Senin, 20 April 2009

YOGYAKARTA SEBAGAI IKON PERKEMBANGAN SENI KRIYA INDONESIA

YOGYAKARTA SEBAGAI IKON PERKEMBANGAN SENI KRIYA INDONESIA[1]
Dr. Timbul Raharjo, M. Hum

A. Pendahuluan
Pada bulan Mei 1971, Sp. Gustami dan HM. Bakir melakukan pameran bersama yakni batik Painter “Bagus” (Bakir-Gustami) yang bertempat di Gedung Senisono Yogyakarta selama sepuluh hari[2]. Pameran tersebut menampilkan karya-karya batik yang proses pembuatannya tidak dengan menggunakan alat canting saja, namun kedua kriyawan tersebut pada saat itu telah mengkombinasikan dengan alat kuas. Ternyata karya batik dengan teknik baru itu banyak diminati para wisatawan, yang memang saat itu dunia pariwisata sedang baik. Banyak kunjungan wisatawan manca Negara yang menyukai karya seni batik itu. Oleh kareana memilki keunikan dan laku jual itu, kemudian banyak mengilhami beberapa seniman untuk turut juga mengaplikasi teknik cara membati dengan teknik kuas itu dan kemuadian populerlah apa yang disebut seni lukis batik (batik painting). Saat inipun banyak gallery-galery yang menawarkan karya lukis batik yang memang dipasok oleh para senirupawan. Karya seni lukis batik dapat dengan mudah dibawa oleh wisatawan sebagai cindera mata. Seiring banyaknya wisatawan yang datang ke Yogyakarta pada tahun 1980-an, maka seni lukis batik kuantitas produksinya cukup signifikan, sangat popular, dan banyak diminati oleh para konsumen.Wilayah Prawirotaman, Ngasem, maupun sekitar Jalan Malioboro masih banyak dijumpai produk seni lukis batik yang didiplay pada gallery-gallery seni lukis batik. Teknik membatik dengan kuas dirasa dapat mengakomodasi ekspresi senirupawan, sehingga hal ini menarik juga pada beberapa mahasiswa STSRI “ASRI”yang kemudian juga membuat karya-karya seni lukis batik itu, bahkan setelah lulus mereka mengembangkan di daerah masing-masing, seperti di Bukit Tinggi, Jakarta, Bandung, Surabaya, Waimena, dan lainnya. Batik yang semula sebagai seni tradisi yang mengakar budaya Jawa, atas peran serta kriyawan yang dapat mengeksplorasi dan mengembangkannya ternyata memiliki daya getar ke seluruh Indonesia.
Perkembangan seni kriya seperti seni lukis batik memberikan salah satu bentuk pengembangan atas seni budaya Indonesia yang selalu mengalami perkembangan dan perubahan. Pemerintah telah menyadari betapa pentingnnya pengembangan dalam bidang seni budaya terutama Seni Kriya, dengan membekali seseorang dengan ketrampilan untuk dapat mengekplorasi sumber daya alam pada wilayah-wilayah yang sumber bahan baku yang melimpah. Salah satu bentuk upaya itu seperti pada tahun 1990-an pemerintah banyak memberikan peluang kepada dunia pendidikan khusus setelah dicanangkannya tahun kriya, dibukalah banyak sekolah menengah kejuruan seni di Indonesia seperti SMSR (Sekolah Menengah Seni Rupa dan SMIK (Sekolah Menengah Industri Kerajinan) diberbagai daerah tersebut, dengan program PPPGK (Pusat Pengembangan Penataran Guru Kesenian) yang sekarang menjadi P4TK (Pusat Pengembangan Pelatihan Pendidikan dan Tenaga Kependidikan) Seni dan Budaya, menyelenggarakan pendidikan tenaga pengajar untuk keperluan mengajar dibeberapa sekolah menengah seni tersebut. Hal ini banyak diminati oleh para lulusan jurusan Kriya saat itu. Tenaga pendidik itu kemudian ditempatkan pada beberapa sekolah menengah seni diseluruh Indonesia. Tentu dengan banyaknya para lulusan Kriya yang tersebar di seluruh Nusantara, maka terjadi karakter berkeseniannya berciri Yogya, tentu dalam hal ini peran dari jurusan kriya ISI Yogyakarta banyak memberikan kontribusi atas perkembangan seni kriya di Indonesia. Barang kali terjadi perpaduan diantara inspirasi daerah setempat dalam cara pengembangan para kriyawannya. Tentu sentuhan eksplorasinya memiliki ciri khas kriyawan lulusan Yogyakarta. Bahkan beberapa Perguruan Tinggi di Indonesia yang juga membuka program studi yang berkaitan dengan seni kriya umumnya lulusan jurusan kriya mengisi posisi-posisi sebagai pendidik di lingkungan itu. Tentu mereka tatap berkarya yang menekankan pada kualitas teknik, ide penciptaan, dan tampilan produk seni kriya. Demikian pula meningkatnya populasi kriyawan dapat memperluas kawasan seni kriya di Indonesia[3].
