjadi pencari belut di sawah, bahwa di tempat kerjanya sudah tidak ada lagi order, sehingga terjadi pengurangan karyawan padahal ia harus menghidupi istri dan empat anaknya. Pada hal lagi Pak Buang dikenal sebagai seorang pembuat keramik yang handal. Namun ia tidak tahu kenapa tidak ada order, yang terpikir di benaknya hanya apakah para bule (buyer) itu takut ke Indonesia karena ada bom, atau mereka malas ke sini karena marah, sebab uang muka ordernya dipakai bosnya untuk kawin lagi atau apa? Mereka tahunya kok sekarang sepi order. Mereka tidak pernah membayangkan bagaimana barang seni kerajinan sampai di negara si bule, bagaimana cara menjualnya, barang laku apa tidak, rusak tidak, ia tahunya bule itu senangnya membeli barang yang antic dan bodoh, sebab senang produk yang di sini kurang laku dan tidak meling-meling (berkilau).
Pemahaman global tentang situasi dan kondisi internasional masih belum banyak dimengerti diantara pengrajin. Masyarakat dunia sedang menghemat uangnya akibat krisis financial global. Kengerian situasi itupun kemudian dapat kita lihat pada flash back beberapa bulan lalu, yakni pasar seni kerajinan tahun 2009 menunjukan situasi yang rumit yang turun sampai 70 persen pada semester awal tahun ini. Dengan demikian jika kita berbicara pemasaran seni kerajianan tentu berkaitan dengan apek pasar luar negeri. Sebab dalam bisnis seni kerajinan hampir 90 persen berpasar ekspor.
Dengan situasi demikian, tentu pembicaraan pemasaran menjadi kurang menarik karena kondisi yang selama ini menjadi primadona ekspor Bantul saat ini sedang mengalami penurunan yang luar biasa. Namun demikian kemungkinan justru menjadi sebuah masalah yang menarik yang dapat didiskusikan di ruangan ini. Baiklah judul di atas adalah “Pasar Seni Kerajinan Keramik Sedang “Gusar” maksud penulis bahwa seni kerajinan saat ini sedang mengalami kondisi pasar yang kurang baik, yang sedang sakit adalah para importer yang kesulitan menjual produk seni kerajinan Indonesia di negaranya, mereka sedang mriang, mereka sedang krisis. Sementara produsen/pengrajin tidak. Dengan kata lain saat ini mudah membuat tapi susah bisa jual. Untuk tidak mengurangi existensi yang diharapkan dalam diskusi ini, penulis juga mencoba bercerita tentang kondisi pasar dalam rentang waktu sebelum krisis financial global. Hal ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang menyeluruh tentang kondisi pasar seni kerajinan dan bagaimana upaya-upaya pembinaanya.

B. Kondisi Pasar Sebelum Krisis, tapi Gempa
Setelah gempa bumi 27 Mei 2006 lalu kondisi fisik di wilayah Bantul mengalami kerusakan yang luar biasa. Mr. Enrico, seorang importer dari Italia yang sering membeli seni kerajinan Keramik dari Kasongan yang rata-rata 10 kontainer tiap bulannya, dua hari setelah gempa menanyakan pada penulis “ Mr. Timbul what can I do to help you, should I send money to you” dengan gagah berani penulis menjawab “give me more order to fix our condition” Mr Enrico kaget dan memang membuat order lagi. Beberapa minggu kemudian penulis pusing dengan banyaknya order yang masuk sementara kondisi perusahaan masih amburadul. Banyak karyawan yang stress karena kondisi rumah mereka roboh, mental mereka terganggu, mudah tersinggung, dan mudah marah. Sehingga kinerja mereka sangat menurun, mereka pucat dan kurus-kurus. Pada hal pasar seni kerajinan keramik masih terbuka lebar sementara produksi sedang K.O dan produktifitas menurun. Penulis kemudian berfikir bagaimana cara memperbaiki situasi yang demikian dengan cepat.
Mengingat pasar masih memerlukan produk seni kerajinan keramik, sementara produksi mengalami kendala teknis yang cukup berat. Kemudian penulis lakukan tindakan yakni pertama dicoba untuk membenahi mental para karyawan dengan mendatangkan konsultan mental (spikiater), penulis meminta untuk mengobati mental mereka untuk dapat konsentrasi bekerja, kedua membenahi infrastruktur produksi dan yang ketiga membenahi system produksi. Dalam jangka sepuluh bulan kemudian ternyata produktifitas meningkat, dapat memaksimalkan produksi sesuai ekspektasi penulis. Pasar menjadi lebih terinspirasi untuk memberikan peluang-peluang lain untuk memaksimalkan produksi. Bahkan pada tahun 2007 mengalami peningkatan yang luar biasa, pasar Eropa, Amerika, Kanada, Australia dan Korea sangat mendominasi pembelanjaan seni kerajinan Keramik Kasongan. Mereka tampak kesetanan untuk membelanjakan uangnya karena produk seni kerajinan keramik memiliki kualitas seni yang mampu menyihir konsumen manca negara untuk mengkoleksi dan menghiasi rumah hunian mereka. Mereka sangat menghargai barang kerajinan tangan sebagai salah satu produk yang memiliki nilai seni tinggi.
Dengan adanya gempa itu membuat gereget pemerintah untuk memberikan dukungan penyelamatan gempa cukup baik. Upaya-upaya dilakukan agar masyarakat Kasongan dapat bekerja kembali. Mengingat ketika itu kendala akibat gempa dapat ditangani masyarakat pengrajin dengan cepat, penulis pernah memprediksikan Kasongan akan pulih dua tahun lagi, namun ketika ditahun awal 2008 meletusnya gelembung surat berharga yang diawali dari Negara adidaya Amerika yang kemudian meruntuhkan sendi-sendi ekonomi dunia dan dunia ekspor Indonesia, maka pasti pemulihan kondisi akan mengalami kemunduran sampai tahun 2011 dengan catatan krisis global telah berakhir. Persoalan pasar sesaat setelah gempa tidak menjadi persoalan bahkan beberapa pengusaha seni kerajinan di wilayah Bantul mengalami peningkatan yang signifikan. Indikasinya terlihat dari beberapa event pameran seni kerajinan dan mebel seperti Trade Expo Indonesia 2007 banyak peserta dan buyer yang datang.

C. Pasar pada Era Krisis Global
Bagian terpenting dari kegiatan pasar seni kerajinan bergantung pada kondisi internasional. Gejolak masyarakat dunia akan menentukan baik dan tidak, sebab seni kerajinan Keramik Kasongan sebagian besar hanya melayani pasar luar negeri. Dengan kondisi krisis financial global yang sedang berlangsung saat ini memang tidak banyak yang bisa diperbuat. Beberapa buyer yang telah terbiasa belanja seni kerajinan Keramik Kasongan sedang mengatur kondisi perusahaan masing-masing. Mereka menunggu sampai kondisi membaik, orang sudah mulai nyaman jika kebutuhan primer telah tercukupi, sementara seni kerajinan adalah barang yang dibutuhkan sebagai bagian kebutuhan skunder. Wajar jika produk ini akan laku terjual ketika kebutuhan makan, sandang, dan perumahan telah terpenuhi.
Kondisi seni kerajinan memang menjadi serba sulit, banyak kegiatan home industry di wilayah Kasongan megalami pemutusan hubungan kerja, bahkan telah tutup. Usaha yang masih mengandalkan pada suplay ke perusahaan lebih besar mengalami kemacetan, Mungkin pemerintahpun belum begitu sadar akan terganggunya pemasaran oleh olah krisi global ini. Dengan demikian upaya-upaya yang dilakukan masih bersifat pembenahan dari sisi produksi, sementara pasar yang digarap belum dapat memberikan pemulihan pasar yang baik. Tentu dalam hal ini bukan bagaimana mencari pasar yang tidak terkena dampak krisis seperti Timur Tengah, Eropa Timur, maupun Negara-nera Karibian, namun juga realisasi pemasaran yang bernar-benar meringankan bagi UMKM. Beberapa dari teman pengrajin mencoba untuk memasarkan ke wilayah-wilayah potensial di dalam negeri, hanya saja kendala transportasi antar pulau yang masih menjadi kendala serius dalam proses perdagangan seni kerajinan.
Meskipun krisis saat ini yang kena adalah finansialnya, bukan sector riil, namun antara financial dan sector riil merupakan dua hal yang tak terpisahkan. Awalnya banyak orang memprediksikan sector riil tidak kena dampaknya, namun pada kenyataannya sector riil inilah yang ternyata mengalami kesulitan yang lebih besar. Pada umumnya mereka belum menerapkan system manajemen yang baik terutama dalam hal penataan research and development (R&D) dalam bagian unsahanya, begitu terkena dampak perubahan situasi pasti mereka jatuh terlebih dahulu. Kapankah krisi akan berakhir? Pernah penulis lontarkan kepada calon wapres Budiono dalam sebuah diskusi. Beliau menjelaskan pada sector keuangan sudah menunjukan titik terang adanya perubahan ke arah yang lebih baik, sementara pada sector reiil diharapkan akan segera menyusul. Kapan menyusulnya? Nah ini tergantung pada telah membaiknya kondisi ekonomi internasional dan kesadaran masyarakat dunia untuk segera melupakan krisis dan segera menggunakan atau membelanjakan uangnya, harapannya geliat bisnis seni kerajinan Keramik segera bangkit seperti semula.
Beberapa perusahaan trading yang besar di Eropa mengalami resesi. Dari beberapa yang penulis kenal telah menyatakan sementara berhenti membeli dulu sampai krisis berlalu, bahkan ada yang telah tutup. Sementara buyer retailer yang mereka langsung menjual produknya di showroom pribadinya masih menunjukan geliat yang cukup baik. Hanya saja keteraturan melayani mereka harus dijaga secara intensif mengingat buyer jenis ini ternyata memiliki daya tahan yang baik sebab mereka tidak direpotkan dengan proses pengaturan distribusi yang cukup panjang dalam pemasarannya. Pada sub bab berikut disampaikan beberapa cara pemasaran yang dilakukan pada seni kerajinan terutama seni kerajinan Keramik.
D. Kegiatan Pemasaran Seni Kerajinan
Sebagai pengrajin kecil pada usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), pada awalnya, pola kegiatan produksi masih bersifat tradisional dan hanya kenal dengan pasar regional sekitarnya. Mereka menjajakan produknya berkeliling dari desa ke desa, mensuplay para pengepul di pasar-pasar tradisional. Umumnya produk yang dihasilkan jauh dari unsur seni, sesuai dengan kebutuhan harian masyarakat sekitanya, seperti roduk seni kerajinan sebagai barang peralatan rumah tangga. Mereka adalah masyarakat yang rata-rata mengenyam pendidikan tingkat dasar, sehingga belum begitu baik untuk mengenal pasar modern yang lebih luas apalagi aplikasi dengan teknologi informasi. Namun bagi unit-unit usahan yang cukup besar dapat mengatur kegiatan pasar seefektif mungkin. Merka dapat memahami, menerapkan, dan melakukan jenis-jenis pola pemasaran yang cukup baik.
Pengrajin seni kerajinan Keramik tidak semua membuat terobosan pasar dari berbagai sisi, seperti mengikuti pameran di dalam maupun diluar negeri, atau membuat situs di internet. Namun juga mereka mengandalkan arshop-arshop yang mereka miliki di wilayah sepanjang jalan Kasongan. Tampaknya pasar seni kerajinan yang terpadu dalam sebuah lokasi membuat para buyer yang semula datang untuk membeli seni kerajinan Keramik pada beberapa buyer juga melirik produk non gerabah yang juga ikut dijajakan di wilayah sepanjang jalan Kasongan.
Sebagai desa wisata Kasongan telah mampu menjadi salah satu tujuan wisata yang baik. Ketertarikan dengan wilayah ini telah membuat Kasongan memiliki daya tarik tersendiri pada para buyer. Sebagai wilayah kedua yang didatangi oleh para buyer lepasan dari Bali, maka Kasongan sebagai pilihan utama bagi para wisatawan terutama yang suka berbinis dalam bidang seni kerajinan. Kasongan telah hadir sebagai representasi wilayah Bantul bahkan Yogyakarta sebagai pusat seni kerajinan yang dihasilkan dari wilayah Yogyakarta dan sekitarnya. Meskipun Malioboro telah hadir dan menampilkan produk seni kerajinan Yogyakarta para buyer yang telah mendalami bisnisnya tentu menghindari Malioboro untuk negosiasi bisnisnya. Inilah yang membuat daya tarik Kasongan semakin menjadi ketika produk hadir sebagai ujung tombak dalam meraih pasar di sepanjang kiri-kanan jalan Kasongan itu.
Perusahaaan yang memiliki kapasitas dapat melayani buyer dalam skala container tentu melakukan upaya pemasaran yang lebih luas. Salah satu produk pameran seni kerajinan yang bertarap internasional adalah Trade Ekspo Indonesia (TEI) pada bulan Oktober tiap tahunnya dan IFFINA pada bulan maret adalah dua pameran besar internasional di Indonesia yang sering diikuti oleh para pengusaha yang telah memiliki system managemen yang baik, atau perusahaan yang berorientisasi ekspor. Ada juga pmeran INACRAFT yang diselenggarakan bulan April yang lebih focus utuk pasar local, juga menjadi salah satu alternative pasar dalam negeri.
Namun demikian pemasaran pada tingkat ke dua adalah pemasaran yang memang khusus mensuplay para trading yang dibawa berpameran internasional itu. Mereka memposisikan diri sebagi penyuplay saja, mereka tidak mau melakukan pameran sebab akan terjadi benturan diantara pembeli dan produsen yang ikut serta dalam sebuah event pameran. Demikian pula kegiatan pameran luar negeri beberapa pengusaha yang telah berpameran internasional dalam negeri, tentu tidak mau berpameran di luar negeri dengan kondisi tujuan pasar yang sama dengan buyernya. Memang etika menjadi sangat penting, posisi pasar yang mana yang akan diambil.
Sebuah kegiatan bisnis tentu memiliki pola dan langkah yang tepat dalam melakukan kegiatan pemasaran. Kantong mana yang akan di jelajah sesuai dengan kapasitas masing masing. Sebuah sentra seni kerajinan seperti Kasongan para pengrajinnya memiliki tingkat managemen yang berbeda-beda, yang lebih kecil akan mensuplay pada perusahaan yang lebih besar, baik dalam sistem produksi maupun pemasaran. Keduanya menjadi sangat penting dan terjadinya sinergisme yang baik dalam suasana saling menguntungkan. Jika berat sebelah maka sebuah usaha akan mengalami penurunan.
E. Penutup
Pemasaran seni kerajinan terutama seni kerajinan Keramik mermiliki pola pemasaran yang menyesuaikan dengan kapasitas usaha seni kerajinan Keramik itu. Usaha-usaha pemasaran yang dilakukan adalah:
1. Menjajakan secara berkeliling, terutama barang peralatan rumah tangga
2. Acongan, terutama saat musim wisata di beberapa wilayah yang dikunjungi wisatawan seperti di Alun-alun Utara.
3. Memiliki Showroom di pinggir jalan Kasongan.
4. Mengikuti Pameran-pameran local dan Internasional
5. Membuta situs pemasaran melalui Internet.
6. Adanya guide yang membawa tamu ke showroom/studio dengan memberi imbalan “brengos” yang umumnya lima persen.
Hal itu beberapa hal yang dapat penulis disampaikan ada kurangnya mohon maaf.