Program pemerintah dalam meningkatkan peneyebaran ketrampilan membuat karya kriya sangat beralasan dengan upaya meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat. Lulusan SMIK telah banyak diserap oleh beberapa daerah di Indonesia bahkan Negara-negara seperti Malaysia, Korea, Arab telah banyak menyerap untuk membuat produk seni di negaranya. Demikian pula kantong-kantong seni kerajinan yang berkembang di Yogyakarta. Terbukti Kasongan, Kota Gedhe, Pucong, Krebet, Pundong, dan sentra seni kerajinan yang berkembang di Yogyakarta telah banyak memberikan inspirasi pada para pemerintah daerah di luar Yogyakarta untuk dijadikan model pengembangan sebuah sentra seni kerajinan di wilayahnya. Kantong-kantong sebagai sentra seni kerajinan yang tersebar di seluruh pelosok Yogyakarta menjadi barometer perkembangan seni kerajinan dari Indonesia. Pada pameran Internasional Iffina 2009 tanggal 11-16 Maret 2009 lalu produk-produk kriya yang baru yang inovatif muncul dari kreatifitas kriyawan Yogyakarta. Pemeran ulang tahun Dekranas akhir 16-22 Maret 2009 menampilkan hampir 60 persen didominasi produk seni kerajinan dari Yogyakarta. Stands yang ditempati oleh para pengrajin dari Yogyakarta menjadi tujuan para pembeli lokal baik Jakarta, Tangerang, Bandung, dan wilayah sekitarnya.

B. Kondisi Sosiokultural Yogyakarta Berpengaruh Terhadap Penciptaan seni Kriya.
Yogyakarta sebagai wilayah yang erat dengan bentuk kerajaan yang berbasis pada kebudayaan Jawa, oleh karena itu kebudayaan Jawa sangat menonjol di dalam setiap bentuk hubungan individu maupun kelompok.[4] Kesamaan kepentingan dibangun dalam jaringan kekerabatan yang didasarkan pada asas kegunaan yang nyata dalam pergaulan, pengenalan, dan daya ingat seseorang. Kebutuhan dasar manusia untuk bergaul akrab dengan memberi rasa hangat dan menjamin hari tua diperolehnya dalam keluarga inti yang diperluas. Keluarga inti yang diperluas ini merupakan kesatuan-kesatuan sosial yang mandiri, dalam arti bahwa kesatuan sosial itu mengelola ekonomi rumah tangga serta hak miliknya, mengasuh anak-anaknya, serta bertanggungjawab terhadap proses sosialisasi dan inkulturasi dari generasi mudanya, membantu dalam usaha pertanian untuk kebutuhan sendiri. Termasuk bekerjasama dalam berbagai aktivitas lain, misalnya mengurus berbagai perayaan yang bersifat adat atau pun keagamaan. Kehidupan ekonomi dan sosial-budaya masa kini, tampaknya tidak lagi dipenuhi oleh rumah tangga sendiri, tetapi semakin tergantung kepada berbagai pranata lain dalam masyarakat di luar hubungan kekerabatan. Misalnya, meskipun ada pranata sambatan, namun sudah memanfaatkan jasa tukang-tukang.[5]
Oleh karena itu jaringan kekerabatan mencair dengan pranata lain dalam masyarakat yang berpengaruh terhadap perilaku setiap warganya, termasuk jenis pekerjaan yang digelutinya. Hal ini tercermin pada geliat aktivitas masyarakat Yogyakarta yang memiliki rutinitas berkarya seni kriya dengan pola produksi serta kehidupan sosial-budaya yang berciri khas sebagai penghasil seni kriya. Seperti yang diungkapkan oleh Soedarsono dalam buku Seni Pertunjukan: Perspektif Politik, Sosial, dan Ekonomi, bahwa hadirnya sebuah golongan atau kelas di sebuah negara akan menyebabkan lahirnya sebuah seni yang cocok dengan selera golongan itu.[6] Menggaris-bawahi pendapat ini, sesungguhnya munculnya produk seni kriya tidak terlepas dari kehadiran kriyawan yang kreatif berjasa besar bagi pembangunan seni kriya di Yogyakarta. Kemudian melahirkan suatu strata sosial yang berkembang saat ini sebagai kriyawan yang memiliki pola pikir global dengan mengikuti perkembangan masyarakat internasional. Hal ini disebabkan adanya perubahan minat seni kerajinan yang dikonsumsi oleh masyarakat dunia lewat pasar ekspor. Pertumbuhan seni Kriya di Yogyakarta khusunya, mengalami pergerakan yang luar biasa. Pergerakan itu seiring dengan tumbuhnya daya kreatifitas para kriyawan Yogyakarta. Sebagai wilayah yang memiliki sumber daya manusia berpendidikan, mampu mengalah alam menjadi produk-produk seni kerajinan yang memiliki keunikan tersendiri. Daya kreatifitas itu diakibatkan oleh maraknya permintaan dan persaingan yang kian ketat. Tuntutan kreatifitas menjadi sangat penting dalam meniti dan memupuk kemampuan usaha seni kerajinan dalam dunia global. Tentu didalamnya kreatifitas inovasi, ekspansi, keberanian investasi dan lain sebagainya menjadi kunci utamanya.