F. Tentang Penulis
Nama Timbul Raharjo, bertempat tinggal di Kasongan Kab. Bantul Yogyakarta. Lahir di Kasongan 39 tahun yang lalu. Tahun 2008 menyelesaikan program Doktor di Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Tahun 2007 menerima anugerah UPAKARTI dari Presiden, dan menjadi pengusaha terbaik empat versi Dji Sam Sue. Mengajar di Jurusan Kriya ISI Yogyakarta, Memiliki studio Timboel Keramik di Kasongan.

Kamis, 07 Mei 2009

Penciptaan Seni Kriya dalam Ranah Suvenir

A. Pendahuluan
Terima kasih kepada panitia penyelenggara sebab penulis diberi kesempatan pada hari ini untuk bertukar pikiran dengan para guru sekolah menengah pertama. Dalam kesempatan ini penulis sampaikan bahwa pola pengajaran pendidikan pada tingkat pertama selalu dimulai dengan bentuk-bentuk pembelajaran bersifat mendasar. Sebab pengetahuan seni tentu dikaitkan dengan selera orang per-orang yang deisebut dengan rasa seni atau art test. Ada orang yang dengan cepat dapat menyesuaikan dengan kreteria basig design dalam estetika, ada pula yang susah untuk segera menyesuaikan dengan rasa seni itu, namun bahkan ada yang pas dengan cita rasa seni itu, yakni dengan hasil kreatifitas yang luar biasa. Kepekaan meilihat, merasakan, mewujudkan dan mengapreasikan menjadi momentum yang baik dalam menelusuri kreatifitas. Oleh karena itu pembuatan suvenirpun dalam tataran tertentu juga harus memperhitungkan bagaimana sebuah suvenir hadir untuk menjawab tantangan konsumen yang meginginkannya. Jika dalam membuat suvenir diperhitungkan dengan baik, maka akan segera terakomodasi sebagai produk yang siap dikonsumsi masyarakat.
Dalam pembuatan suvenir memang belum ada aturan pembantasan secara khusus, sebab suvenir itu umumnya berukuran kecil. Sebagai barang yang diapakai sebagai kenang-kenangan , tanda mata, cenderamata, atau apalah yang sifatnya memeberikan bentuk pengingatan akan suatu peristiwa atau telah berkunjung pada suatu tempat dan lain sebagainya. Oleh karena itu umumnya suvenir berukuran kecil agar mudah dibawa oleh orang yang menginginkan atau diberi sebagai produk pengingat agar terkenang terus ketika suatu hari melihat produk itu. Kenangan itu akan hadir manakala telah datang rentang waktu atau masa sesudahnya dan berefek pada pelamunan akan peristiwa yang diwakili oleh suvenir itu. Sungguh merupakan kenangan yang menarik, yang menyedihkan, mengharukan atau bahkan menjengkelkan. Namun peristiwa adalah bentuk kenangan yang telah menjadi sejarah akan peristiwa lampau yang saat ini situasinya berbeda. Untuk itu kenangan pada umumya adalah kenangan yang manis agar menumbuhkan gairah kesenangan baru ketika menikmati suvenir itu.
Baiklah dalam kesempatan ini seni kriya diciptakan sebagai suvenir diharapakn sebagai bagian penting dalam proses pembelajaran. Dalam dunia pendidikan seni sampai saat ini belum diberikan porsi yang layak dalam kurikulum di Indonesia, sehingga porsi dan posisi pembelajaran seni senantiasa dirasa masih belum berpihak alias kurang, padahal seni merupakan pembentuk dasar kepekaan seseorang akan kehalusan, keunikan, dan estitika. Beberapa Negara maju telah memposisikan seni sebagai pra-empiris untuk membentuk rasa kehalusan jiwa, sehingga kepekaan akan esteika dapat diterapkan atau terbawa ke berbagai bidang kegiatan yang mereka geluti.
Sementara di Indonesia sebagai Negara berkembang kegiatan seni dalam hal ini seni kerajinan pada kenyataanya banyak mengandalkan pada ketrampilan tangan. Kegiatan ini dilakukan oleh masyarakat pengrajin yang tersebar di beberapa sentra seni kerajinan yang berkembang di Indonesia. Kandungan nilainya tambahnya adalah nilai seni dan keunikannya dari olah ketrampilan tangan. Orang asing sering menyebut dengan keunikan Asia, seni yang berciri khas dan bersumber inspirasi benda-benda budaya timur (ancient art). Karena bermula dari seni tradisi, maka terdapat anggapan persoalan kreatifitas hanya terbentuk dari daya peniruan atas seni tradisi tanpa ada perubahan. Jika hanya bentuk pengulangan yang terus menerus menjadi hambar nilai kreatifitasnya, bahkan dikawatirkan dianggap primitive. Tampaknya jenis seni apapun yang berhasil dengan daya kreatifitas dan inovasinya akan segera terapresiasi penggemarnya tanpa mempertimbangkan primitive, modern, atau tradisi.
Nah dengan demikian dalam pembuatan suvenir perlu adanya sebuah pengetahuan dalam bidang seni kriya agar pembuatan suvenir memiliki daya tarik tersendiri bagi calon pemakainya. Perhitungan dan pertimbangan dalam membuat suvenir perlu diberikan rambu-rambu yang baik agar suvenir yang diciptakan memiliki kreteria sebagai suvenir yang unik dan menarik. Kemenarikan itu akan terpancar pada sisi karakter yang terdiri dari daya kreatifitas, pemilihan bahan, bentuk, finishing, dan ide yang original. Didukung dengan pola produksi dan pola pasar, maka akan tercipta suvenir yang “bagus”. Arti bagus disini menurut penulis sangat relative, bisa bagus karena bentuknya yang unik bagi pada perasaan pembuatnya, bagus karena cepat laku, atau bagus karena menjuarai pada lomba suvenir. Bagus dan tidak tentunya tergantung pada kandungan esteis, makna, dan tentunya test seni. Jika suvenir telah dijadikan mata pencaharian, maka bagus itu adalah cepat laku, jika sebagai koleksi pribadi bagus karena ia suka, dan lain sebagainya. Namun dalam persoalan ini pembekalan pengetahuan bagi para guru tentu dimulai dari bagaimana membuat produk agar supaya bagus dalam arti kreteria telah terpenuhi yakni bagaimana menggugah daya kreatifitas anak didik agar dapat mau untuk membentuk seni dari hasil pengamatan yang ada disekitarnya dan dijadikan seuatu yang bermanfaat.
Nah bagaimana membuat seni kriya dalam ranah suvenir ini menjadi bagus, maka penulis mencoba untuk membuat beberapa masukan agar dapat dipakai sebagai pengetahuan dalam membentuk suvenir. Bukan saja membuat suvenir yang dilihat dari sisi basig design melalui bentuk saja, namun perhitungan tentang budaya, bahan, produksi, dan marketnya memegang peran sangat penting. Hal ini agar anak didik memiliki gambaran holistic apa fungsi dari suvenir secara utuh.
B. Pemilihan Bahan
Indonesia memiliki keunikan bahan baku yang dapat dieksplorasi menjadi produk yang memiliki nilai tambah melalui sentuhan kreatifitas. Bahan mentah atau row material di Indonesia banyak diekspor tanpa kita tahu kegunaan selanjutnya, seperti bijih besi, rotan, kapur, dan lain sebagainya. Tentu dibutuhkan manusia-manusia yang memiliki kemampuan untuk mengeksplorasi sebuah bahan yang melimpah dan tampak tidak berguna itu diubah menjadi sesuatu yang memiki nilai lebih, sehingga memiliki daya jual yang lebih baik dari pada row material yang ada. Salah satunya dibentuk menjadi barang seni kriya. Kepekaan terhadap bahan yang ada di alam sangat diperlukan, semisal sebuah daun kering yang kemudian ditekok, dilipat, dan dilem menjadi sebuah bunga yang menarik. Sepotong kayu bakar yang kemudian diberi sentuhan guratan, dan diberi tulisan dapat dibuat sebuah suvenir yang berfungsi sebagai gantungan kunci.
Kepekaan melihat dan mengamati bahan yang ada disekitar kriyawan menjadi hal yang perlu ditekankan bagi anak didik kita. Siswa diajari bagaimana melihat suatu bahan yang tampak tidak berguna itu menjadi sesuatu yang bermanfaat. Dengan cara demikian kreatifitas anak didik akan terus terasah untuk memanfaatkan bahan itu, dalam bahasa Jawa “reko-reko” dengan rekaannya pasti memunculkan sesuatu yang berbeda dari asal mula bahan sebelumnya. Dengan demikian bahan baku tidak harus dibeli dari toko, atau impor dari luar negeri. Eksplorasi bahan sendiri memiliki keuntungan yang luar biasa, sperti bahan tidak usah beli sehingga menekan cost produksi dan pasti jika dijual memiliki keuntungan lebih besar. Pertimbangan ini telah terbukti ketika krisis ekonomi tahun 1997 dimana sektor konglomerasi bangkrut karena semua atau sebagian besar bahannya import dari manca Negara. Oleh karena harga bahan impor dan saat itu ternyata harganya melambung tinggi, sehingga harga jualnya tidak sebanding dengan cost produksinya. Bahkan pasar yang dituju ternyata pasar local, yakni dalam negeri yang juga sedang krisis saat itu. Bahan yang didapat dari lokal saat krisis itu mampu bertahan sebagi contoh maraknya order kepada sentra seni kerajinan kayu Jepara, Keramik Kasongan, Sebatu Tegalalang Bali, mereka taun 1997 meraup keuntungan yang luar biasa karena salah satunya berbahan lokal.
Sekali lagi pemilihan bahan bagi para pembuat suvenir pemula penting sebagai penggugah kreatifitas. Mereka dapat membayangkan akan dibentuk seperti apa bahan itu, misalnya bahan berupa tanah liat maka dibuatlah seni kerajinan keramik, kayu dapat dibuat seni kriya suvenir dalam kerajinan kayu, bebatuan maka dapat dibentuk patung, jika berupa powder maka dapat dibentuk dengan menggunakan bahan katalisator seperti semen atau lem. Katalisator tersebut dapat menguatkan powder dan bersifat keras setelah pembentukan selesai. Jika bahan yang ditemui dedaunan maka dapat dibentuk bunga-bungaan atau bentuk lain yang memiliki keunikan tersendiri. Bahkan lumpur Lapindo yang jutaan kubik itu dapat dimanfaatkan untuk membuat seni kerajinan keramik, patung, atau suvenir apapun dengan cara dibakar, ditambah semen, resin dan lain sebahgainya. Nah kepekaan mengolah bahan ini menjadi penting untuk membuat sebuah produk suvenir yang memiki karakter bahan lokal.
C. Sumber Inspirasi
Sumber inspirasi adalah ilham yakni sebuah bentuk tertentu untuk memancing sebuah kreatifitas terhadap penentuan sebuah tindakan atau membuat sesuatu. Sebagai sebuah angan-angan yang muncul dari hati, bisikan hati, atau sesuatu yang menggerakan hati untuk mencipta, bahkan bisikan dari tuhan seperti para Nabi. OLeh karena itu sumber inspirasi adalah awal munculnya angan-angan untuk membentuk sebuah suvenir yang didapat dari pancingan sumber itu. Tindakan kreatifitas diawali dengan sumber yang didapat dari sebuah bentuk yang ada baik yang berupa artefak sejarah, simbol penting dari sebuah ciri wilayah dan lain sebagainya. Upaya penciptaan itu dilandasi dengan angan-angan bahwa sebuah suvenir memiliki daya pikat dan daya kenang yang kuat dari sebuah bentuk sumber inspirasi yang dipilih. Pemilihan sumber tentu diperhitungkan sebagai salah satu image dengan mengambil sumber inspirasi lambing kota, wilayah, cerita-cerita mitos, dan lain sebagainya. Ciri khas inilah yang membuat suvenir menjadi berharga.