Di samping itu bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta terkenal dengan pusat kebudayaan, pusat perjuangan, pusat pelajar dan mahasiswa dan tujuan wisata. Yogyakarta sebagai medan magnit bagi para muda di segala penjuru tanah air. Demikian pula lembaga pendidikan seni rupa ASRI yang didirikan di daerah ini sejak tahun 1950 didatangi oleh para pemuda dari segala penjuru nusantara. Ternyata para senirupawan yang belakangan punya nama tenar banyak yang bukan penduduk asli Yogyakarta mereka berdatangan dari luar Yogya. Bali yang selama ini kita kenal sebagai pulau dewata dan yang banyak menghasilkan karya-karya seni ternyata banyak senirupawan yang berkembang di Yogyakarta. Pada mereka adalah pengulat-pengulat seni yang tekun ulet dan lugu. Pada mereka mempunyai proses perkembangan yang unik. Karena jumlah yang cukup banyak, unik dan konsisten perkembangan mereka setelah di Yogyakarta cukup menarik untuk disimak, mereka berangkat dari Bali ke Yogya dengan membawa realisnya dan kemudian apa yang terjadi setelah sekian lama di Yogyakarta setelah sekian tahun belajar di Yogya mereka menjadi men-Jogya. Mereka berpendapat bahwa bentuk-bentuk realistis yang dibawa dari Bali ternyata kurang tepat lagi untuk mengakomodasikan ide-idenya, disamping itu ketatnya dalam bersaing mencari nilai-nilai baru. 9
Faktor lain yang menjadi kondusifnya eksistensi senirupawan Yogya tidak bisa terlepas dari setting sosial dan kultural seniman. Di Yogya setidaknya ada pergulatan mengenai spirit Yogya. Setting sosialkultural jelasnya menentukan bahasa ekspresi seorang seniman dari Yogyakarta dan memiliki warna tersendiri. KomunitasYogyakarta.ibarat sebuah panggung yang tidak begitu luas, maka untuk naik ke panggung itu orang harus memiliki daya saing yang tinggi. Demikian juga peran komunitas Yogyakarta yang padat membuat iklim menjadi sangat dinamik. Persaingan sangat ketat, saling mengintai, saling memaki, saling mengejek dalam konotasi positif, sehingga saling memicu dan memacu. 10 Dengan demikian kreatifitas akan sering terpacu seiring dengan kondisi kompetisi antar senirupawan dalam menciptakan karya.
Bahkan kemungkinan besar Yogyakarta sebagai salah satu tujuan buyer seni kerajinan dan permebelan di Indonesia. Meskipun belum ada penelitian yang signifikan namun hepotesa penulis yakin akan kebenarannya, tujuan utama untuk mencari jenis komonite seni kerajinan di Jawa dipastikan di Yogyakarta, biasanya menjadi agenda utama para buyers seni kerajinan. Meskipun Jepara sebagai raksasa furniture di Indonseia yang memiliki kemampuan ketrampilan yang luar biasa itu masih menjadi tujuan mereka, namun Yogyakarta tak kalah pentingya, disamping sebagai wilayah transit untuk menuju kewilayah lain seperti Jepara, Semarang, Serenan dan wilayah lain yang dekat dengan kota Yogyakarta.Dengan demikian kota ini memiliki kemampuan kreatifitas dalam mengolah seni kriya yang memiliki daya pikat tersendiri, juga menjadi daya tarik konsumen itu. Alasan lain yaitu, manakala sistem yang diterapkan dalam mengelala standarisasi internasional terkait dengan manajeman dan sistem quality control dan tingkat ketekunan dan kejujuran banyak dimiliki oleh sumber daya manusia Yogyakarta cukup profesional. Hal ini terlihat dengan beberapa importir luar negeri yang datang ke Indonesia, pernah berkomentar dengan penulis tentang limied time dalam penyelesaian order sesuai kesepakatan antara penjual dan pembeli dapat dipenuhi sesuai dengan perjanjian, dengan berbagai macam ketentuan administrasi yang menyertainya. Jika dikomparasikan dengan pengrajin di Bali, sistem budayanya memiliki karasteristik tersendiri, ketekunan membuat karya patut diacungi jempol, kegiatan religiusnya luar biasa, menjadi kontradiktif manakala harus berurusan dengan limited time pemenuhan kewajiban dalam jumlah relatif besar. Pada umumnya mereka bekerja dalam sekala kecil yang berciri khas pada masing-masing pengrajin, oleh karenanya buyers selalu memberikan space-time ke depan dengan cara manipulasi agar target waktunya dapat terpenuhi manakala kegiatan religius menyita waktu mereka. Dengan demikian jelaslah bahwa Yogyakarta adalah tempat yang kondusif untuk tumbuh dan hidupnya para senirupawan, maka sebuah pameran yang melibatkan banyak seniman merupakan refleksi bagaimana suatu konstruksi seni rupa hadir dalam masyarakat. Kondisi sosiokultural yang ada juga ikut mempengaruhi karakter olah cipta seni kriya. Seorang yang berasal dari Padang Sumatra menjadi sangat Jawa setalah lama berinteraksi dengan kehidupan masyarakat Yogyakarta. Setelah mereka kembali ke asalnya pengaruh itu kemudian terbawa dan tercermin pada karya-karya yang dihasilkan.

C. Arah Perkembangan Seni Kriya
Pada era globalisasi arah perkembangan seni kriya salah satunya adalah dapat menyerap tenaga kerja. Oleh karena itu setiap tenaga kerja dituntut untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang tinggi baik keterampilan dan keahlian dalam melakukan inovasi, akurasi dan kecepatan, maupun penguasaan informasi, komunikasi dan intellectual capital yang berbasis pengetahuan pekerja (knowledge worker). Untuk itu, standarisasi kompetensi sebagai landasan pengembangan program produktivitas harus yang berorientasi pada perkembangan pasar kerja global dan penanggulangan pengangguran, perlu dilaksanakan secara terpadu, terarah dan berksinambungan dengan melibatkan seluruh instansi pemerintah, dunia usaha dan masyarakat.[7] Seni Kriya salah satu bidang seni yang hasilnya mengutamakan pada pengetahuan, keterampilan, dan kreatifitas berkarya rupa, bertolak dari pendekatan medium, kepekaan estetik, kebutuhan keseharian, dan mengandalkan keterampilan manual ( manual dexterity ). Hasil karya kriya diutamakan mengandung nilai keunikan, konseptual, tema, imajinatif, dan inovatif. Seni Kriya kemudian lebih difokuslan pada ilmu dan keterampilan dalam menciptakan konsep, bentuk dan gaya dalam arti luas dalam industri kreatif. Karya Kriya yang dirancang lebih bersifat eksklusif memiliki nilai tambah dalam berbagai sisi, karena dalam proses pembuatannya menghandalkan keterampilan tangan ( handmade ). Pada konsep lain kriya dapat diproduksi ulang untuk memenuhi kebutuhan dalam jumlah banyak, atau juga terbatas. Produk Kriya unik dalam mengunakan material, unik dalam proses penyatuan, unik dalam sentuhan akhir karya, maka tidak ada produk satu dengan yang sama persis, originalitas yang selalu dinamis.
Nilai originalitas pada karya seni kriya berasal dari kreativitas seorang kriyawan dalam menciptakan karya baru yang menyesuaikan trend pasar yang sedang berkembang. Inovasi baru itu kemudian diproduksi secara massal sebagai barang seni kerajinan. Dengan bentuk kerjasama semacam itu, maka kriyawan dapat juga mempelajari berbagai bentuk produk karya seni kriya baru dari perkembangan pasar yang dituju yang sejenis melalui info dari pihak korporasi, buyer, dan survei ketika ada pameran dari produk lain. Produk buatan dari yang sedang berkembang sebagai kompetitor dapat dijadikan bagian sumber inspirasi pembuatan karya baru yang dipakai sebagai dasar penciptaan target tahun berikutnya. Kriyawan pun akhirnya memiliki kepekaan yang baik dalam membaca pasar dari gejala-gejala yang dilihatnya. Di samping itu dapat pula mengkombinasikan antara seni tradisi dengan seni modern sehingga membantu para pengrajin seni kerajinan untuk membuat produk yang memenuhi kebutuhan home accessories rumah modern saat ini.[8] Dalam menindaklanjuti pekerjaan produksi, ternyata aspek korporasi memiliki teknologi yang baik dalam membuat produk seni kriya menjadi produk massal guna memenuhi permintaan para buyer untuk diperdagangkan ke negara manca Negara.