Budaya sebagai sumber inspirasi dalam penciptaan suvenir penting terutama yang berhungan dengan bentuk suvenir berkaitan dengan pariwisata. Pemerintah daerah pada umumnya mengupayakan bentuk-bentuk suvenir yang khas daerahnya. Surabaya memiliki banyak artefak budaya yang dapat dieksplorasi sebagai sumber inspirasi pembentukan barang suvenir. Peninggalan yang sifatnya masa lampau seperti artefak Kerajaan Majapait, bahkan cerita Sura dan Baya yang melegenda sebagai mitos yang akrap ditelinga masyarakat Surabaya sebagai cerita awal munculnya kota Surabaya. Bentuk-bentuk itu dapat dieksplorasi dengan media bahan yang telah dipilih sebagai bahan pembuat suvenir. Kegiatan pariwisata di Surabaya sebagai bentuk upaya pemerintah daerah dalam menggalakan kunjungan wisata. Wisatawan menginginkan bentuk kenangan yang berkhas Surabaya. Dengan demikian diperlukan upaya-upaya eksplorasi bentuk-bentuk simbol umum yang dapat memberikan image pada wisatawan tentang Surabaya. Hal ini sesuai dengan program pemerintah tentang upaya percepatan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.
Bentuk-bentuk lain tentu juga menjadi pertimbanagn manakala sebuah suvenir dipesan dengan desain dari pemesan seperti logo pertamina, logo sebuah merk dagang tertentu, dan lain sebagainya. Simbol itu kemudian digarap dengan daya kreatifitas seorang pembuat suvenir sehingga memenuhi kreteria yang diinginkan konsumen. Lain lagi ketika suvenir itu dibentuk bukan atas permintaan dari para pemesan yakni suvenir yang ciptakan dari kreasi sendiri yang berinpirasi dari angan-angan yang tidak begitu jelas tetapi karakter bahan lebih ditonjolkan. Jika suvenir itu diproduksi secara masal dalam suatu desa atau wilayah, maka jenis inipun lambat laun menjadi ciri khas daerah itu. Oleh karena itu simbol yang ada di sebuah wilayah dapat ditentukan dari seberapa besar nelai kepentingan dan impresi yang dimunculkan dan simbol, artefak maupun hasil dari angan-angan itu.
D. Fungsi Suvenir
Kombinasi pemilihan bahan dan pemilihan sumber inspirasi sangat penting dalam membekali anak didik dalam memahami pada suvenir yang dibuat dengan tujuan tertentu. Artefak dan simbol wilayah adalah penting sebagai dasar pembentukan suvenir yang dikonsumsi oleh para wisatawan, tamu Negara, atau tamu pribadi yang sengaja berkunjung. OLeh karena itu bentuk selalu berubah sesuai dengan kebutuhan. Tujuan dibuat suvenir pada umumnya di peruntukkan:
Suvenir pemenuh kebutuhan pariwisata
Suvenir untuk kebutuhan acara pernikahan
Suvenir untuk kebutuhan acara peresmian
Suvenir untuk acara promosi
Suvenir untuk acara kunjungan
Suvenir untuk acara pertemuan ilmiah
Suvenir untuk ulang tahun
Dan lain sebagainya.
Kebutuhan suvenir untuk pariwisata di beberapa wilayah tujuan kunjungan wisata telah hadir berbagai bentuk suvenir. Bahan dan bentuknya telah beraneka ragam, seperti berbahan kerang, kayu, logam, bahkan testile seperti kaos oblong dan lain sebagainya. Mereka menawarkan berbagai suvenir ini untuk dikonsumsi wisatawan yang berkunjung di sana. Suvenir yang sering menjadi primadona oleh para pengrajin adalah suvenir yang dipakai dalam upacara pernikahan. Suvenir ini memiliki pangsa yang luar biasa sebab pada bulan-bulan tertentu pada masyarakat Jawa misalnya banyak acara pernikahan yang memerlukan suvenir. Sentra-sentra industri suvenir pada bulan tertentu itu banyak diserbu oleh para pasangan muda yang akan menyelenggarakan pernikahan. Hanya sayangnya beberapa tahun ini produk-produk Cina mendominasi dipasar Indonesia dengan harga yang relative murah dan berteknologi tinggi seperti “ceklikan kuku”, sisir dan kaca, bola berlampu dan lain sebagainya, sehingga produk lokal mengalami penurunan omset produksi.
Untuk acara peresmian, promosi, pertemuan ilmiah, dan lain sebagainya tentu menggunakan bentuk yang sesuai dengan program kegiatan itu. Oleh karena itu bentuknya mengikuti apa yang sedang di upacarakan. Suvenir seperti ini juga jumlah dan macam bahannnya bervariasi, namun karena untuk pemenuhan modernisasi sebuah promosi, maka umumnya menggunakan material yang lebih modern seperti logam, resin bening dan lain sebagainya. Nilai luxurious dikedepankan sebagai image yang baik untuk mengangkat produk yang sedang dipromosikan.
E. Teknik Produksi
Teknik Produksi dalam membuat suvenir mengikuti produk seperti apa yang akan dibuat, bahan apa, dan finishing seperti apa. Oleh karena produk suvenir umumnya berukuran kecil, mudah dibawa, dan jumlahnya banyak, maka perlu peralatan yang tidak saja mengandalkan kehalusan ketrampilan tangan, namun agar ukuran dan stabilisasi bentuk tercapai maka upaya modernisasi dengan percepatan produksi, oleh karenaya upaya pembentukan dengan mesin dilakukan. Hasil akhir sentuhan tangan perlu dikedepankan terutama untuk produk suvenir yang memiliki keunikan terutama pada karakter pada ketrampilan tangan. Pengetahuan dan pemahaman produksi dalam pendidikan ditekankan pada system yang sederhana dan mudah, tidak sulit dan terjangkau. Bagi anak didik, bentuk-bentuk yang sederhana itu sebagai upaya untuk mamancing kreatifitas. Pada umumnya kreatifitas dalam persoalan produksi akan terbentuk ketika telah menemui berbagai persoalan pekerjaan yang mengharuskan pada penyelesaian tepat waktu, tepat kualitas, dan tepat management.
Perjalanan penciptaan diawali dari pemilihan bahan, sumber inspirasi, sketsa, detail gambar, perwujudan, finishing, dan pemasaran adalah hal-hal yang saling berkaitan. Pengetahuan ini sangat penting, sebab dalam produksi harus berimbang dengan bagaimana kesediaan bahan, dan kemampuan pasar menerima produk suvenir itu. Suvenir akan berhasil apabila terlah ada wujud sesuai dengan kaidah desain yang ada, apalagi jika telah laku dijual. Pengetahuan tentang urusan memproduksi dan berjualan, selanjutnya dapat membekali anak didik menjadi seorang entrepreneur dalam bidang pembuatan seni kriya, terkhusus pada bisnis pembuatan suvenir. Dengan demikian kreatifitas mereka terbangkitkan yang akan memberi efek eksplorasi pada tindakan lain yang lebih bermanfaat.
Kegiatan memancing kreatifitas adalah bagian dari kewirausahaan, produktifitas, dan upaya managerial yang baik akan membentuk sebuah usaha yang madiri. Kemandiriannya akan ditentukan oleh kesetabilan berproduksi dan bagaimana upaya memasarkan produk. Umumnya mereka menemui peningkatan yang luar biasa, namun kurangnya kegigihan dan pengaturan proses produksi maka mereka mulai bosan, kualitas turun, dan akhirnya bangkrut. Apalagi menggunakan system management yang ala kadarnya pastilah tidak akan bertahan lama. Oleh karena itu, ada dua usaha yang harus dipertahankan yakni upaya ke luar dan upaya ke dalam. Upaya ke luar adalah bagimana menjaga para pelanggan untuk terus menggunakan produknya. Dan upaya ke dalam bagaimana meningkatkan produktifitas yang berkaitan dengan supplier, tenaga kerja, dan “tetek bengek” persoalan yang ada dalam system produksi yang sering memusingkan kepala. Belum lagi jika ada pelanggan yang ngutang, atau karyawan yang ingin pinjam uang, dan lain sebagainya.
F. Sistem Regenerasi
Penulis sering dihadapkan pada persoalan regenerasi pada sentra seni kerajinan. Umumnya generasi baru tidak mau melanjutkan usaha orang tuanya, seperti yang terjadi pada industri kerajinan keramik di Godean Sleman Yogyakarta, anak-anak mereka lebih senang bekerja di perkotaan sebagai buruh pabrik tekstile, penjaga toko, buruh bangunan, dan lain sebagainya. Mereka lupa ketika ia sekolah dibiayai dengan seni kerajinan keramik yang dibuat oleh orang tuanya. Ada anggapan usaha orang tuanya “tidak keren”, ndeso, dan tidak modern. Dengan demikian tinggallah orang tua yang renta tetap membentuk seni keramik itu, sementara generasi mudanya pergi ke kota yang belum tentu memiliki prospek yang baik.
Dalam persolan ini, tentu pendidikan yang diupayakan terhadap anak didik agar mencintai pada hasil kreatifitasnya. Jika telah mencintai kreatifitasnya mereka akan mengupayakan kreatifitas yang lain dalam membentuk jatidirinya. Karakter, keberanian, mengungkapkan kreatifitasnya menjadi point yang penting dalam upaya menumbuhkan keberanian. Memang tidak semudah apa yang ditulis di sini, namun paling tidak upaya membentuk anak didik itu menjadi fokus utama untuk meberikan karakter entrepreneurship sebagai bekal hidup mereka. Nah.. dengan demikian upaya memberikan “pangalembono” terhadap anak didik terus diberikan yang kemudian diberi kritikan yang berupa masukan agar keberanian membuat terus dilakukan tanpa takut mendapat celaan dari guru pengajarnya.
G. Penutup
Sebuah kreatifitas untuk mencipta mencipta souvenir patut memperhitungkan kemungkinan munculnya ide yang original. Tentu kita tidak dapat berharap semua siswa harus menggeluti suvenir sebagai jalan hidupnya, namun pembuatan suvenir sebagai upaya memancing kreatifitas siswa untuk berbuat sesuatu yang bermanfaat dan bernilai seni. Pola pikir untuk membuat sebuah barang suvenir perlu pengetahuan bahwa sebuah suvenir memiliki latar belakang dan tujuan ke depan yang luas, yakni dimulai pemilihan bahan, sumber inspirasi, managerial, produksi, sampai pada bagaimana cara pemasaran, dan kreteria apa agar sebuah produk dapat disebut suvenir.
Bagi para guru dipersilahkan untuk mengupayakan pancingan kreatifitas terutama dalam membuat suvenir yang baik dan benar. Dalam kesempatan ini teman-teman guru sekalian akan membentuk sebuah produk berbahan gabus/stereophon, dengan pertimbangan gabus ringan, mudah didapat dan yang penting mudah dibentuk dan difinishing. Oleh karena itu pelaksanaan ini sebagai upaya untuk mengeksplorasi bentuk. Sementara sumber inspirasi dipersilahkan dapat mengakomodasi dari bentuk-bentuk artefak yang ada, symbol yang ada atau bahkan kreatifitas masing-masing. Produk yang dapat pula dilihat dari fungsinya seperti tempat pensil, asbak, tempat kunci dan lain sebagainya.
Demikian jika ada kekurangan penulis mohon maaf, terima kasih….

Rabu, 29 April 2009

INDUSTRI SENI KRIYA SEBAGAI MEDIA PERCEPATAN KESEJAHTERAAN EKONOMI KERAKYATAN[1]

INDUSTRI SENI KRIYA
SEBAGAI MEDIA PERCEPATAN KESEJAHTERAAN EKONOMI KERAKYATAN[1]
Dr. Timbul Raharjo, M. Hum.