Proses kreatifitas dalam membuat karya kriya tidak terbatas pada bagaimana membuat bentuk yang sesuai dengan dasar-dasar desain yang baku, namun telah juga dipadukan dengan berbagai aspek yang berkaitan selera konsumen. Umumnya, karya seni kriya akan disasarkan kepada penikmat seni sebagai konsumennya. Secara terang-terangan seni kriya umumnya secara jelas dijual sebagai barang pakai yang siap menhias ruang-ruang interior rumah atau kantor-kantor. Namun demikian ada pula ide, gaya, dan karakter karya yang dihasilkan seorang kriyawan yang lebih mementingkan pada sisi fine art-nya dengan cara penawarannya yang lebih tersamar jika dibandingkan dengan applied art. Seni Kriya yang telah direproduksi dalam jumlah yang relative banyak, maka jadilah apa yang kita sebut seni kerajinan. Seni kerajinan umumnya dibuat oleh tangan-tangan terampil masyarakat sebagai sentra seni kerajinan, bentuk kegiatan ini kemudian menjadi kantong-kantong seni kerajinan yang banyak menyerap tenaga kerja. Arah perkembangan tentu mengacu pada upaya kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu kreatifitas memegang peran yang penting dalam melakukan penciptaan kriya baik sebagai barang fine art atau sebagai karya applied art. Kreatifitas membuat karya baru diperlukan perancangan produk seni kerajinan dari hasil manifestasinya karya guna melalui berbagai pendekatan ilmu, teknologi, dan seni. Rancangan dalam bentuk desain baru dengan prototype baru kemudian dicoba untuk diterjunkan pada masyarakat konsumen bagaimana tanggapannya. Oleh karena itu seorang kriyawan, jika sudah terjun pada industri seni kerajinan dituntut untuk dengan cekatan dalam mengambil keputusan dalam pemecahan masalah tentang berbagai faktor yang berpengaruh dalam menerapkan prisip-prinsip penciptaan produk baru agar laku jual.[9] Apalagi dalam penentuannya dilengkapi dengan survey lapangan untuk mempelajari bagaimana keadaan kecenderungan yang sedang berjalan terhadap wilayah pasar yang akan dituju. Sebab, setiap wilayah pasar memiliki karakter yang dapat menentukan produk seperti apa yang sesuai dengan selera konsumen. Persoalan pasar tentu berkaitan dengan ekonomis, ketika seni kriya dapat dengan mudah diterima pasar maka ukuran bagus dan tidaknya produk seni kriya adalah tingkat keberhasilan pada laku dan tidaknya produk diterima konsumen.
Industri pariwisata turut memberikan gairah perkembangan seni kriya yamg berfungsi sebagai cinderamata. Apalagi kunjungan wisata marak mendatangi di beberapa daerah sehingga sangat mendukung proses produktifitas penciptaan produk-produk seni kriya baru yang tersebar diseluruh Indonesia. Cinderamata memberikan kesan yang mendalam atas tempat yang pernah di kunjunginya. Mereka akan bercerita kepada orang lain dengan bukti cinderamata yang pernah didapatkannya pada tempat yang pernah dikunjunginya. Ketertarikan atas aspek obyek wisata dan alamnya memberikan sebuah acuan sebagai sumber insperasi seorang kriyawan untuk menciptakan produk kriya yang berfungsi sebagai cinderamata sesuai imajinasinya.. Tentu setiap daerah wisata memiliki ciri khas masing-masing, dengan demikian kreatifitas kriyawan untuk menciptakan cinderamata yang memiliki ciri khas tersendiri menjadi tugas kriyawan itu.
Dengan demikian ada dua arah seni kriya, pertama sebagai barang fine art yang diproduksi sebagai ungkapan jiwa pribadi kriyawannya. Kemuadian seni kriya yang bertujuan sebagai master dalam memberikan arah perkembangan seni kerajinan. Seni kriya tersebut dapat diproduksi secara massal, namun dapat juga dalam jumlah terbatas (limited edition). Dengan demikian tujuan akan keberlangsungannya seni kriya sebagai pendukung dalam kegiatan kesejahteraan masyarakat dalam ekonomi kerakyatan akan tercapai.

D. Peran Jurusan Kriya Institut Seni Indonesia Yogyakarta
Jurusan kriya, Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia Yogyakarta telah meluluskan sarjana yang tersebar seluruh Indonesia, mereka menyelesaikan pendidikan di jurusan kriya kemudian mereka kembali ke daerahnya masing-masing untuk menjadi tenaga-tenaga terdidik yang dapat membina maupun berkarya di daerahnya. Sebagaian ada yang menjadi kriyawan, guru di sekolah menengah, dan bahkan mengajar perguruan tinggi. Mereka melakukan aktifitasnya berkarya dengan dasar-dasar yang mereka terima saat belajar di Yogyakarta. Jurusan Kriya memberikan ilmu yang berkaitan dengan minat utama yang dipilih. Jurusan Kriya mengajarkan pengetahuan dan ketrampilan seni rupa untuk memenuhi kebutuhan spiritual dan atau fungsional, dengan teknik/proses perwujudan yang mengutamakan kekriyaan. Tujuan Pendidikan kriya adalah menghasilkan lulusan dengan kemampuan menghayati nilai-nilai budaya nasional serta menanggapi gejala kebudayaan pada umumnya yang berkaitan erat dengan bidang kriya untuk mengembangkan kepribadian dan wawasannya. Menguasai dasar-dasar ilmiah dan mampu menelaah serta memecahkan permasalahan dalam bidang seni kriya dan menerapakannya pada kegiatan pleyanan masyarakat. Menguasai berbagai media teknik kriya sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni untuk menciptakan karya-karya seni kriya yang kreatif dan inovatif. Memeiliki sikap dan perilaku dalam membawakan diri untuk berkaya dibidang kriya seni maupun kehidupan bermasyarakat. Mampu berinterasi dengan bidang-bidang ilmu lainnya untuk memperluas wawasan sesuai dengan tuntutan sesuai dengan perkembangan jaman.