A. Pendahuluan
Tampak judul di atas kental dengan nuansa ekonomi, namun penulis bukanlah seorang ekonom. Penulis adalah seorang kriyawan yang mencoba melihat sisi seni kriya dari perspektif ekonomi yang ternyata mampu mengangkat derajat perekonomian masyarakat perajin di beberapa wilayah Indonesia. Agar tidak salah tafsir dalam persoalan ini penulis menyebut dengan industri seni kriya. Oleh karena ada penambahan kata “industri”, maka seni kriya tidak lagi sebuah masterpiece, namun telah tereproduksi menjadi produk massal yang sering disebut dengan seni kerajinan. Sebab, seni kriya adalah sebuah karya yang diciptakan sebagai karya seorang kriyawan yang orisinal, kreatif, dan inovatif. Karya itu berdiri sebagai sebuah karya yang tiada duanya dan mampu memberikan sebuah produk baru sebagai karya seni kriya.
Tentu, hal ini menarik perhatian para pemerhati seni kriya. Apalagi jika teringat wajah kriyawan yang sering mengernyitkan jidat ketika hasil karyanya direproduksi para perajin seni kerajinan. Mereka gusar, marah, dan penuh segudang kejengkelan ketika mengetahui karya seni kriyanya diproduksi oleh perajin tanpa permisi. Terjadilah pertentangan antara kreativitas kriyawan dalam membuat karya dan kreativitas perajin dalam menjiplak seni kriya itu. Pertentangan itu terjadi diakibatkan kurangnya pengetahuan tata krama berbisnis di antara para perajin. Mereka menganggap persoalan karya kriya baru yang diciptakan kriyawan tidak memiliki nilai, karena beberapa perajin tidak pernah memikirkan betapa mahalnya sebuah ide kreativitas.
Pada beberapa tahun belakangan ini pemerintah menggalakkan apa yang disebut seni kreatif. Industri seni kreatif tersebut terus dipompa dengan harapan bahwa seni kreatif mampu memberikan inspirasi baru dalam persaingan global. Sebab, pada era global, ketika kreativitas membuat produk baru secara ekonomis dapat diterima masyarakat konsumen, maka daya saingnya semakin kuat. Dengan demikian, selanjutnya secara makro dapat membentuk ekonomi kreatif yang merupakan wujud dari upaya mencari titik temu pembangunan ekonomi masyarakat yang berkelanjutan melalui aspek kreativitas. Terbentuk pula suatu kelestarian iklim perekonomian yang berdaya saing tinggi, didukung cadangan sumber daya yang terbarukan dan tepat guna[2]. Banyak negara maju hanya mengandalkan kreativitasnya saja, seperti Jepang dan Korea. Dengan keterbatasan sumber daya alam namun karena kreativitasnya tetap mampu mengolah bahan yang didatangkan dari luar negaranya menjadi produk berdaya saing dan berteknologi tinggi. Nah, mampukah seni kriya sebagai bagian lahan kreativitas budaya bangsa Indonesia dapat dieksplorasi para kriyawan? Sesungguhnya juga dapat menjadi sebuah wilayah yang subur untuk meningkatkan daya saing bangsa Indonesia di mata dunia. Bukankah industri seni kriya saat ini mampu memberi nilai ekonomis dan banyak menyerap tenaga kerja?

B. Keadaan Dunia Seni Kriya
Seni kriya memiliki nilai artistik yang tinggi karena olah keterampilan tangan manusia. Olah seni itu umumnya terinspirasi atas kekayaan hasil seni dan budaya bangsa. Sebagai sebuah karakter budaya bangsa yang juga menggali sumber daya alam dan dipadu sumber daya manusianya, maka seni kriya memiliki aspek etnisitas yang mampu memberikan nuansa Indonesia. Aspek etnisitas itu terpancar dari keunikan eksplorasi seni tradisi Nusantara dan karakter bahan baku yang ada di setiap wilayah Indonesia. Perpaduan itulah yang menjadi menonjol pada pameran tentang aksesoris rumah dan furniture di Madrid beberapa bulan lalu. Memang, menjadi berbeda jika dibandingkan dengan hasil produk China, Vietnam, maupun negara Asia lainnya. Ciri khas Bali, Yogyakarta, maupun Lombok memberikan aksen ketertarikan tersendiri bagi para konsumen di Eropa.[3]
Pada tataran pendidikan maupun pemerintahan, kata “seni kriya” sangat dikenal untuk menyebut produk seni yang adiluhung hasil gubahan seni budaya bangsa. Para kreator seni kriya adalah sebagai kriyawan-kriyawan yang mampu memberikan inovasi baru terhadap perkembangan seni kriya Indonesia. Pada kenyataannya justru sering tidak mendapat tempat yang baik ketika karya yang dihasilkan tidak lagi menjadi karya kriya. Mereka merasa hasil kreativitasnya terenggut arus perubahan industrialisasi seni yang mengakibatkan seni kriya menjadi produk seni kerajinan. Seni kerajinan sangat mengikuti perubahan pasar sehingga jika produk yang dilempar ke pasar memiliki daya jual yang baik, maka para perajin akan sekuat tenaga mereproduksinya. Nah, ini menjadi sebuah persoalan bagi sebagian kriyawan. Memang, di antara mereka menjadi khawatir sebab mereka (kriyawan) berusaha mencari inovasi dan kreativitas yang cukup lama dalam proses penciptaannya. Namun dengan serta-merta dicomot sebagai model atau contoh bagi para pengusaha industri seni kerajinan. Inilah yang mengakibatkan beberapa kriyawan mandeg kreativitasnya.
Terdapat dua tujuan dalam penciptaan seni kriya, yaitu sebagai barang yang dibuat atas dasar kepentingan ekspresi pribadi dan seni kriya yang diciptakan atas dasar keperluan ekonomis. Keduanya diciptakan secara penuh perhatian dengan tujuan ke depan, mungkin hanya sebagai koleksi pribadi atau sebagai barang yang siap dijual: sebagai barang pemenuh pasar. Kriyawan-kriyawan justru muncul kreativitasnya untuk mau berkarya ketika karya yang dihasilkan memiliki daya tawar yang baik. Daya tawar itu akan bermuara pada medan transaksi baik secara langsung atau tidak langsung berupa tindakan ekonomis. Oleh karena itu, kriyawan yang mendasarkan pada tataran kesenimanannya sering tidak tahan ketika persoalan ekonomi menimpa dirinya. Namun, kriyawan yang juga memikirkan bagaimana mekanisme produksi yang kreatif dan berusaha menelurkan reproduksi yang baik pula, maka kriyawan semacam ini akan selalu kreatif mencari peluang bagi produknya agar dapat diterima pasar. Adakalanya dengan kreativitasnya malah menciptakan produk seni kriya yang mampu mengarahkan pasar atau konsumen mengikuti arah perkembangan seni kriya kreasi baru itu. Bukankah karya seni lain pun akan selalu hidup jika ada penyangga yang dapat memberikan keleluasaan berkreasi agar kedua arah yakni antara produktivitas atas hasil kreativitas mendapatkan peluang atau diterima oleh pihak lain sebagai pengguna atau penikmat. Seorang kriyawan yang mampu membentuk karyanya diterima penikmat sebagai barang seni yang memiliki nilai tinggi, maka sang kriyawan tersebut telah mampu memberikan arah perubahan atas arus pasar yang sejalan dengannya.
Namun persoalan yang sering muncul adalah keengganan kriyawan untuk berkarya kriya karena persoalan dijiplak atau desainnya diproduksi orang lain. Seorang kriyawan yang memiliki talenta tinggi dalam menciptakan seni kriya dapat membuat pengguna, penikmat, atau pasar mengikuti gerak kreativitas itu. Hanya saja, beberapa kriyawan belum dapat memanfaatkan peluang tersebut. Hal ini disebabkan persoalan mindset dalam diri mereka justru berpikir tidak ada persoalan jika menciptakan karya yang sesuai imajinasinya. Hanya saja, bagaimana mekanisme keberlangsungan kreativitas itu sehingga dapat terus terjaga? Belum banyak juga kriyawan yang menguasai cara berproduksi yang baik serta cara memasarkannya. Hal ini memerlukan manajemen yang baik, didukung karakter kriyawan tersebut agar mau menjadi entrepreneur yang baik. Tentu, dalam hal ini, tidak saja diperlukan bagaimana membuat produk seni kriya yang baik, namun juga bagaimana menjalankan mekanisme proses reproduksi dan memasarkan hasil produknya. Itulah hal yang juga sangat penting.
Sebagai seorang kriyawan maka tinggal memilih jalur yang akan dilalui. Akankah memilih jalur seni kriya sebagai ungkapan jiwa kriyawan atau seni kriya sebagai produk yang mengabdi pada pasar? Jalur yang utama, jika mengikuti program pemerintah tentang seni kreatif maka memiliki peluang yang baik manakala sebuah kreativitas dapat diorganisasi menjadi badan usaha yang bergerak dalam pemenuhan desain baru atau ide baru seni kriya yang dapat dimanfaatkan oleh para pengusaha seni kerajinan. Tentu legalitas desain yang diciptakan akan mendapatkan hak sebagai desain ciptaan kriyawan karena didaftarkan ke badan yang mengurusi hak atas kekayaan intelektual (HAKI) yang meliputi hak cipta, hak merk, dan hak paten[4].

C. Keadaan Dunia Seni Kerajinan
Seni kerajinan merupakan bentuk kegiatan berkreasi masyarakat. Jika dalam sebuah wilayah terdapat seni kerajinan yang tumbuh dan berkembang sebagai bentuk kegiatan mata pencaharian, maka wilayah itu disebut dengan sentra seni kerajinan. Para penduduknya menggantungkan hidupnya dari membuat seni kerajinan yang banyak mengandalkan keterampilan tangan. Keahlian itu umumnya didapat dari peninggalan warisan orang tua mereka yang kemudian dikembangkan sebagai bagian penyesuaian dengan gerak pertumbuhan dan perubahan zaman. Bagi sentra industri seni kerajinan yang berkembang dapat dipastikan memiliki pelanggan atau konsumen yang baik. Jika produk seni kerajinan itu semakin laku, maka kegiatan produksi volumenya semakin meningkat. Terjadi sebuah mekanisme sirkulasi proses produksi yang kait-mengait sehingga terjadi sinergisme yang satu sama lain saling membutuhkan.
Pada beberapa tahun ini pemerintah menamai sinergisme itu sebagai klaster. Klaster sebuah sentra seni kerajinan adalah bentuk kegiatan yang saling mendukung secara keseluruhan dalam sebuah sentra seni kerajinan guna mencapai percepatan ekonomi kerakyatan. Keserasian antara peran pemerintah, perajin, dan konsumen dalam membangun sarana pembangunan infrastruktur, mekanisme perizinan, kesediaan bahan, transportasi, keamanan, dan agen-agen pemasar bergerak searah agar mencapai tujuan yang sama.
Sinergisme tersebut menjadi kesepakatan yang diatur bersama dalam mengembangkan sentra industri seni kerajinan. Hal ini diupayakan karena perajin yang sebagian merangkap sebagai pengusaha seni kerajinan umumnya susah diajak kerjasama. Mereka saling menutup diri, yang mengakibatkan tidak adanya komunikasi di antara para perajin, sehingga akhirnya terjadi persaingan tidak sehat. Saling curiga, menurunkan harga, menyerobot desain baru, menjelekkan lawan usaha dan seterusnya, sehingga tidak jarang terjadi perselisihan di antara mereka. Upaya-upaya sinergisme sebagai bentuk perwujudan kerjasama yang saling membutuhkan terus diupayakan. Tata kelolanya dapat di-sharing-kan secara bersama dalam sebuah bentuk kerjasama yang saling menguntungkan.
Namun upaya itu belumlah mendapatkan hasil yang maksimal. Di beberapa daerah masih terjadi persoalan yang cukup pelik, bahkan beberapa sentra seni kerajinan mulai surut, seperti kerajinan cor kuningan di Juwana Pati Jawa Tengah yang konon harga batangannya lebih laku daripada harga sebuah seni kerajinan. Maka, mereka pun mencetak bahan rongsok menjadi batangan-batangan logam kuningan untuk diekspor yang ternyata lebih menguntungkan. Juga masalah bahan baku kayu untuk keperluan permebelan masih menjadi persoalan, meskipun beberapa wilayah seperti di Klaten dan Solo dengan Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (ASMINDO) Surakarta telah membuat depo bahan baku yang didatangkan dari luar daerah. Namun masih terganjal mekanisme suplai yang memang rumit: transportasinya mahal, adanya pungli aparat dan para preman, dan perizinan yang serba duit[5]. Kemudian adanya kenyataan tangisan para perajin keramik di Banjarnegara yang tidak dapat melakukan glasir karena bahan bakar minyak maupun gas semakin tidak balance antara ongkos produksi dengan harga jualnya. Mereka sebagian kembali membakar dengan bahan bakar kayu yang suhu panasnya kurang stabil serta tidak cocok untuk membakar glasir.
Padahal, sebuah wilayah sentra seni kerajinan telah menjadi magnit bagi sebagian masyarakat yang ingin mengembangkan usaha kerajinannya. Sebab, keberadaan sentra tentu telah diketahui para pembeli seni kerajinan. Sebagai contoh, seni kerajinan keramik Kasongan misalnya. Sentra keramik ini telah banyak dilirik dan dijajah para pedagang seni kerajinan dari wilayah luar Kasongan meskipun produk yang dijajakan bukan keramik. Dan ternyata tetap laku. Para pembeli pada kenyataannya berpikir ulang untuk tidak hanya membeli kerajinan keramik, namun juga seni kerajinan lain yang ada di Kasongan. Sebab pedagang seni kerajinan mancanegara itu terdiri dari retailer dan wholesaler. Umumnya, retailer melakukan pembelanjaan lebih bervariatif yang banyak itemnya, hal ini untuk keperluan penjualan dalam lokasi art shop yang ia miliki saja. Berbeda dengan wholesaler yang membeli dengan jumlah banyak namun itemnya sedikit. Dalam proses pembelanjaan pun seorang retailer harus mengumpulkan barang belanjaannya dalam satu lokasi untuk konsolidasi. Sementara wholesaler lebih banyak melakukan pengiriman pada satu perajin yang mengerjakan dalam item terbatas tersebut.
Memang, sebuah sentra industri umumnya lahir dari kunjungan wisatawan yang tertarik dengan produk yang telah ada. Kemudian mereka membeli secara langsung sebagai oleh-oleh. Belakangan, setelah dirasa produknya memiliki daya jual yang baik, maka beberapa pembeli mengupayakan sebuah bisnis yang saling menguntungkan dalam sebuah pembelian yang relatif besar. Oleh karena itu, hasil kerajinan yang semula diperuntukkan bagi pariwisata kemudian ber-order banyak, maka sentra itu juga lebih banyak memenuhi dunia bisnis seni kerajinan. Ada juga yang secara sadar membentuk sebuah perusahaan dengan cara merencanakan sebuah proses produksi yang baik dan sistem pemasaran yang gencar. Bahkan ada juga perusahaan trading yang hanya menangani pemasaran saja tanpa memproduksi, melakukan collecting produk dari perajin, menata dokumen pengiriman, dan melakukan transaksi pembayaran langsung dengan para buyer. Hal demikian cukup menjamur terutama pada perusahaan yang merangkap sebagai shiping company dan agen yang mirip dengan trader.


D. Industri Seni Kriya yang Berkembang di Indonesia
Jika membicarakan persoalan industri pasti di benak kita kemudian masuk pada pemikiran yang berkaitan dengan teknologi modern: pabrik yang mesinnya canggih maupun perusahaan yang menggunakan alat permesinan, seperti pabrik besi-baja, otomotif, dan elektronik. Pada dasarnya terdapat apa yang disebut dengan industri hilir, yakni memproduksi barang yang siap dilempar ke enduser dan industri hulu yang banyak membuat barang baku dan bahan penolong. Namun, ada pula industri yang jauh dari urusan permesinan yakni industri jasa seperti perhotelan, pariwisata, dan lainnya[6]. Dalam beberapa persoalan yang berkaitan dengan seni kerajinan yang mengutamakan kerja tangan, ada yang menyebut dengan industri pedesaan sebab merupakan perkembangan sebuah kegiatan masyarakat pedesaan dalam membuat peralatan rumah tangga atau barang keperluan hidup. Awalnya, mereka membuat produk yang sederhana yang usefull untuk dikonsumsi sebagai barang kebutuhan rumah tangga (houseware). Lagi-lagi karena desakan modernisasi maka peralatan pabrikan oleh industri besar yang menggunakan mesin membuat industri pedesaan tersisih hingga perajinnya kehilangan pekerjaan. Hal ini juga disebabkan karena konsumen lebih suka mengonsumsi barang pabrikan yang konon relatif praktis, ringan, lebih bergengsi, dan dikemas secara menarik. Oleh karena itu, produk tradisional masyarakat industri pedesaan itu kemudian diupayakan untuk dapat memiliki nilai yang lebih daripada produk pabrikan, seperti penambahan aspek nilai seni pada produk kerajinan. Kerajinan pun tidak lagi berfungsi sebagai alat dapur, namun menjadi barang home accessories atau barang sebagai penghias ruang interior rumah tinggal. Aspek desain pun diperbaiki dan cara produksinya menggunakan peralatan semi manual. Oleh karena nilai kerja tanganlah yang diutamakan, maka peralatan mesin hanya dipakai menangani proses awal, sementara pada proses akhir nilai sentuhan tangannya tetap mempunyai ciri khas. Hal inilah yang ternyata mampu bersaing di mancanegara karena aspek etnisitasnya yang khas. Dan untuk industri besar beberapa saat ini bangsa kita masih menjadi sasaran pasar potensial terbesar di Asia Tenggara.
Pameran Inacraft 2009 di Jakarta Convention Center Senayan adalah sebuah pameran khusus industri seni kerajinan terbesar di Indonesia terutama untuk konsumsi dalam negeri atau pasar lokal. Di saat krisis ekonomi global seperti saat ini, adanya pameran Inacraft sangat bermanfaat untuk menyambung hidup di tengah redupnya pasar internasional. Kita tahu, terjadi penurunan ekspor seni kerajinan yang diperkirakan mencapai 75% sampai semester pertama tahun 2009. Pameran yang dibuka Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 22 April 2009 itu mengkampanyekan cinta Indonesia yakni dengan memberikan ajakan meningkatkan apresiasi dan kebanggaan menggunakan produk nasional. Kampanye cinta Indonesia itu dengan tema “100% Cinta Indonesia” sebab ternyata industri seni kerajinan nasional memang memberi kontribusi relatif besar, yakni 30% dari total produk industri kreatif di Indonesia. Melibatkan sekitar 700.000 Usaha Kecil Menengah (UKM), keberadaan industri seni kerajinan telah menyerap 1,8 juta tenaga kerja[7]. Pameran itu setidaknya memberikan acuan potret perkembangan seni kerajinan di Indonesia.
Industri seni kerajinan yang berkembang di Indonesia memberikan kontribusi yang signifikan pada pertumbuhan perekonomian nasional. Bahkan industri ini menyumbang 6,3% dari produk domestik bruto Indonesia. Perkembangan ini memberikan dukungan bagi pertumbuhan ekonomi yang berbasis kerakyatan dan dapat memberi peluang untuk terciptanya usaha baru yang dapat menyerap tenaga kerja. Untuk mengoptimalkan pertumbuhan seni kerajinan maka pemerintah telah membuka kran yang lebar pada akses permodalan. Terlihat pada upaya pemberian kredit lunak tanpa agunan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang dikucurkan pada para perajin sebagai binaannya. Fasilitas pemerintah melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR) diharapkan dimanfaatkan secara optimal. Konon, tahun 2009 alokasi anggaran KUR mencapai 20 triliun. Upaya itu sebagai bagian untuk dapat memberikan peluang yang lebar bagi pertumbuhan seni kerajinan.
Dalam pembicaraan tentang industri seni kriya marilah kita coba melihat perkembangan dari wilayah Yogyakarta. Yogyakarta dikenal dengan produk seni kerajinan yang dapat pula dijadikan tolok ukur perkembangan seni kriya di Indonesia, baik kriya sebagai karya seni maupun seni kerajinan pemenuh kebutuhan pasar[8]. Pertumbuhan dan perubahannya selalu dinamis. Terdapat sentra-sentra industri seni kerajinan yang berkembang yakni sentra seni kerajinan keramik Kasongan, Pundong, dan beberapa sentra seni kerajinan keramik lainnya. Ada pula sentra industri berbahan kulit tersamak dan perkamen yang berkembang di Manding, kulit ikan pari di Sleman, wayang kulit Genteng dan Pocong di Imogiri. Industri seni kerajinan perak di Kotagede, cor logam aluminium-kuningan di Gunung Sempu. batik kayu di Krebet Pajangan Bantul, topeng di Putat Gunung Kidul, tenun di Gamplong Sleman, dan lain sebagainya. Sentra itu terbentuk dari keunikan produk yang telah ada berkat keterampilan nenek moyang mereka. Bentuk-bentuk seni tradisi yang berkembang mendapatkan sentuhan desain yang menyesuaikan perkembangan zaman sehingga menjadikan sentra tersebut dapat berkembang cukup pesat.
Namun demikian, terjadi pasang-surut pada beberapa sentra industri seni kerajinan yang berkembang di Yogyakarta. Pada saat krisis ekonomi pada tahun 1998, jenis industri ini sebagian besar memiliki daya saing luar biasa. Bahan yang didapat adalah dari sumber daya alam lokal Indonesia, didukung dengan jumlah tenaga kerja dan keterampilan tangan perajin yang mampu membentuk sebuah kawasan ekonomi dapat bertahan bahkan meningkat di saat krisis. Namun, pada saatnya sebuah usaha tentu tetap mengalami surut seperti ketika krisis finansial global 2009 saat ini. Krisis ini bermula dari Amerika yang sangat berdampak pada industri seni kerajinan. Hal ini dikarenakan hampir 80% produk kerajinan diekspor ke mancanegara. Dengan melemahnya daya beli masyarakat internasional, maka dampaknya sangat terasa pada tahun 2009 ini. Diharapkan pada tahun 2010 nanti keadaan akan lebih baik dan dapat memberikan keleluasaan pasar ekspor seni kerajinan dari Indonesia.
Industri seni kerajinan menjadi tumpuhan kekuatan ekonomi masyarakat, seperti apa yang terjadi di wilayah Kabupaten Bantul. Kabupaten ini telah dikenal sebagai satu-satunya tempat diproduksinya barang seni kerajinan yang banyak menghiasi galeri di beberapa kota besar di dalam maupun di mancanegera. Hampir 20% penduduknya menggantungkan hidup dengan menggarap seni kerajinan. Memang, Bantul memiliki kekuatan penting dalam dunia seni kerajinan di wilayah Yogyakarta bahkan Indonesia. Barangkali benar jika Bantul memiliki predikat lain yakni the Mekkah of kriya Indonesia is Bantul. Industri seni kerajinannya berkembang hampir di setiap kelurahan karena terdapat perajin-perajin yang siap mengerjakan order yang datang.

E. Penutup
Industri seni kriya pada dasarnya memiliki peluang yang baik dalam meraih kesempatan berkembang di tengah pasar ekspor. Hubungan antara produsen dan konsumen sebenarnya hanya berhenti sesaat di saat krisis finansial global 2009 ini. Telah terbukti sector ini banyak memberikan pengaruh ekonomis terhadap masyarakat pengrajin. Hal inilah yang diharapkan menjadi salah satu bentuk kegiatan kreatif yang dapat memberikan nilai tambah pada kehidupan masyarakat sebagai bentuk ekonomi kerakyatan di Indonesia. Persoalan antara kriyawan dan perajin seni kerajinan sebenarnya juga dapat disinergikan dengan beberapa langkah kemungkinan, yaitu:
Perlunya komunikasi di antara kriyawan dan pengusaha industri seni kerajinan, agar tumbuh sikap saling memerlukan dan menghormati hak maupun kewajiban. Seorang kriyawan yang kreatif akan mencipta produk desain baru, dan perajin pun bersedia memproduksi dalam jumlah banyak. Sementara pengusahanya cenderung mengatur strategi dalam pemasaran.
Membentuk badan usaha yang berkaitan dengan penyediaan ide kreativitas dalam bidang seni kriya atau seni kreatif. Badan ini dikelola dengan manajemen yang baik sehingga hasil idenya dapat dijual kepada para perajin. Hal ini hampir mirip dengan research and development yang dapat mengakomodasi kemauan mengembangkan jenis produk karena adanya ide-ide yang orisinal dan laku jual.
Pemahaman perlunya pengetahuan kriyawan yang tidak saja mempelajari bagaimana menciptakan produk seni kriya yang berorientasi kepuasan batin saja, namun juga dapat mempelajari selera konsumen pada zamannya. Pengetahuan ini penting sebagai bagian mencari ide kecenderungan produk seperti apa yang akan muncul pada tren berikutnya.
Pada situasi krisis global tentu sedikit bertiarap sambil memperbaiki situasi di dalam perusahaan apakah kelemahan kita selama ini. Ekspansi dan investasi mungkin masih jauh dari pemikiran.
Terdapat industri kecil pedesaan yang melibatkan ratusan ribu tenaga kerja yang memiliki potensi reproduksi kerja tangan luar biasa. Industri ini tentu akan menyerap tenaga kerja dan memberikan peluang memperoleh pendapatan dalam hidupnya.
Seni kriya sebagai media percepatan perkembangan seni kerajinan terutama pada suplai desain baru. Industri seni kriya menjadi sangat penting manakala produk baru di era global telah menjadi ujung tombak keberhasilan sebuah produk sehingga dapat diterima pasar.
Mulai menghilangkan manajemen ala kadarnya menjadi manajemen yang profesional. Karena dengan profesionalitas itu akan memberi andil besar dalam pertumbuhan sebuah perusahaan. ***
F. Tambahan Wacana
“Kampanye Cinta Indonesia Bukan Tindakan Proteksi” ulasan berita Pameran Inacraft 2009 di harian Kompas, Kamis 23 April 2009
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Edisi Kedua, (Jakarta: Balai Pustaka)
Mari Elka Pangestu, “Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2009-2025”, makalah disampaikan pada Seminar Nasional bertema “Aksentuasi Triple Helix dalam Realisasi Ekonomi Kreatif” dalam rangka Dies Natalis ISI Yogyakarta ke 24 pada 9 Agustus 2009.
Seperti yang diungkapkan oleh Henk Sechram, seorang buyer berasal dari Belanda dalam sebuah pembicaraan non-formal dengan penulis saat berkunjung di studio penulis, pada 25 Maret 2009 di Kasongan Bantul Yogyakarta.
Timbul Raharjo, “Pasar Global Sedang Gombal”, makalah disampaikan pada diskusi ilmiah yang diselenggarakan Disperindag Provinsi DIY di Hotel Inna Garuda Yogyakarta pada 4 Januari 2008.
_________________, “Yogyakarta sebagai Ikon Perkembangan Seni Kriya di Indonesia”, makalah disampaikan pada acara Diskusi Ilmiah dalam rangka Purna Tugas Prof. Drs. SP. Gustami, S.U. di Gedung Pascasarjana ISI Yogya pada 4 April 2009.
Wahyuntana, ”Pengembangan Kerajinan di Yogyakarta”, makalah disampaikan pada acara persiapan pembukaan Jurusan D-3 Kriya Souvenir FSR ISI Yogyakarta, di Hotel Brongto Yogyakarta pada 28 Juli 2001.