Kreatifitas membuat karya seni kriya yang menggali nilai-nilai budaya bangsa telah memberikan perhatian kepada pihak-pihak atau lembaga-lebaga baik negeri maupun swasta memberikan peluang yang lebar bagi lulusan jurusan kriya untuk berkiprah dalam pengembangan produk-produk seni baik seni kriya sebagai ekspresi pribadi maupun seni kriya sebagai karya fungsi yang dikonsumsi pasar. Banyak pengusaha seni kerajinan yang menggunakan tenaga-tenaga lulusan jurusan kriya untuk duduk sebagai tenaga ahli dalam eksplorasi produk baru. Mereka memanfaatkan kreatifitasnya dalam mengekplorasi material, warna, bentuk, dan gaya untuk dapat menciptakan produk baru. Produk yang diciptakan tentu memiliki keterikatan dengan bagaimana survey awal terhadap pasar, meskipun ada juga seorang kriyawan dapat membuat trend pasar sendiri. Tarik ulur terhadap pasar ini diperlukan kepekaan seorang kriyawan untuk menentukan desain yang sesuai dengan kondisi pasar saat ini seperti apa. Pada beberapa perusahaan yang berskala besar banyak menyerap tenaga-tenaga dari jurusan kriya, terbukti ketika ada event pameran internasional seperti TEI (Trade Ekspo Indonesia) pada tangga 10 Oktober 2008 lalu hampir dapat dijumpai lulusan jurusan kriya bekerja pada perusahaan-perusahaan seni kerajinan baik perusahaan lokal maupun pengusaha asing. Eksplorasinya yang ditampilkan luar biasa, sehingga setiap perusahaan menampilkan produk baru yang hampir sebagian besar memiliki karakteristik tersendiri-sendiri dari hasil kreatifitas mereka.
Kreatifitas itu tidak saja mandek, hanya terbatas pada seni kriya sebagai kebutuhan pasar saja, para kriyawan saat ini mencoba untuk mengekplorasi kreatifitasnya untuk menciptakan karya-karya yang dipakai sebagai seni kriya sebagai ungkapan batin saja. Kegiatan pemeran di setiap daerah banyak menampilkan karya-karya yang kreatif dan inovatif. Seperti kegiatan pameran Akbar seni kriya logam tradisi dan kontemporer di Gedung Purnabudaya Yogyakarta tahun 1996 yang deselenggarakan oleh Pakriyo (Paguyuban Kriyawan Yogyakarta), banyak diikuti hampir 100 kriyawan baik dari Yogyakarta maupun luar Yogya, seperti Surabaya, Cepogo Boyolali, Semarang dan lain sebagainya. Kegiatan pameran itu sebelumnya juga di adakan di Galeri Nasional Jakarta pada bulan Juni 1995, yang saat itu meraih kesuksesan besar sebab hampir separo karya seni kriya yang diapmerkan laku terjual. Bukan itu saja beberapa kriyawan terus berkarya dan memenangkan beberapa kompetisi seni kriya, seperti lomba desain yang diselenggarakan oleh IGDS (Indonesia Good Desain) tahun 2007 dimenangkan oleh Borobudur Silver yang menanpilkan desain satu set jewellery, namun yang menjadi biang keladinya adalah Roro Gres seorang desainer perhiasan lulusan jurusan kriya.
Peran Jurusan kriya dalam memberikan warna kreatifitas untuk mengeksplorasi seni kriya nusantara telah memunculkan karya-karya seni kerajinan yang beragam. Keberagamannya menyesuaikan dengan sumber daya yang ada pada setiap daerah atau daya kreatif desainer itu dalam menanggapi perkembangan jaman. Sebab kehidupan masyarakat saat ini mengalami goncangan-goncangan modernisasi, maka konflik batin dalam diri kriyawan untuk mengatasi perubahan-perubahan yang terjadi. Gagasan-gagasan yang cemerlanng untuk membimbing manusia untuk melihat kenyataan menempatkan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai naungan pengharapan untuk tercapainya kesejahteraan hidup. Oleh karena itu keahlian dan kreatifitas dalam berkarya merupakan ciri dari masyarakat yang selalu menyesuaikan dengan perubahan jaman.[10] Perubahan sertiap generasi selalu memiliki ciri khusus dalam kecenderungan berkehidupan, maka daya kreatifitas seorang kriyawan diperlukan untuk memeberi sentuhan keseuaian dengan karya seni kriya yang akan digunakan oleh masyarakat pendukungnya.