[1]Makalah disampaikan pada acara Seminar Nasional dalam rangka Purna Tugas Prof. Drs. SP. Gustami, S.U. di Institut Seni Indonesia Yogyakarta pada 5 Mei 2009.
[2]Mari Elka Pangestu, “Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2009-2025”, makalah disampaikan pada Seminar Nasional bertema “Aksentuasi Triple Helix dalam Realisasi Ekonomi Kreatif” dalam rangka Dies Natalis ISI Yogyakarta ke 24 pada 9 Agustus 2009.
[3]Seperti yang diungkapkan oleh Henk Sechram, seorang buyer berasal dari Belanda dalam sebuah pembicaraan non-formal dengan penulis saat berkunjung di studio penulis, pada 25 Maret 2009 di Kasongan Bantul Yogyakarta.
[4]Wahyuntana, ”Pengembangan Kerajinan di Yogyakarta”, makalah disampaikan pada acara persiapan pembukaan Jurusan D-3 Kriya Souvenir FSR ISI Yogyakarta, di Hotel Brongto Yogyakarta pada 28 Juli 2001.
[5]Timbul Raharjo, “Pasar Global Sedang Gombal”, makalah disampaikan pada diskusi ilmiah yang diselenggarakan Disperindag Provinsi DIY di Hotel Inna Garuda Yogyakarta pada 4 Januari 2008.
[6]Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Edisi Kedua, (Jakarta: Balai Pustaka), 377.
[7]“Kampanye Cinta Indonesia Bukan Tindakan Proteksi” ulasan berita Pameran Inacraft 2009 di harian Kompas, Kamis 23 April 2009.
[8]Timbul Raharjo, “Yogyakarta sebagai Ikon Perkembangan Seni Kriya di Indonesia”, makalah disampaikan pada acara Diskusi Ilmiah dalam rangka Purna Tugas Prof. Drs. SP. Gustami, S.U. di Gedung Pascasarjana ISI Yogya pada 4 April 2009.

Senin, 20 April 2009

YOGYAKARTA SEBAGAI IKON PERKEMBANGAN SENI KRIYA INDONESIA

YOGYAKARTA SEBAGAI IKON PERKEMBANGAN SENI KRIYA INDONESIA[1]
Dr. Timbul Raharjo, M. Hum

A. Pendahuluan
Pada bulan Mei 1971, Sp. Gustami dan HM. Bakir melakukan pameran bersama yakni batik Painter “Bagus” (Bakir-Gustami) yang bertempat di Gedung Senisono Yogyakarta selama sepuluh hari[2]. Pameran tersebut menampilkan karya-karya batik yang proses pembuatannya tidak dengan menggunakan alat canting saja, namun kedua kriyawan tersebut pada saat itu telah mengkombinasikan dengan alat kuas. Ternyata karya batik dengan teknik baru itu banyak diminati para wisatawan, yang memang saat itu dunia pariwisata sedang baik. Banyak kunjungan wisatawan manca Negara yang menyukai karya seni batik itu. Oleh kareana memilki keunikan dan laku jual itu, kemudian banyak mengilhami beberapa seniman untuk turut juga mengaplikasi teknik cara membati dengan teknik kuas itu dan kemuadian populerlah apa yang disebut seni lukis batik (batik painting). Saat inipun banyak gallery-galery yang menawarkan karya lukis batik yang memang dipasok oleh para senirupawan. Karya seni lukis batik dapat dengan mudah dibawa oleh wisatawan sebagai cindera mata. Seiring banyaknya wisatawan yang datang ke Yogyakarta pada tahun 1980-an, maka seni lukis batik kuantitas produksinya cukup signifikan, sangat popular, dan banyak diminati oleh para konsumen.Wilayah Prawirotaman, Ngasem, maupun sekitar Jalan Malioboro masih banyak dijumpai produk seni lukis batik yang didiplay pada gallery-gallery seni lukis batik. Teknik membatik dengan kuas dirasa dapat mengakomodasi ekspresi senirupawan, sehingga hal ini menarik juga pada beberapa mahasiswa STSRI “ASRI”yang kemudian juga membuat karya-karya seni lukis batik itu, bahkan setelah lulus mereka mengembangkan di daerah masing-masing, seperti di Bukit Tinggi, Jakarta, Bandung, Surabaya, Waimena, dan lainnya. Batik yang semula sebagai seni tradisi yang mengakar budaya Jawa, atas peran serta kriyawan yang dapat mengeksplorasi dan mengembangkannya ternyata memiliki daya getar ke seluruh Indonesia.
Perkembangan seni kriya seperti seni lukis batik memberikan salah satu bentuk pengembangan atas seni budaya Indonesia yang selalu mengalami perkembangan dan perubahan. Pemerintah telah menyadari betapa pentingnnya pengembangan dalam bidang seni budaya terutama Seni Kriya, dengan membekali seseorang dengan ketrampilan untuk dapat mengekplorasi sumber daya alam pada wilayah-wilayah yang sumber bahan baku yang melimpah. Salah satu bentuk upaya itu seperti pada tahun 1990-an pemerintah banyak memberikan peluang kepada dunia pendidikan khusus setelah dicanangkannya tahun kriya, dibukalah banyak sekolah menengah kejuruan seni di Indonesia seperti SMSR (Sekolah Menengah Seni Rupa dan SMIK (Sekolah Menengah Industri Kerajinan) diberbagai daerah tersebut, dengan program PPPGK (Pusat Pengembangan Penataran Guru Kesenian) yang sekarang menjadi P4TK (Pusat Pengembangan Pelatihan Pendidikan dan Tenaga Kependidikan) Seni dan Budaya, menyelenggarakan pendidikan tenaga pengajar untuk keperluan mengajar dibeberapa sekolah menengah seni tersebut. Hal ini banyak diminati oleh para lulusan jurusan Kriya saat itu. Tenaga pendidik itu kemudian ditempatkan pada beberapa sekolah menengah seni diseluruh Indonesia. Tentu dengan banyaknya para lulusan Kriya yang tersebar di seluruh Nusantara, maka terjadi karakter berkeseniannya berciri Yogya, tentu dalam hal ini peran dari jurusan kriya ISI Yogyakarta banyak memberikan kontribusi atas perkembangan seni kriya di Indonesia. Barang kali terjadi perpaduan diantara inspirasi daerah setempat dalam cara pengembangan para kriyawannya. Tentu sentuhan eksplorasinya memiliki ciri khas kriyawan lulusan Yogyakarta. Bahkan beberapa Perguruan Tinggi di Indonesia yang juga membuka program studi yang berkaitan dengan seni kriya umumnya lulusan jurusan kriya mengisi posisi-posisi sebagai pendidik di lingkungan itu. Tentu mereka tatap berkarya yang menekankan pada kualitas teknik, ide penciptaan, dan tampilan produk seni kriya. Demikian pula meningkatnya populasi kriyawan dapat memperluas kawasan seni kriya di Indonesia[3].
Program pemerintah dalam meningkatkan peneyebaran ketrampilan membuat karya kriya sangat beralasan dengan upaya meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat. Lulusan SMIK telah banyak diserap oleh beberapa daerah di Indonesia bahkan Negara-negara seperti Malaysia, Korea, Arab telah banyak menyerap untuk membuat produk seni di negaranya. Demikian pula kantong-kantong seni kerajinan yang berkembang di Yogyakarta. Terbukti Kasongan, Kota Gedhe, Pucong, Krebet, Pundong, dan sentra seni kerajinan yang berkembang di Yogyakarta telah banyak memberikan inspirasi pada para pemerintah daerah di luar Yogyakarta untuk dijadikan model pengembangan sebuah sentra seni kerajinan di wilayahnya. Kantong-kantong sebagai sentra seni kerajinan yang tersebar di seluruh pelosok Yogyakarta menjadi barometer perkembangan seni kerajinan dari Indonesia. Pada pameran Internasional Iffina 2009 tanggal 11-16 Maret 2009 lalu produk-produk kriya yang baru yang inovatif muncul dari kreatifitas kriyawan Yogyakarta. Pemeran ulang tahun Dekranas akhir 16-22 Maret 2009 menampilkan hampir 60 persen didominasi produk seni kerajinan dari Yogyakarta. Stands yang ditempati oleh para pengrajin dari Yogyakarta menjadi tujuan para pembeli lokal baik Jakarta, Tangerang, Bandung, dan wilayah sekitarnya.

B. Kondisi Sosiokultural Yogyakarta Berpengaruh Terhadap Penciptaan seni Kriya.
Yogyakarta sebagai wilayah yang erat dengan bentuk kerajaan yang berbasis pada kebudayaan Jawa, oleh karena itu kebudayaan Jawa sangat menonjol di dalam setiap bentuk hubungan individu maupun kelompok.[4] Kesamaan kepentingan dibangun dalam jaringan kekerabatan yang didasarkan pada asas kegunaan yang nyata dalam pergaulan, pengenalan, dan daya ingat seseorang. Kebutuhan dasar manusia untuk bergaul akrab dengan memberi rasa hangat dan menjamin hari tua diperolehnya dalam keluarga inti yang diperluas. Keluarga inti yang diperluas ini merupakan kesatuan-kesatuan sosial yang mandiri, dalam arti bahwa kesatuan sosial itu mengelola ekonomi rumah tangga serta hak miliknya, mengasuh anak-anaknya, serta bertanggungjawab terhadap proses sosialisasi dan inkulturasi dari generasi mudanya, membantu dalam usaha pertanian untuk kebutuhan sendiri. Termasuk bekerjasama dalam berbagai aktivitas lain, misalnya mengurus berbagai perayaan yang bersifat adat atau pun keagamaan. Kehidupan ekonomi dan sosial-budaya masa kini, tampaknya tidak lagi dipenuhi oleh rumah tangga sendiri, tetapi semakin tergantung kepada berbagai pranata lain dalam masyarakat di luar hubungan kekerabatan. Misalnya, meskipun ada pranata sambatan, namun sudah memanfaatkan jasa tukang-tukang.[5]
Oleh karena itu jaringan kekerabatan mencair dengan pranata lain dalam masyarakat yang berpengaruh terhadap perilaku setiap warganya, termasuk jenis pekerjaan yang digelutinya. Hal ini tercermin pada geliat aktivitas masyarakat Yogyakarta yang memiliki rutinitas berkarya seni kriya dengan pola produksi serta kehidupan sosial-budaya yang berciri khas sebagai penghasil seni kriya. Seperti yang diungkapkan oleh Soedarsono dalam buku Seni Pertunjukan: Perspektif Politik, Sosial, dan Ekonomi, bahwa hadirnya sebuah golongan atau kelas di sebuah negara akan menyebabkan lahirnya sebuah seni yang cocok dengan selera golongan itu.[6] Menggaris-bawahi pendapat ini, sesungguhnya munculnya produk seni kriya tidak terlepas dari kehadiran kriyawan yang kreatif berjasa besar bagi pembangunan seni kriya di Yogyakarta. Kemudian melahirkan suatu strata sosial yang berkembang saat ini sebagai kriyawan yang memiliki pola pikir global dengan mengikuti perkembangan masyarakat internasional. Hal ini disebabkan adanya perubahan minat seni kerajinan yang dikonsumsi oleh masyarakat dunia lewat pasar ekspor. Pertumbuhan seni Kriya di Yogyakarta khusunya, mengalami pergerakan yang luar biasa. Pergerakan itu seiring dengan tumbuhnya daya kreatifitas para kriyawan Yogyakarta. Sebagai wilayah yang memiliki sumber daya manusia berpendidikan, mampu mengalah alam menjadi produk-produk seni kerajinan yang memiliki keunikan tersendiri. Daya kreatifitas itu diakibatkan oleh maraknya permintaan dan persaingan yang kian ketat. Tuntutan kreatifitas menjadi sangat penting dalam meniti dan memupuk kemampuan usaha seni kerajinan dalam dunia global. Tentu didalamnya kreatifitas inovasi, ekspansi, keberanian investasi dan lain sebagainya menjadi kunci utamanya.
Di samping itu bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta terkenal dengan pusat kebudayaan, pusat perjuangan, pusat pelajar dan mahasiswa dan tujuan wisata. Yogyakarta sebagai medan magnit bagi para muda di segala penjuru tanah air. Demikian pula lembaga pendidikan seni rupa ASRI yang didirikan di daerah ini sejak tahun 1950 didatangi oleh para pemuda dari segala penjuru nusantara. Ternyata para senirupawan yang belakangan punya nama tenar banyak yang bukan penduduk asli Yogyakarta mereka berdatangan dari luar Yogya. Bali yang selama ini kita kenal sebagai pulau dewata dan yang banyak menghasilkan karya-karya seni ternyata banyak senirupawan yang berkembang di Yogyakarta. Pada mereka adalah pengulat-pengulat seni yang tekun ulet dan lugu. Pada mereka mempunyai proses perkembangan yang unik. Karena jumlah yang cukup banyak, unik dan konsisten perkembangan mereka setelah di Yogyakarta cukup menarik untuk disimak, mereka berangkat dari Bali ke Yogya dengan membawa realisnya dan kemudian apa yang terjadi setelah sekian lama di Yogyakarta setelah sekian tahun belajar di Yogya mereka menjadi men-Jogya. Mereka berpendapat bahwa bentuk-bentuk realistis yang dibawa dari Bali ternyata kurang tepat lagi untuk mengakomodasikan ide-idenya, disamping itu ketatnya dalam bersaing mencari nilai-nilai baru. 9
Faktor lain yang menjadi kondusifnya eksistensi senirupawan Yogya tidak bisa terlepas dari setting sosial dan kultural seniman. Di Yogya setidaknya ada pergulatan mengenai spirit Yogya. Setting sosialkultural jelasnya menentukan bahasa ekspresi seorang seniman dari Yogyakarta dan memiliki warna tersendiri. KomunitasYogyakarta.ibarat sebuah panggung yang tidak begitu luas, maka untuk naik ke panggung itu orang harus memiliki daya saing yang tinggi. Demikian juga peran komunitas Yogyakarta yang padat membuat iklim menjadi sangat dinamik. Persaingan sangat ketat, saling mengintai, saling memaki, saling mengejek dalam konotasi positif, sehingga saling memicu dan memacu. 10 Dengan demikian kreatifitas akan sering terpacu seiring dengan kondisi kompetisi antar senirupawan dalam menciptakan karya.
Bahkan kemungkinan besar Yogyakarta sebagai salah satu tujuan buyer seni kerajinan dan permebelan di Indonesia. Meskipun belum ada penelitian yang signifikan namun hepotesa penulis yakin akan kebenarannya, tujuan utama untuk mencari jenis komonite seni kerajinan di Jawa dipastikan di Yogyakarta, biasanya menjadi agenda utama para buyers seni kerajinan. Meskipun Jepara sebagai raksasa furniture di Indonseia yang memiliki kemampuan ketrampilan yang luar biasa itu masih menjadi tujuan mereka, namun Yogyakarta tak kalah pentingya, disamping sebagai wilayah transit untuk menuju kewilayah lain seperti Jepara, Semarang, Serenan dan wilayah lain yang dekat dengan kota Yogyakarta.Dengan demikian kota ini memiliki kemampuan kreatifitas dalam mengolah seni kriya yang memiliki daya pikat tersendiri, juga menjadi daya tarik konsumen itu. Alasan lain yaitu, manakala sistem yang diterapkan dalam mengelala standarisasi internasional terkait dengan manajeman dan sistem quality control dan tingkat ketekunan dan kejujuran banyak dimiliki oleh sumber daya manusia Yogyakarta cukup profesional. Hal ini terlihat dengan beberapa importir luar negeri yang datang ke Indonesia, pernah berkomentar dengan penulis tentang limied time dalam penyelesaian order sesuai kesepakatan antara penjual dan pembeli dapat dipenuhi sesuai dengan perjanjian, dengan berbagai macam ketentuan administrasi yang menyertainya. Jika dikomparasikan dengan pengrajin di Bali, sistem budayanya memiliki karasteristik tersendiri, ketekunan membuat karya patut diacungi jempol, kegiatan religiusnya luar biasa, menjadi kontradiktif manakala harus berurusan dengan limited time pemenuhan kewajiban dalam jumlah relatif besar. Pada umumnya mereka bekerja dalam sekala kecil yang berciri khas pada masing-masing pengrajin, oleh karenanya buyers selalu memberikan space-time ke depan dengan cara manipulasi agar target waktunya dapat terpenuhi manakala kegiatan religius menyita waktu mereka. Dengan demikian jelaslah bahwa Yogyakarta adalah tempat yang kondusif untuk tumbuh dan hidupnya para senirupawan, maka sebuah pameran yang melibatkan banyak seniman merupakan refleksi bagaimana suatu konstruksi seni rupa hadir dalam masyarakat. Kondisi sosiokultural yang ada juga ikut mempengaruhi karakter olah cipta seni kriya. Seorang yang berasal dari Padang Sumatra menjadi sangat Jawa setalah lama berinteraksi dengan kehidupan masyarakat Yogyakarta. Setelah mereka kembali ke asalnya pengaruh itu kemudian terbawa dan tercermin pada karya-karya yang dihasilkan.

C. Arah Perkembangan Seni Kriya
Pada era globalisasi arah perkembangan seni kriya salah satunya adalah dapat menyerap tenaga kerja. Oleh karena itu setiap tenaga kerja dituntut untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang tinggi baik keterampilan dan keahlian dalam melakukan inovasi, akurasi dan kecepatan, maupun penguasaan informasi, komunikasi dan intellectual capital yang berbasis pengetahuan pekerja (knowledge worker). Untuk itu, standarisasi kompetensi sebagai landasan pengembangan program produktivitas harus yang berorientasi pada perkembangan pasar kerja global dan penanggulangan pengangguran, perlu dilaksanakan secara terpadu, terarah dan berksinambungan dengan melibatkan seluruh instansi pemerintah, dunia usaha dan masyarakat.[7] Seni Kriya salah satu bidang seni yang hasilnya mengutamakan pada pengetahuan, keterampilan, dan kreatifitas berkarya rupa, bertolak dari pendekatan medium, kepekaan estetik, kebutuhan keseharian, dan mengandalkan keterampilan manual ( manual dexterity ). Hasil karya kriya diutamakan mengandung nilai keunikan, konseptual, tema, imajinatif, dan inovatif. Seni Kriya kemudian lebih difokuslan pada ilmu dan keterampilan dalam menciptakan konsep, bentuk dan gaya dalam arti luas dalam industri kreatif. Karya Kriya yang dirancang lebih bersifat eksklusif memiliki nilai tambah dalam berbagai sisi, karena dalam proses pembuatannya menghandalkan keterampilan tangan ( handmade ). Pada konsep lain kriya dapat diproduksi ulang untuk memenuhi kebutuhan dalam jumlah banyak, atau juga terbatas. Produk Kriya unik dalam mengunakan material, unik dalam proses penyatuan, unik dalam sentuhan akhir karya, maka tidak ada produk satu dengan yang sama persis, originalitas yang selalu dinamis.
Nilai originalitas pada karya seni kriya berasal dari kreativitas seorang kriyawan dalam menciptakan karya baru yang menyesuaikan trend pasar yang sedang berkembang. Inovasi baru itu kemudian diproduksi secara massal sebagai barang seni kerajinan. Dengan bentuk kerjasama semacam itu, maka kriyawan dapat juga mempelajari berbagai bentuk produk karya seni kriya baru dari perkembangan pasar yang dituju yang sejenis melalui info dari pihak korporasi, buyer, dan survei ketika ada pameran dari produk lain. Produk buatan dari yang sedang berkembang sebagai kompetitor dapat dijadikan bagian sumber inspirasi pembuatan karya baru yang dipakai sebagai dasar penciptaan target tahun berikutnya. Kriyawan pun akhirnya memiliki kepekaan yang baik dalam membaca pasar dari gejala-gejala yang dilihatnya. Di samping itu dapat pula mengkombinasikan antara seni tradisi dengan seni modern sehingga membantu para pengrajin seni kerajinan untuk membuat produk yang memenuhi kebutuhan home accessories rumah modern saat ini.[8] Dalam menindaklanjuti pekerjaan produksi, ternyata aspek korporasi memiliki teknologi yang baik dalam membuat produk seni kriya menjadi produk massal guna memenuhi permintaan para buyer untuk diperdagangkan ke negara manca Negara.
Proses kreatifitas dalam membuat karya kriya tidak terbatas pada bagaimana membuat bentuk yang sesuai dengan dasar-dasar desain yang baku, namun telah juga dipadukan dengan berbagai aspek yang berkaitan selera konsumen. Umumnya, karya seni kriya akan disasarkan kepada penikmat seni sebagai konsumennya. Secara terang-terangan seni kriya umumnya secara jelas dijual sebagai barang pakai yang siap menhias ruang-ruang interior rumah atau kantor-kantor. Namun demikian ada pula ide, gaya, dan karakter karya yang dihasilkan seorang kriyawan yang lebih mementingkan pada sisi fine art-nya dengan cara penawarannya yang lebih tersamar jika dibandingkan dengan applied art. Seni Kriya yang telah direproduksi dalam jumlah yang relative banyak, maka jadilah apa yang kita sebut seni kerajinan. Seni kerajinan umumnya dibuat oleh tangan-tangan terampil masyarakat sebagai sentra seni kerajinan, bentuk kegiatan ini kemudian menjadi kantong-kantong seni kerajinan yang banyak menyerap tenaga kerja. Arah perkembangan tentu mengacu pada upaya kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu kreatifitas memegang peran yang penting dalam melakukan penciptaan kriya baik sebagai barang fine art atau sebagai karya applied art. Kreatifitas membuat karya baru diperlukan perancangan produk seni kerajinan dari hasil manifestasinya karya guna melalui berbagai pendekatan ilmu, teknologi, dan seni. Rancangan dalam bentuk desain baru dengan prototype baru kemudian dicoba untuk diterjunkan pada masyarakat konsumen bagaimana tanggapannya. Oleh karena itu seorang kriyawan, jika sudah terjun pada industri seni kerajinan dituntut untuk dengan cekatan dalam mengambil keputusan dalam pemecahan masalah tentang berbagai faktor yang berpengaruh dalam menerapkan prisip-prinsip penciptaan produk baru agar laku jual.[9] Apalagi dalam penentuannya dilengkapi dengan survey lapangan untuk mempelajari bagaimana keadaan kecenderungan yang sedang berjalan terhadap wilayah pasar yang akan dituju. Sebab, setiap wilayah pasar memiliki karakter yang dapat menentukan produk seperti apa yang sesuai dengan selera konsumen. Persoalan pasar tentu berkaitan dengan ekonomis, ketika seni kriya dapat dengan mudah diterima pasar maka ukuran bagus dan tidaknya produk seni kriya adalah tingkat keberhasilan pada laku dan tidaknya produk diterima konsumen.
Industri pariwisata turut memberikan gairah perkembangan seni kriya yamg berfungsi sebagai cinderamata. Apalagi kunjungan wisata marak mendatangi di beberapa daerah sehingga sangat mendukung proses produktifitas penciptaan produk-produk seni kriya baru yang tersebar diseluruh Indonesia. Cinderamata memberikan kesan yang mendalam atas tempat yang pernah di kunjunginya. Mereka akan bercerita kepada orang lain dengan bukti cinderamata yang pernah didapatkannya pada tempat yang pernah dikunjunginya. Ketertarikan atas aspek obyek wisata dan alamnya memberikan sebuah acuan sebagai sumber insperasi seorang kriyawan untuk menciptakan produk kriya yang berfungsi sebagai cinderamata sesuai imajinasinya.. Tentu setiap daerah wisata memiliki ciri khas masing-masing, dengan demikian kreatifitas kriyawan untuk menciptakan cinderamata yang memiliki ciri khas tersendiri menjadi tugas kriyawan itu.
Dengan demikian ada dua arah seni kriya, pertama sebagai barang fine art yang diproduksi sebagai ungkapan jiwa pribadi kriyawannya. Kemuadian seni kriya yang bertujuan sebagai master dalam memberikan arah perkembangan seni kerajinan. Seni kriya tersebut dapat diproduksi secara massal, namun dapat juga dalam jumlah terbatas (limited edition). Dengan demikian tujuan akan keberlangsungannya seni kriya sebagai pendukung dalam kegiatan kesejahteraan masyarakat dalam ekonomi kerakyatan akan tercapai.

D. Peran Jurusan Kriya Institut Seni Indonesia Yogyakarta
Jurusan kriya, Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia Yogyakarta telah meluluskan sarjana yang tersebar seluruh Indonesia, mereka menyelesaikan pendidikan di jurusan kriya kemudian mereka kembali ke daerahnya masing-masing untuk menjadi tenaga-tenaga terdidik yang dapat membina maupun berkarya di daerahnya. Sebagaian ada yang menjadi kriyawan, guru di sekolah menengah, dan bahkan mengajar perguruan tinggi. Mereka melakukan aktifitasnya berkarya dengan dasar-dasar yang mereka terima saat belajar di Yogyakarta. Jurusan Kriya memberikan ilmu yang berkaitan dengan minat utama yang dipilih. Jurusan Kriya mengajarkan pengetahuan dan ketrampilan seni rupa untuk memenuhi kebutuhan spiritual dan atau fungsional, dengan teknik/proses perwujudan yang mengutamakan kekriyaan. Tujuan Pendidikan kriya adalah menghasilkan lulusan dengan kemampuan menghayati nilai-nilai budaya nasional serta menanggapi gejala kebudayaan pada umumnya yang berkaitan erat dengan bidang kriya untuk mengembangkan kepribadian dan wawasannya. Menguasai dasar-dasar ilmiah dan mampu menelaah serta memecahkan permasalahan dalam bidang seni kriya dan menerapakannya pada kegiatan pleyanan masyarakat. Menguasai berbagai media teknik kriya sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni untuk menciptakan karya-karya seni kriya yang kreatif dan inovatif. Memeiliki sikap dan perilaku dalam membawakan diri untuk berkaya dibidang kriya seni maupun kehidupan bermasyarakat. Mampu berinterasi dengan bidang-bidang ilmu lainnya untuk memperluas wawasan sesuai dengan tuntutan sesuai dengan perkembangan jaman.
Kreatifitas membuat karya seni kriya yang menggali nilai-nilai budaya bangsa telah memberikan perhatian kepada pihak-pihak atau lembaga-lebaga baik negeri maupun swasta memberikan peluang yang lebar bagi lulusan jurusan kriya untuk berkiprah dalam pengembangan produk-produk seni baik seni kriya sebagai ekspresi pribadi maupun seni kriya sebagai karya fungsi yang dikonsumsi pasar. Banyak pengusaha seni kerajinan yang menggunakan tenaga-tenaga lulusan jurusan kriya untuk duduk sebagai tenaga ahli dalam eksplorasi produk baru. Mereka memanfaatkan kreatifitasnya dalam mengekplorasi material, warna, bentuk, dan gaya untuk dapat menciptakan produk baru. Produk yang diciptakan tentu memiliki keterikatan dengan bagaimana survey awal terhadap pasar, meskipun ada juga seorang kriyawan dapat membuat trend pasar sendiri. Tarik ulur terhadap pasar ini diperlukan kepekaan seorang kriyawan untuk menentukan desain yang sesuai dengan kondisi pasar saat ini seperti apa. Pada beberapa perusahaan yang berskala besar banyak menyerap tenaga-tenaga dari jurusan kriya, terbukti ketika ada event pameran internasional seperti TEI (Trade Ekspo Indonesia) pada tangga 10 Oktober 2008 lalu hampir dapat dijumpai lulusan jurusan kriya bekerja pada perusahaan-perusahaan seni kerajinan baik perusahaan lokal maupun pengusaha asing. Eksplorasinya yang ditampilkan luar biasa, sehingga setiap perusahaan menampilkan produk baru yang hampir sebagian besar memiliki karakteristik tersendiri-sendiri dari hasil kreatifitas mereka.
Kreatifitas itu tidak saja mandek, hanya terbatas pada seni kriya sebagai kebutuhan pasar saja, para kriyawan saat ini mencoba untuk mengekplorasi kreatifitasnya untuk menciptakan karya-karya yang dipakai sebagai seni kriya sebagai ungkapan batin saja. Kegiatan pemeran di setiap daerah banyak menampilkan karya-karya yang kreatif dan inovatif. Seperti kegiatan pameran Akbar seni kriya logam tradisi dan kontemporer di Gedung Purnabudaya Yogyakarta tahun 1996 yang deselenggarakan oleh Pakriyo (Paguyuban Kriyawan Yogyakarta), banyak diikuti hampir 100 kriyawan baik dari Yogyakarta maupun luar Yogya, seperti Surabaya, Cepogo Boyolali, Semarang dan lain sebagainya. Kegiatan pameran itu sebelumnya juga di adakan di Galeri Nasional Jakarta pada bulan Juni 1995, yang saat itu meraih kesuksesan besar sebab hampir separo karya seni kriya yang diapmerkan laku terjual. Bukan itu saja beberapa kriyawan terus berkarya dan memenangkan beberapa kompetisi seni kriya, seperti lomba desain yang diselenggarakan oleh IGDS (Indonesia Good Desain) tahun 2007 dimenangkan oleh Borobudur Silver yang menanpilkan desain satu set jewellery, namun yang menjadi biang keladinya adalah Roro Gres seorang desainer perhiasan lulusan jurusan kriya.
Peran Jurusan kriya dalam memberikan warna kreatifitas untuk mengeksplorasi seni kriya nusantara telah memunculkan karya-karya seni kerajinan yang beragam. Keberagamannya menyesuaikan dengan sumber daya yang ada pada setiap daerah atau daya kreatif desainer itu dalam menanggapi perkembangan jaman. Sebab kehidupan masyarakat saat ini mengalami goncangan-goncangan modernisasi, maka konflik batin dalam diri kriyawan untuk mengatasi perubahan-perubahan yang terjadi. Gagasan-gagasan yang cemerlanng untuk membimbing manusia untuk melihat kenyataan menempatkan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai naungan pengharapan untuk tercapainya kesejahteraan hidup. Oleh karena itu keahlian dan kreatifitas dalam berkarya merupakan ciri dari masyarakat yang selalu menyesuaikan dengan perubahan jaman.[10] Perubahan sertiap generasi selalu memiliki ciri khusus dalam kecenderungan berkehidupan, maka daya kreatifitas seorang kriyawan diperlukan untuk memeberi sentuhan keseuaian dengan karya seni kriya yang akan digunakan oleh masyarakat pendukungnya.

E. Kantong-kantong Seni Kerajinan di Yogyakarta
Memang sumber daya alam di Yogyakarta tidak sebanyak jika dibandingkan dengan wilayah lain yang memiliki rentangan wilayah yang luas seperti di luar Jawa. Namun hal ini tidak menjadi persoalan, kepakaan terhadap bagaimana mengolah alam yang ada itu, yakni dengan cara menciptakan desain kerajinan yang baru yang ternyata bahannnya di dapat dari luar Yogyakarta. Memadukan unsur-unsur alam yang lebih nge-trend dengan kata kerajinan natural, banyak memasukan unsur alam yang semula tidak dipikirkan oleh orang kebanyakan namun dengan daya kreatif desain berubah dari apa yang dikatakan sampah menjadi bentuk seni kerajinan yang unik dan menarik. Memang kecenderungan ini menjadi salah satu pilihan, ternyata cukup potensial diterima pada pasar dunia ketika issu keunikan alam menjadi salah satu pilihan. Bentuk eksplorasi kerajinan ditampilkan melalui desain baru dan finishing dengan tingkat kejelian tinggi. Hasilnya adalah sebuah benda kerajinan yang memiliki citra eklusif tanpa meninggalkan unsur keunikan, tradisi, dan naturalistik.[11]
Sebagaimana kita ketahuai bahwa, Yogyakarta memiliki kantong-kantong sebagai sentra seni kerajinan yang memproduksi seni kerajinan berbahan alam yang unik dan kreatif. Sentra ini terdapat di perkotaan maupun dipedusunan. Setiap wilayah penghasil kerajinan memiliki karasteristik pada teknik dan juga bahan yang spesifik dengan wilayah tertentu. Beberapa dari mereka, memang secara mentradisi didapat dari pendahulunya ada pula yang memang dikembangkan sebagai bagian dari kreatifitas seorang pengrajin yang kemudian menyebar pada tetangganya karena proses penurunan ketrampilan dalam bentuk kelompok kerja. Dalam suatu kelompok yang terdiri dari pimpinan dan karyawan, mereka saling silang menurunkan keahlian dalam aktifitas kerja pada sebuah unit usaha, maka terjadi proses penyebaran keahlian itu. Tentu sebuah sentra kerajinan dengan sifat yang unik bereproduksi mengandalkan ketrampilan tangan, dengan demikian serentak ketrampilan itu segera ditularkan pada pekerja lain dalam sebuah kerjasama kemitraan. Yaitu antara pengrajin dengan tingkat pesanan yang lebih tinggi dan sebagian lagi sebagai pengrajin sub kontraknya. Seperti yang terjadi dibeberapa sentra industri di wilayah Yogyakarta, mereka telah menggunakan sistem sub kontrak sebagai bagian kegiatan reproduksi mereka. Sentra industri seni kerajinan keramik Kasongan dan Pundong, sentra industri seni kerajinan tenun di Gamplong, seni kerajinan perak di Kota Gedhe, seni kerajinan kayu batik di Krebet, seni kerajinan wayang kulit di Pocong dan Gendheng dan lain sebagainya.
Sentra tersebut merupakan kelompok penghasil seni kerajinan yang memang telah lama hadir sebagai warisan budaya fisik pada wilayahnya. Tentu kehadirannya, tidak saja sebagai bagian karya seni yang bercirikhas wilayah tertentu, namun merupakan matapencaharian mereka. Nilai ekonomis sebagai bagian dari kegiatan bisnis mereka telah memberi kontribusi yang luas sebagai salah satu bentuk kantong seni kerajinan yang padat karya. Perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam dunia bisnis kerajinan ditandai dengan majunya sentra kerajinan yang ada, maka perluasannya melalu eks pegawai-pegawai atau karyawan yang secara bergelombang mendirikan usaha-usaha baru sebagai kantong baru yang muncul sebagai bentuk usaha baru (usaha kecil dan menengah: UKM). Kantong baru yang muncul disebuah wilayah dengan budaya yang berbeda dengan bidang kerja keseharian mereka, kemudian terjadi pembauran budaya pembuatan kerajinan baru itu pada penduduk disekitarnya yang secara alamiah sebagian bekerja di kantong baru tersebut.

F. Penutup
Yogyakarta memiliki kontribusi terhadap arah perkembangan Seni Kriya di Indonesia, setidaknya perkebangan Seni Kriya itu tidak dapat lepas dari peran Jurusan Kriya Institut Seni Indonesia Yogyakarta mampu memberikan warna tersendiri terhadap perkembangan seni kriya nusantara. Dari berbabagai daerah yang mengembangkan Seni Kriya sebagai salah satu bentuk pengembangan budaya telah merekrut kriyawan-kriyawan terutama dalam kesempatan pelatihan maupun pendidikan untuk mengeksplorasi sumber daya alam yang biasanya melimpah pada beberapa wilayah di Indonesia, mengharapkan para kriyawan untuk dapat menyulap dengan kreatifitas menjadi Seni Kriya barang yang memiliki nilai seni dan nilai ekonomis. Harapannya adalah pemerataan ketrampilan terutama pemberdayaan sumber daya manusia sebagai salah satu bentuk kegiatan ekonomi kerakyatan. Bagaimana bentuk dukungan lembaga terkait baik swasta maupun pemerintah untuk dapat tumbuh dan berkembang dengan baik di wilayah ini.

G. Kepustakaan
“Asesories rumah Serat Alam Arindha” pada Majalah Hendikraft , Majalah bulanan Handicraft dan Furniture Dwi Bulanan Edisi 20/Tahun IV/Agustus-September 2005.
“Design Meet Artisan” Craft Revival Trust, Artesanfas de Columbia S.A., Unesco, 2005
Direktur Jenderal Pembinaa pelatihan dan Produktifitas pada acara Pembukaan Bimbingan teknis pengembangan managemen UKM (Pasca Penghargaan Produktivitas dan Kualitas UKM Indonesia Tahun 2005) Surabaya, 22 Agustus 2006.
Heskett, John, Desain Industri Penerbit Rajawali, Jakarta, 1986
Katalog Pameran Kriya yang diselenggarakan oleh FKS (Form Komonikasi Seni) di Sasana Ajiyasa FSRD ISI tanggal 25-31 Oktober 1987.
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, Balai Pustaka, Jakarta, 1986
R.M. Soedarsono, Seni Pertunjukan Indonesia: Perspektif Politik, Sosial, dan Ekonomi Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2003
Soedarso Sp., Tinjauan Seni, Sebuah Pengantar Untuk Apresiasi Seni, Saku Dayar Sana, Yogyakarta, 1990.
Sukri, A. Im’an, Cahyo Joko Sukmono, Eni Martina, dkk, Masa Depan Yogyakarta dalam Bingkai Keistimewaan Unit Penerbit Parwi Foundation,, Yogyakarta, Tth.
Sun Ardi, "Yogyakarta Kota Persemaian Pelukis Indonesia", Katalog, Pameran Seni Rupa, Festifal Kesenia Yogyakarta III, Benteng Vredeberg Yogyakarta, 1992.
Weiner, Myron, ed., Modernisasi Dinamika Pembangunan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta 1984
"Yogyakarta Kontributor Utama Seni Rupa Indonesia", beberapa pendapat Suwarno W. dan M. Dwi Marianto, dimuat pada harian Bernas, Minggu Paing 14 September 1997.






Tentang Penulis:

Dr. Timbul Raharjo, M. Hum.
Lahir di Kasongan Bantul Yogyakarta, 8 November 1969. Lulusan Program Doktor di Universitas Gadjah Mada tahun 2008. Sejak tahun 1993 mengajar di Institut Seni Indonesia Yogyakarta Jurusan Seni Kriya, khususnya Seni Keramik. Tahun 2007 mendapat anugerah Upakarti dari Presiden Republik Indonesia. Menjadi perajin keramik sejak tahun 1996. Produk keramiknya diekspor ke beberapa negara yang terkena krisis global 2008. Sebelum krisis global per bulan bisa mengirim 20 kontainer, namun beberapa bulan ini hanya 5-7 kontainer saja.

[1]Makalah disampaikan pada acara diskusi Ilmiah dalam rangka Purna Tugas Prof. Drs. Sp. Gustami, S.U. di Gedung Pascasarjana Jl. Suryodiningratan No. 8 Yogyakarta, hari Sabtu 4 April 2009.
[2]Periksa Katalog Pameran Kriya yang diselenggarakan oleh FKS (Form Komonikasi Seni) di Sasana Ajiyasa FSRD ISI tanggal 25-31 Oktober 1987.
[3]Periksa Soedarso Sp., Tinjauan Seni Sebuah Pengantar Untuk Apresiasi Seni (Yogyakarta: Saku Dayar Sana, 1990).
[4]A.Im’an Sukri, Cahyo Joko Sukmono, Eni Martina, dkk, Masa Depan Yogyakarta dalam Bingkai Keistimewaan (Yogyakarta: Unit Penerbit Parwi Foundation, tth), hal. 60.
[5]Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa (Jakarta: Balai Pustaka, 1986) hal. 153-154.
[6]Periksa R.M. Soedarsono, Seni Pertunjukan Indonesia: Perspektif Politik, Sosial, dan Ekonomi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2003).
9Sun Ardi, "Yogyakarta Kota Persemaian Pelukis Indonesia", Katalog, Pameran Seni Rupa, Festifal Kesenia Yogyakarta III, Benteng Vredeberg Yogyakarta, 1992, hal. VI.
10"Yogyakarta Kontributor Utama Seni Rupa Indonesia", beberapa pendapat Suwarno W. dan M. Dwi Marianto, dimuat pada harian Bernas, Minggu Paing 14 September 1997, hal.9.
[7]Sambutan Direktur Jenderal Pembinaan pelatihan dan Produktifitas pada acara Pembukaan Bimbingan teknis pengembangan managemen UKM (Pasca Penghargaan Produktivitas dan Kualitas UKM Indonesia Tahun 2005) Surabaya, 22 Agustus 2006.
[8]“Design Meet Artisan” (Columbia: Craft Revival Trust, Artesanfas, S.A., Unesco, 2005), hal. 4.
[9]John Heskett, Desain Industri (Jakarta: Penerbit Rajawali, 1986), hal.6.
[10]Myron Weiner, ed., Modernisasi Dinamika Pembangunan (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1984), hal. X-XII.
[11]Seperti diungkap dalam sebuah tulisan tentang Asesories rumah Serat Alam Arindha pada Majalah Hendikraft , Majalah bulanan Handicraft dan Furniture Dwi Bulanan Edisi 20/Tahun IV/Agustus-September 2005, 15.