E. Kantong-kantong Seni Kerajinan di Yogyakarta
Memang sumber daya alam di Yogyakarta tidak sebanyak jika dibandingkan dengan wilayah lain yang memiliki rentangan wilayah yang luas seperti di luar Jawa. Namun hal ini tidak menjadi persoalan, kepakaan terhadap bagaimana mengolah alam yang ada itu, yakni dengan cara menciptakan desain kerajinan yang baru yang ternyata bahannnya di dapat dari luar Yogyakarta. Memadukan unsur-unsur alam yang lebih nge-trend dengan kata kerajinan natural, banyak memasukan unsur alam yang semula tidak dipikirkan oleh orang kebanyakan namun dengan daya kreatif desain berubah dari apa yang dikatakan sampah menjadi bentuk seni kerajinan yang unik dan menarik. Memang kecenderungan ini menjadi salah satu pilihan, ternyata cukup potensial diterima pada pasar dunia ketika issu keunikan alam menjadi salah satu pilihan. Bentuk eksplorasi kerajinan ditampilkan melalui desain baru dan finishing dengan tingkat kejelian tinggi. Hasilnya adalah sebuah benda kerajinan yang memiliki citra eklusif tanpa meninggalkan unsur keunikan, tradisi, dan naturalistik.[11]
Sebagaimana kita ketahuai bahwa, Yogyakarta memiliki kantong-kantong sebagai sentra seni kerajinan yang memproduksi seni kerajinan berbahan alam yang unik dan kreatif. Sentra ini terdapat di perkotaan maupun dipedusunan. Setiap wilayah penghasil kerajinan memiliki karasteristik pada teknik dan juga bahan yang spesifik dengan wilayah tertentu. Beberapa dari mereka, memang secara mentradisi didapat dari pendahulunya ada pula yang memang dikembangkan sebagai bagian dari kreatifitas seorang pengrajin yang kemudian menyebar pada tetangganya karena proses penurunan ketrampilan dalam bentuk kelompok kerja. Dalam suatu kelompok yang terdiri dari pimpinan dan karyawan, mereka saling silang menurunkan keahlian dalam aktifitas kerja pada sebuah unit usaha, maka terjadi proses penyebaran keahlian itu. Tentu sebuah sentra kerajinan dengan sifat yang unik bereproduksi mengandalkan ketrampilan tangan, dengan demikian serentak ketrampilan itu segera ditularkan pada pekerja lain dalam sebuah kerjasama kemitraan. Yaitu antara pengrajin dengan tingkat pesanan yang lebih tinggi dan sebagian lagi sebagai pengrajin sub kontraknya. Seperti yang terjadi dibeberapa sentra industri di wilayah Yogyakarta, mereka telah menggunakan sistem sub kontrak sebagai bagian kegiatan reproduksi mereka. Sentra industri seni kerajinan keramik Kasongan dan Pundong, sentra industri seni kerajinan tenun di Gamplong, seni kerajinan perak di Kota Gedhe, seni kerajinan kayu batik di Krebet, seni kerajinan wayang kulit di Pocong dan Gendheng dan lain sebagainya.
Sentra tersebut merupakan kelompok penghasil seni kerajinan yang memang telah lama hadir sebagai warisan budaya fisik pada wilayahnya. Tentu kehadirannya, tidak saja sebagai bagian karya seni yang bercirikhas wilayah tertentu, namun merupakan matapencaharian mereka. Nilai ekonomis sebagai bagian dari kegiatan bisnis mereka telah memberi kontribusi yang luas sebagai salah satu bentuk kantong seni kerajinan yang padat karya. Perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam dunia bisnis kerajinan ditandai dengan majunya sentra kerajinan yang ada, maka perluasannya melalu eks pegawai-pegawai atau karyawan yang secara bergelombang mendirikan usaha-usaha baru sebagai kantong baru yang muncul sebagai bentuk usaha baru (usaha kecil dan menengah: UKM). Kantong baru yang muncul disebuah wilayah dengan budaya yang berbeda dengan bidang kerja keseharian mereka, kemudian terjadi pembauran budaya pembuatan kerajinan baru itu pada penduduk disekitarnya yang secara alamiah sebagian bekerja di kantong baru tersebut.

F. Penutup
Yogyakarta memiliki kontribusi terhadap arah perkembangan Seni Kriya di Indonesia, setidaknya perkebangan Seni Kriya itu tidak dapat lepas dari peran Jurusan Kriya Institut Seni Indonesia Yogyakarta mampu memberikan warna tersendiri terhadap perkembangan seni kriya nusantara. Dari berbabagai daerah yang mengembangkan Seni Kriya sebagai salah satu bentuk pengembangan budaya telah merekrut kriyawan-kriyawan terutama dalam kesempatan pelatihan maupun pendidikan untuk mengeksplorasi sumber daya alam yang biasanya melimpah pada beberapa wilayah di Indonesia, mengharapkan para kriyawan untuk dapat menyulap dengan kreatifitas menjadi Seni Kriya barang yang memiliki nilai seni dan nilai ekonomis. Harapannya adalah pemerataan ketrampilan terutama pemberdayaan sumber daya manusia sebagai salah satu bentuk kegiatan ekonomi kerakyatan. Bagaimana bentuk dukungan lembaga terkait baik swasta maupun pemerintah untuk dapat tumbuh dan berkembang dengan baik di wilayah ini.

G. Kepustakaan
“Asesories rumah Serat Alam Arindha” pada Majalah Hendikraft , Majalah bulanan Handicraft dan Furniture Dwi Bulanan Edisi 20/Tahun IV/Agustus-September 2005.
“Design Meet Artisan” Craft Revival Trust, Artesanfas de Columbia S.A., Unesco, 2005
Direktur Jenderal Pembinaa pelatihan dan Produktifitas pada acara Pembukaan Bimbingan teknis pengembangan managemen UKM (Pasca Penghargaan Produktivitas dan Kualitas UKM Indonesia Tahun 2005) Surabaya, 22 Agustus 2006.
Heskett, John, Desain Industri Penerbit Rajawali, Jakarta, 1986
Katalog Pameran Kriya yang diselenggarakan oleh FKS (Form Komonikasi Seni) di Sasana Ajiyasa FSRD ISI tanggal 25-31 Oktober 1987.
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, Balai Pustaka, Jakarta, 1986
R.M. Soedarsono, Seni Pertunjukan Indonesia: Perspektif Politik, Sosial, dan Ekonomi Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2003
Soedarso Sp., Tinjauan Seni, Sebuah Pengantar Untuk Apresiasi Seni, Saku Dayar Sana, Yogyakarta, 1990.
Sukri, A. Im’an, Cahyo Joko Sukmono, Eni Martina, dkk, Masa Depan Yogyakarta dalam Bingkai Keistimewaan Unit Penerbit Parwi Foundation,, Yogyakarta, Tth.
Sun Ardi, "Yogyakarta Kota Persemaian Pelukis Indonesia", Katalog, Pameran Seni Rupa, Festifal Kesenia Yogyakarta III, Benteng Vredeberg Yogyakarta, 1992.
Weiner, Myron, ed., Modernisasi Dinamika Pembangunan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta 1984
"Yogyakarta Kontributor Utama Seni Rupa Indonesia", beberapa pendapat Suwarno W. dan M. Dwi Marianto, dimuat pada harian Bernas, Minggu Paing 14 September 1997.






Tentang Penulis:

Dr. Timbul Raharjo, M. Hum.
Lahir di Kasongan Bantul Yogyakarta, 8 November 1969. Lulusan Program Doktor di Universitas Gadjah Mada tahun 2008. Sejak tahun 1993 mengajar di Institut Seni Indonesia Yogyakarta Jurusan Seni Kriya, khususnya Seni Keramik. Tahun 2007 mendapat anugerah Upakarti dari Presiden Republik Indonesia. Menjadi perajin keramik sejak tahun 1996. Produk keramiknya diekspor ke beberapa negara yang terkena krisis global 2008. Sebelum krisis global per bulan bisa mengirim 20 kontainer, namun beberapa bulan ini hanya 5-7 kontainer saja.

[1]Makalah disampaikan pada acara diskusi Ilmiah dalam rangka Purna Tugas Prof. Drs. Sp. Gustami, S.U. di Gedung Pascasarjana Jl. Suryodiningratan No. 8 Yogyakarta, hari Sabtu 4 April 2009.
[2]Periksa Katalog Pameran Kriya yang diselenggarakan oleh FKS (Form Komonikasi Seni) di Sasana Ajiyasa FSRD ISI tanggal 25-31 Oktober 1987.
[3]Periksa Soedarso Sp., Tinjauan Seni Sebuah Pengantar Untuk Apresiasi Seni (Yogyakarta: Saku Dayar Sana, 1990).
[4]A.Im’an Sukri, Cahyo Joko Sukmono, Eni Martina, dkk, Masa Depan Yogyakarta dalam Bingkai Keistimewaan (Yogyakarta: Unit Penerbit Parwi Foundation, tth), hal. 60.
[5]Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa (Jakarta: Balai Pustaka, 1986) hal. 153-154.
[6]Periksa R.M. Soedarsono, Seni Pertunjukan Indonesia: Perspektif Politik, Sosial, dan Ekonomi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2003).
9Sun Ardi, "Yogyakarta Kota Persemaian Pelukis Indonesia", Katalog, Pameran Seni Rupa, Festifal Kesenia Yogyakarta III, Benteng Vredeberg Yogyakarta, 1992, hal. VI.
10"Yogyakarta Kontributor Utama Seni Rupa Indonesia", beberapa pendapat Suwarno W. dan M. Dwi Marianto, dimuat pada harian Bernas, Minggu Paing 14 September 1997, hal.9.
[7]Sambutan Direktur Jenderal Pembinaan pelatihan dan Produktifitas pada acara Pembukaan Bimbingan teknis pengembangan managemen UKM (Pasca Penghargaan Produktivitas dan Kualitas UKM Indonesia Tahun 2005) Surabaya, 22 Agustus 2006.
[8]“Design Meet Artisan” (Columbia: Craft Revival Trust, Artesanfas, S.A., Unesco, 2005), hal. 4.
[9]John Heskett, Desain Industri (Jakarta: Penerbit Rajawali, 1986), hal.6.
[10]Myron Weiner, ed., Modernisasi Dinamika Pembangunan (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1984), hal. X-XII.
[11]Seperti diungkap dalam sebuah tulisan tentang Asesories rumah Serat Alam Arindha pada Majalah Hendikraft , Majalah bulanan Handicraft dan Furniture Dwi Bulanan Edisi 20/Tahun IV/Agustus-September 2005, 15.

Tidak ada komentar: