Tampilkan postingan dengan label SENI KERAJINAN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label SENI KERAJINAN. Tampilkan semua postingan

Kamis, 07 Mei 2009

Penciptaan Seni Kriya dalam Ranah Suvenir

A. Pendahuluan
Terima kasih kepada panitia penyelenggara sebab penulis diberi kesempatan pada hari ini untuk bertukar pikiran dengan para guru sekolah menengah pertama. Dalam kesempatan ini penulis sampaikan bahwa pola pengajaran pendidikan pada tingkat pertama selalu dimulai dengan bentuk-bentuk pembelajaran bersifat mendasar. Sebab pengetahuan seni tentu dikaitkan dengan selera orang per-orang yang deisebut dengan rasa seni atau art test. Ada orang yang dengan cepat dapat menyesuaikan dengan kreteria basig design dalam estetika, ada pula yang susah untuk segera menyesuaikan dengan rasa seni itu, namun bahkan ada yang pas dengan cita rasa seni itu, yakni dengan hasil kreatifitas yang luar biasa. Kepekaan meilihat, merasakan, mewujudkan dan mengapreasikan menjadi momentum yang baik dalam menelusuri kreatifitas. Oleh karena itu pembuatan suvenirpun dalam tataran tertentu juga harus memperhitungkan bagaimana sebuah suvenir hadir untuk menjawab tantangan konsumen yang meginginkannya. Jika dalam membuat suvenir diperhitungkan dengan baik, maka akan segera terakomodasi sebagai produk yang siap dikonsumsi masyarakat.
Dalam pembuatan suvenir memang belum ada aturan pembantasan secara khusus, sebab suvenir itu umumnya berukuran kecil. Sebagai barang yang diapakai sebagai kenang-kenangan , tanda mata, cenderamata, atau apalah yang sifatnya memeberikan bentuk pengingatan akan suatu peristiwa atau telah berkunjung pada suatu tempat dan lain sebagainya. Oleh karena itu umumnya suvenir berukuran kecil agar mudah dibawa oleh orang yang menginginkan atau diberi sebagai produk pengingat agar terkenang terus ketika suatu hari melihat produk itu. Kenangan itu akan hadir manakala telah datang rentang waktu atau masa sesudahnya dan berefek pada pelamunan akan peristiwa yang diwakili oleh suvenir itu. Sungguh merupakan kenangan yang menarik, yang menyedihkan, mengharukan atau bahkan menjengkelkan. Namun peristiwa adalah bentuk kenangan yang telah menjadi sejarah akan peristiwa lampau yang saat ini situasinya berbeda. Untuk itu kenangan pada umumya adalah kenangan yang manis agar menumbuhkan gairah kesenangan baru ketika menikmati suvenir itu.
Baiklah dalam kesempatan ini seni kriya diciptakan sebagai suvenir diharapakn sebagai bagian penting dalam proses pembelajaran. Dalam dunia pendidikan seni sampai saat ini belum diberikan porsi yang layak dalam kurikulum di Indonesia, sehingga porsi dan posisi pembelajaran seni senantiasa dirasa masih belum berpihak alias kurang, padahal seni merupakan pembentuk dasar kepekaan seseorang akan kehalusan, keunikan, dan estitika. Beberapa Negara maju telah memposisikan seni sebagai pra-empiris untuk membentuk rasa kehalusan jiwa, sehingga kepekaan akan esteika dapat diterapkan atau terbawa ke berbagai bidang kegiatan yang mereka geluti.
Sementara di Indonesia sebagai Negara berkembang kegiatan seni dalam hal ini seni kerajinan pada kenyataanya banyak mengandalkan pada ketrampilan tangan. Kegiatan ini dilakukan oleh masyarakat pengrajin yang tersebar di beberapa sentra seni kerajinan yang berkembang di Indonesia. Kandungan nilainya tambahnya adalah nilai seni dan keunikannya dari olah ketrampilan tangan. Orang asing sering menyebut dengan keunikan Asia, seni yang berciri khas dan bersumber inspirasi benda-benda budaya timur (ancient art). Karena bermula dari seni tradisi, maka terdapat anggapan persoalan kreatifitas hanya terbentuk dari daya peniruan atas seni tradisi tanpa ada perubahan. Jika hanya bentuk pengulangan yang terus menerus menjadi hambar nilai kreatifitasnya, bahkan dikawatirkan dianggap primitive. Tampaknya jenis seni apapun yang berhasil dengan daya kreatifitas dan inovasinya akan segera terapresiasi penggemarnya tanpa mempertimbangkan primitive, modern, atau tradisi.
Nah dengan demikian dalam pembuatan suvenir perlu adanya sebuah pengetahuan dalam bidang seni kriya agar pembuatan suvenir memiliki daya tarik tersendiri bagi calon pemakainya. Perhitungan dan pertimbangan dalam membuat suvenir perlu diberikan rambu-rambu yang baik agar suvenir yang diciptakan memiliki kreteria sebagai suvenir yang unik dan menarik. Kemenarikan itu akan terpancar pada sisi karakter yang terdiri dari daya kreatifitas, pemilihan bahan, bentuk, finishing, dan ide yang original. Didukung dengan pola produksi dan pola pasar, maka akan tercipta suvenir yang “bagus”. Arti bagus disini menurut penulis sangat relative, bisa bagus karena bentuknya yang unik bagi pada perasaan pembuatnya, bagus karena cepat laku, atau bagus karena menjuarai pada lomba suvenir. Bagus dan tidak tentunya tergantung pada kandungan esteis, makna, dan tentunya test seni. Jika suvenir telah dijadikan mata pencaharian, maka bagus itu adalah cepat laku, jika sebagai koleksi pribadi bagus karena ia suka, dan lain sebagainya. Namun dalam persoalan ini pembekalan pengetahuan bagi para guru tentu dimulai dari bagaimana membuat produk agar supaya bagus dalam arti kreteria telah terpenuhi yakni bagaimana menggugah daya kreatifitas anak didik agar dapat mau untuk membentuk seni dari hasil pengamatan yang ada disekitarnya dan dijadikan seuatu yang bermanfaat.
Nah bagaimana membuat seni kriya dalam ranah suvenir ini menjadi bagus, maka penulis mencoba untuk membuat beberapa masukan agar dapat dipakai sebagai pengetahuan dalam membentuk suvenir. Bukan saja membuat suvenir yang dilihat dari sisi basig design melalui bentuk saja, namun perhitungan tentang budaya, bahan, produksi, dan marketnya memegang peran sangat penting. Hal ini agar anak didik memiliki gambaran holistic apa fungsi dari suvenir secara utuh.
B. Pemilihan Bahan
Indonesia memiliki keunikan bahan baku yang dapat dieksplorasi menjadi produk yang memiliki nilai tambah melalui sentuhan kreatifitas. Bahan mentah atau row material di Indonesia banyak diekspor tanpa kita tahu kegunaan selanjutnya, seperti bijih besi, rotan, kapur, dan lain sebagainya. Tentu dibutuhkan manusia-manusia yang memiliki kemampuan untuk mengeksplorasi sebuah bahan yang melimpah dan tampak tidak berguna itu diubah menjadi sesuatu yang memiki nilai lebih, sehingga memiliki daya jual yang lebih baik dari pada row material yang ada. Salah satunya dibentuk menjadi barang seni kriya. Kepekaan terhadap bahan yang ada di alam sangat diperlukan, semisal sebuah daun kering yang kemudian ditekok, dilipat, dan dilem menjadi sebuah bunga yang menarik. Sepotong kayu bakar yang kemudian diberi sentuhan guratan, dan diberi tulisan dapat dibuat sebuah suvenir yang berfungsi sebagai gantungan kunci.
Kepekaan melihat dan mengamati bahan yang ada disekitar kriyawan menjadi hal yang perlu ditekankan bagi anak didik kita. Siswa diajari bagaimana melihat suatu bahan yang tampak tidak berguna itu menjadi sesuatu yang bermanfaat. Dengan cara demikian kreatifitas anak didik akan terus terasah untuk memanfaatkan bahan itu, dalam bahasa Jawa “reko-reko” dengan rekaannya pasti memunculkan sesuatu yang berbeda dari asal mula bahan sebelumnya. Dengan demikian bahan baku tidak harus dibeli dari toko, atau impor dari luar negeri. Eksplorasi bahan sendiri memiliki keuntungan yang luar biasa, sperti bahan tidak usah beli sehingga menekan cost produksi dan pasti jika dijual memiliki keuntungan lebih besar. Pertimbangan ini telah terbukti ketika krisis ekonomi tahun 1997 dimana sektor konglomerasi bangkrut karena semua atau sebagian besar bahannya import dari manca Negara. Oleh karena harga bahan impor dan saat itu ternyata harganya melambung tinggi, sehingga harga jualnya tidak sebanding dengan cost produksinya. Bahkan pasar yang dituju ternyata pasar local, yakni dalam negeri yang juga sedang krisis saat itu. Bahan yang didapat dari lokal saat krisis itu mampu bertahan sebagi contoh maraknya order kepada sentra seni kerajinan kayu Jepara, Keramik Kasongan, Sebatu Tegalalang Bali, mereka taun 1997 meraup keuntungan yang luar biasa karena salah satunya berbahan lokal.
Sekali lagi pemilihan bahan bagi para pembuat suvenir pemula penting sebagai penggugah kreatifitas. Mereka dapat membayangkan akan dibentuk seperti apa bahan itu, misalnya bahan berupa tanah liat maka dibuatlah seni kerajinan keramik, kayu dapat dibuat seni kriya suvenir dalam kerajinan kayu, bebatuan maka dapat dibentuk patung, jika berupa powder maka dapat dibentuk dengan menggunakan bahan katalisator seperti semen atau lem. Katalisator tersebut dapat menguatkan powder dan bersifat keras setelah pembentukan selesai. Jika bahan yang ditemui dedaunan maka dapat dibentuk bunga-bungaan atau bentuk lain yang memiliki keunikan tersendiri. Bahkan lumpur Lapindo yang jutaan kubik itu dapat dimanfaatkan untuk membuat seni kerajinan keramik, patung, atau suvenir apapun dengan cara dibakar, ditambah semen, resin dan lain sebahgainya. Nah kepekaan mengolah bahan ini menjadi penting untuk membuat sebuah produk suvenir yang memiki karakter bahan lokal.
C. Sumber Inspirasi
Sumber inspirasi adalah ilham yakni sebuah bentuk tertentu untuk memancing sebuah kreatifitas terhadap penentuan sebuah tindakan atau membuat sesuatu. Sebagai sebuah angan-angan yang muncul dari hati, bisikan hati, atau sesuatu yang menggerakan hati untuk mencipta, bahkan bisikan dari tuhan seperti para Nabi. OLeh karena itu sumber inspirasi adalah awal munculnya angan-angan untuk membentuk sebuah suvenir yang didapat dari pancingan sumber itu. Tindakan kreatifitas diawali dengan sumber yang didapat dari sebuah bentuk yang ada baik yang berupa artefak sejarah, simbol penting dari sebuah ciri wilayah dan lain sebagainya. Upaya penciptaan itu dilandasi dengan angan-angan bahwa sebuah suvenir memiliki daya pikat dan daya kenang yang kuat dari sebuah bentuk sumber inspirasi yang dipilih. Pemilihan sumber tentu diperhitungkan sebagai salah satu image dengan mengambil sumber inspirasi lambing kota, wilayah, cerita-cerita mitos, dan lain sebagainya. Ciri khas inilah yang membuat suvenir menjadi berharga.
Budaya sebagai sumber inspirasi dalam penciptaan suvenir penting terutama yang berhungan dengan bentuk suvenir berkaitan dengan pariwisata. Pemerintah daerah pada umumnya mengupayakan bentuk-bentuk suvenir yang khas daerahnya. Surabaya memiliki banyak artefak budaya yang dapat dieksplorasi sebagai sumber inspirasi pembentukan barang suvenir. Peninggalan yang sifatnya masa lampau seperti artefak Kerajaan Majapait, bahkan cerita Sura dan Baya yang melegenda sebagai mitos yang akrap ditelinga masyarakat Surabaya sebagai cerita awal munculnya kota Surabaya. Bentuk-bentuk itu dapat dieksplorasi dengan media bahan yang telah dipilih sebagai bahan pembuat suvenir. Kegiatan pariwisata di Surabaya sebagai bentuk upaya pemerintah daerah dalam menggalakan kunjungan wisata. Wisatawan menginginkan bentuk kenangan yang berkhas Surabaya. Dengan demikian diperlukan upaya-upaya eksplorasi bentuk-bentuk simbol umum yang dapat memberikan image pada wisatawan tentang Surabaya. Hal ini sesuai dengan program pemerintah tentang upaya percepatan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.
Bentuk-bentuk lain tentu juga menjadi pertimbanagn manakala sebuah suvenir dipesan dengan desain dari pemesan seperti logo pertamina, logo sebuah merk dagang tertentu, dan lain sebagainya. Simbol itu kemudian digarap dengan daya kreatifitas seorang pembuat suvenir sehingga memenuhi kreteria yang diinginkan konsumen. Lain lagi ketika suvenir itu dibentuk bukan atas permintaan dari para pemesan yakni suvenir yang ciptakan dari kreasi sendiri yang berinpirasi dari angan-angan yang tidak begitu jelas tetapi karakter bahan lebih ditonjolkan. Jika suvenir itu diproduksi secara masal dalam suatu desa atau wilayah, maka jenis inipun lambat laun menjadi ciri khas daerah itu. Oleh karena itu simbol yang ada di sebuah wilayah dapat ditentukan dari seberapa besar nelai kepentingan dan impresi yang dimunculkan dan simbol, artefak maupun hasil dari angan-angan itu.
D. Fungsi Suvenir
Kombinasi pemilihan bahan dan pemilihan sumber inspirasi sangat penting dalam membekali anak didik dalam memahami pada suvenir yang dibuat dengan tujuan tertentu. Artefak dan simbol wilayah adalah penting sebagai dasar pembentukan suvenir yang dikonsumsi oleh para wisatawan, tamu Negara, atau tamu pribadi yang sengaja berkunjung. OLeh karena itu bentuk selalu berubah sesuai dengan kebutuhan. Tujuan dibuat suvenir pada umumnya di peruntukkan:
Suvenir pemenuh kebutuhan pariwisata
Suvenir untuk kebutuhan acara pernikahan
Suvenir untuk kebutuhan acara peresmian
Suvenir untuk acara promosi
Suvenir untuk acara kunjungan
Suvenir untuk acara pertemuan ilmiah
Suvenir untuk ulang tahun
Dan lain sebagainya.
Kebutuhan suvenir untuk pariwisata di beberapa wilayah tujuan kunjungan wisata telah hadir berbagai bentuk suvenir. Bahan dan bentuknya telah beraneka ragam, seperti berbahan kerang, kayu, logam, bahkan testile seperti kaos oblong dan lain sebagainya. Mereka menawarkan berbagai suvenir ini untuk dikonsumsi wisatawan yang berkunjung di sana. Suvenir yang sering menjadi primadona oleh para pengrajin adalah suvenir yang dipakai dalam upacara pernikahan. Suvenir ini memiliki pangsa yang luar biasa sebab pada bulan-bulan tertentu pada masyarakat Jawa misalnya banyak acara pernikahan yang memerlukan suvenir. Sentra-sentra industri suvenir pada bulan tertentu itu banyak diserbu oleh para pasangan muda yang akan menyelenggarakan pernikahan. Hanya sayangnya beberapa tahun ini produk-produk Cina mendominasi dipasar Indonesia dengan harga yang relative murah dan berteknologi tinggi seperti “ceklikan kuku”, sisir dan kaca, bola berlampu dan lain sebagainya, sehingga produk lokal mengalami penurunan omset produksi.
Untuk acara peresmian, promosi, pertemuan ilmiah, dan lain sebagainya tentu menggunakan bentuk yang sesuai dengan program kegiatan itu. Oleh karena itu bentuknya mengikuti apa yang sedang di upacarakan. Suvenir seperti ini juga jumlah dan macam bahannnya bervariasi, namun karena untuk pemenuhan modernisasi sebuah promosi, maka umumnya menggunakan material yang lebih modern seperti logam, resin bening dan lain sebagainya. Nilai luxurious dikedepankan sebagai image yang baik untuk mengangkat produk yang sedang dipromosikan.
E. Teknik Produksi
Teknik Produksi dalam membuat suvenir mengikuti produk seperti apa yang akan dibuat, bahan apa, dan finishing seperti apa. Oleh karena produk suvenir umumnya berukuran kecil, mudah dibawa, dan jumlahnya banyak, maka perlu peralatan yang tidak saja mengandalkan kehalusan ketrampilan tangan, namun agar ukuran dan stabilisasi bentuk tercapai maka upaya modernisasi dengan percepatan produksi, oleh karenaya upaya pembentukan dengan mesin dilakukan. Hasil akhir sentuhan tangan perlu dikedepankan terutama untuk produk suvenir yang memiliki keunikan terutama pada karakter pada ketrampilan tangan. Pengetahuan dan pemahaman produksi dalam pendidikan ditekankan pada system yang sederhana dan mudah, tidak sulit dan terjangkau. Bagi anak didik, bentuk-bentuk yang sederhana itu sebagai upaya untuk mamancing kreatifitas. Pada umumnya kreatifitas dalam persoalan produksi akan terbentuk ketika telah menemui berbagai persoalan pekerjaan yang mengharuskan pada penyelesaian tepat waktu, tepat kualitas, dan tepat management.
Perjalanan penciptaan diawali dari pemilihan bahan, sumber inspirasi, sketsa, detail gambar, perwujudan, finishing, dan pemasaran adalah hal-hal yang saling berkaitan. Pengetahuan ini sangat penting, sebab dalam produksi harus berimbang dengan bagaimana kesediaan bahan, dan kemampuan pasar menerima produk suvenir itu. Suvenir akan berhasil apabila terlah ada wujud sesuai dengan kaidah desain yang ada, apalagi jika telah laku dijual. Pengetahuan tentang urusan memproduksi dan berjualan, selanjutnya dapat membekali anak didik menjadi seorang entrepreneur dalam bidang pembuatan seni kriya, terkhusus pada bisnis pembuatan suvenir. Dengan demikian kreatifitas mereka terbangkitkan yang akan memberi efek eksplorasi pada tindakan lain yang lebih bermanfaat.
Kegiatan memancing kreatifitas adalah bagian dari kewirausahaan, produktifitas, dan upaya managerial yang baik akan membentuk sebuah usaha yang madiri. Kemandiriannya akan ditentukan oleh kesetabilan berproduksi dan bagaimana upaya memasarkan produk. Umumnya mereka menemui peningkatan yang luar biasa, namun kurangnya kegigihan dan pengaturan proses produksi maka mereka mulai bosan, kualitas turun, dan akhirnya bangkrut. Apalagi menggunakan system management yang ala kadarnya pastilah tidak akan bertahan lama. Oleh karena itu, ada dua usaha yang harus dipertahankan yakni upaya ke luar dan upaya ke dalam. Upaya ke luar adalah bagimana menjaga para pelanggan untuk terus menggunakan produknya. Dan upaya ke dalam bagaimana meningkatkan produktifitas yang berkaitan dengan supplier, tenaga kerja, dan “tetek bengek” persoalan yang ada dalam system produksi yang sering memusingkan kepala. Belum lagi jika ada pelanggan yang ngutang, atau karyawan yang ingin pinjam uang, dan lain sebagainya.
F. Sistem Regenerasi
Penulis sering dihadapkan pada persoalan regenerasi pada sentra seni kerajinan. Umumnya generasi baru tidak mau melanjutkan usaha orang tuanya, seperti yang terjadi pada industri kerajinan keramik di Godean Sleman Yogyakarta, anak-anak mereka lebih senang bekerja di perkotaan sebagai buruh pabrik tekstile, penjaga toko, buruh bangunan, dan lain sebagainya. Mereka lupa ketika ia sekolah dibiayai dengan seni kerajinan keramik yang dibuat oleh orang tuanya. Ada anggapan usaha orang tuanya “tidak keren”, ndeso, dan tidak modern. Dengan demikian tinggallah orang tua yang renta tetap membentuk seni keramik itu, sementara generasi mudanya pergi ke kota yang belum tentu memiliki prospek yang baik.
Dalam persolan ini, tentu pendidikan yang diupayakan terhadap anak didik agar mencintai pada hasil kreatifitasnya. Jika telah mencintai kreatifitasnya mereka akan mengupayakan kreatifitas yang lain dalam membentuk jatidirinya. Karakter, keberanian, mengungkapkan kreatifitasnya menjadi point yang penting dalam upaya menumbuhkan keberanian. Memang tidak semudah apa yang ditulis di sini, namun paling tidak upaya membentuk anak didik itu menjadi fokus utama untuk meberikan karakter entrepreneurship sebagai bekal hidup mereka. Nah.. dengan demikian upaya memberikan “pangalembono” terhadap anak didik terus diberikan yang kemudian diberi kritikan yang berupa masukan agar keberanian membuat terus dilakukan tanpa takut mendapat celaan dari guru pengajarnya.
G. Penutup
Sebuah kreatifitas untuk mencipta mencipta souvenir patut memperhitungkan kemungkinan munculnya ide yang original. Tentu kita tidak dapat berharap semua siswa harus menggeluti suvenir sebagai jalan hidupnya, namun pembuatan suvenir sebagai upaya memancing kreatifitas siswa untuk berbuat sesuatu yang bermanfaat dan bernilai seni. Pola pikir untuk membuat sebuah barang suvenir perlu pengetahuan bahwa sebuah suvenir memiliki latar belakang dan tujuan ke depan yang luas, yakni dimulai pemilihan bahan, sumber inspirasi, managerial, produksi, sampai pada bagaimana cara pemasaran, dan kreteria apa agar sebuah produk dapat disebut suvenir.
Bagi para guru dipersilahkan untuk mengupayakan pancingan kreatifitas terutama dalam membuat suvenir yang baik dan benar. Dalam kesempatan ini teman-teman guru sekalian akan membentuk sebuah produk berbahan gabus/stereophon, dengan pertimbangan gabus ringan, mudah didapat dan yang penting mudah dibentuk dan difinishing. Oleh karena itu pelaksanaan ini sebagai upaya untuk mengeksplorasi bentuk. Sementara sumber inspirasi dipersilahkan dapat mengakomodasi dari bentuk-bentuk artefak yang ada, symbol yang ada atau bahkan kreatifitas masing-masing. Produk yang dapat pula dilihat dari fungsinya seperti tempat pensil, asbak, tempat kunci dan lain sebagainya.
Demikian jika ada kekurangan penulis mohon maaf, terima kasih….

Rabu, 29 April 2009

INDUSTRI SENI KRIYA SEBAGAI MEDIA PERCEPATAN KESEJAHTERAAN EKONOMI KERAKYATAN[1]

INDUSTRI SENI KRIYA
SEBAGAI MEDIA PERCEPATAN KESEJAHTERAAN EKONOMI KERAKYATAN[1]
Dr. Timbul Raharjo, M. Hum.


A. Pendahuluan
Tampak judul di atas kental dengan nuansa ekonomi, namun penulis bukanlah seorang ekonom. Penulis adalah seorang kriyawan yang mencoba melihat sisi seni kriya dari perspektif ekonomi yang ternyata mampu mengangkat derajat perekonomian masyarakat perajin di beberapa wilayah Indonesia. Agar tidak salah tafsir dalam persoalan ini penulis menyebut dengan industri seni kriya. Oleh karena ada penambahan kata “industri”, maka seni kriya tidak lagi sebuah masterpiece, namun telah tereproduksi menjadi produk massal yang sering disebut dengan seni kerajinan. Sebab, seni kriya adalah sebuah karya yang diciptakan sebagai karya seorang kriyawan yang orisinal, kreatif, dan inovatif. Karya itu berdiri sebagai sebuah karya yang tiada duanya dan mampu memberikan sebuah produk baru sebagai karya seni kriya.
Tentu, hal ini menarik perhatian para pemerhati seni kriya. Apalagi jika teringat wajah kriyawan yang sering mengernyitkan jidat ketika hasil karyanya direproduksi para perajin seni kerajinan. Mereka gusar, marah, dan penuh segudang kejengkelan ketika mengetahui karya seni kriyanya diproduksi oleh perajin tanpa permisi. Terjadilah pertentangan antara kreativitas kriyawan dalam membuat karya dan kreativitas perajin dalam menjiplak seni kriya itu. Pertentangan itu terjadi diakibatkan kurangnya pengetahuan tata krama berbisnis di antara para perajin. Mereka menganggap persoalan karya kriya baru yang diciptakan kriyawan tidak memiliki nilai, karena beberapa perajin tidak pernah memikirkan betapa mahalnya sebuah ide kreativitas.
Pada beberapa tahun belakangan ini pemerintah menggalakkan apa yang disebut seni kreatif. Industri seni kreatif tersebut terus dipompa dengan harapan bahwa seni kreatif mampu memberikan inspirasi baru dalam persaingan global. Sebab, pada era global, ketika kreativitas membuat produk baru secara ekonomis dapat diterima masyarakat konsumen, maka daya saingnya semakin kuat. Dengan demikian, selanjutnya secara makro dapat membentuk ekonomi kreatif yang merupakan wujud dari upaya mencari titik temu pembangunan ekonomi masyarakat yang berkelanjutan melalui aspek kreativitas. Terbentuk pula suatu kelestarian iklim perekonomian yang berdaya saing tinggi, didukung cadangan sumber daya yang terbarukan dan tepat guna[2]. Banyak negara maju hanya mengandalkan kreativitasnya saja, seperti Jepang dan Korea. Dengan keterbatasan sumber daya alam namun karena kreativitasnya tetap mampu mengolah bahan yang didatangkan dari luar negaranya menjadi produk berdaya saing dan berteknologi tinggi. Nah, mampukah seni kriya sebagai bagian lahan kreativitas budaya bangsa Indonesia dapat dieksplorasi para kriyawan? Sesungguhnya juga dapat menjadi sebuah wilayah yang subur untuk meningkatkan daya saing bangsa Indonesia di mata dunia. Bukankah industri seni kriya saat ini mampu memberi nilai ekonomis dan banyak menyerap tenaga kerja?

B. Keadaan Dunia Seni Kriya
Seni kriya memiliki nilai artistik yang tinggi karena olah keterampilan tangan manusia. Olah seni itu umumnya terinspirasi atas kekayaan hasil seni dan budaya bangsa. Sebagai sebuah karakter budaya bangsa yang juga menggali sumber daya alam dan dipadu sumber daya manusianya, maka seni kriya memiliki aspek etnisitas yang mampu memberikan nuansa Indonesia. Aspek etnisitas itu terpancar dari keunikan eksplorasi seni tradisi Nusantara dan karakter bahan baku yang ada di setiap wilayah Indonesia. Perpaduan itulah yang menjadi menonjol pada pameran tentang aksesoris rumah dan furniture di Madrid beberapa bulan lalu. Memang, menjadi berbeda jika dibandingkan dengan hasil produk China, Vietnam, maupun negara Asia lainnya. Ciri khas Bali, Yogyakarta, maupun Lombok memberikan aksen ketertarikan tersendiri bagi para konsumen di Eropa.[3]
Pada tataran pendidikan maupun pemerintahan, kata “seni kriya” sangat dikenal untuk menyebut produk seni yang adiluhung hasil gubahan seni budaya bangsa. Para kreator seni kriya adalah sebagai kriyawan-kriyawan yang mampu memberikan inovasi baru terhadap perkembangan seni kriya Indonesia. Pada kenyataannya justru sering tidak mendapat tempat yang baik ketika karya yang dihasilkan tidak lagi menjadi karya kriya. Mereka merasa hasil kreativitasnya terenggut arus perubahan industrialisasi seni yang mengakibatkan seni kriya menjadi produk seni kerajinan. Seni kerajinan sangat mengikuti perubahan pasar sehingga jika produk yang dilempar ke pasar memiliki daya jual yang baik, maka para perajin akan sekuat tenaga mereproduksinya. Nah, ini menjadi sebuah persoalan bagi sebagian kriyawan. Memang, di antara mereka menjadi khawatir sebab mereka (kriyawan) berusaha mencari inovasi dan kreativitas yang cukup lama dalam proses penciptaannya. Namun dengan serta-merta dicomot sebagai model atau contoh bagi para pengusaha industri seni kerajinan. Inilah yang mengakibatkan beberapa kriyawan mandeg kreativitasnya.
Terdapat dua tujuan dalam penciptaan seni kriya, yaitu sebagai barang yang dibuat atas dasar kepentingan ekspresi pribadi dan seni kriya yang diciptakan atas dasar keperluan ekonomis. Keduanya diciptakan secara penuh perhatian dengan tujuan ke depan, mungkin hanya sebagai koleksi pribadi atau sebagai barang yang siap dijual: sebagai barang pemenuh pasar. Kriyawan-kriyawan justru muncul kreativitasnya untuk mau berkarya ketika karya yang dihasilkan memiliki daya tawar yang baik. Daya tawar itu akan bermuara pada medan transaksi baik secara langsung atau tidak langsung berupa tindakan ekonomis. Oleh karena itu, kriyawan yang mendasarkan pada tataran kesenimanannya sering tidak tahan ketika persoalan ekonomi menimpa dirinya. Namun, kriyawan yang juga memikirkan bagaimana mekanisme produksi yang kreatif dan berusaha menelurkan reproduksi yang baik pula, maka kriyawan semacam ini akan selalu kreatif mencari peluang bagi produknya agar dapat diterima pasar. Adakalanya dengan kreativitasnya malah menciptakan produk seni kriya yang mampu mengarahkan pasar atau konsumen mengikuti arah perkembangan seni kriya kreasi baru itu. Bukankah karya seni lain pun akan selalu hidup jika ada penyangga yang dapat memberikan keleluasaan berkreasi agar kedua arah yakni antara produktivitas atas hasil kreativitas mendapatkan peluang atau diterima oleh pihak lain sebagai pengguna atau penikmat. Seorang kriyawan yang mampu membentuk karyanya diterima penikmat sebagai barang seni yang memiliki nilai tinggi, maka sang kriyawan tersebut telah mampu memberikan arah perubahan atas arus pasar yang sejalan dengannya.
Namun persoalan yang sering muncul adalah keengganan kriyawan untuk berkarya kriya karena persoalan dijiplak atau desainnya diproduksi orang lain. Seorang kriyawan yang memiliki talenta tinggi dalam menciptakan seni kriya dapat membuat pengguna, penikmat, atau pasar mengikuti gerak kreativitas itu. Hanya saja, beberapa kriyawan belum dapat memanfaatkan peluang tersebut. Hal ini disebabkan persoalan mindset dalam diri mereka justru berpikir tidak ada persoalan jika menciptakan karya yang sesuai imajinasinya. Hanya saja, bagaimana mekanisme keberlangsungan kreativitas itu sehingga dapat terus terjaga? Belum banyak juga kriyawan yang menguasai cara berproduksi yang baik serta cara memasarkannya. Hal ini memerlukan manajemen yang baik, didukung karakter kriyawan tersebut agar mau menjadi entrepreneur yang baik. Tentu, dalam hal ini, tidak saja diperlukan bagaimana membuat produk seni kriya yang baik, namun juga bagaimana menjalankan mekanisme proses reproduksi dan memasarkan hasil produknya. Itulah hal yang juga sangat penting.
Sebagai seorang kriyawan maka tinggal memilih jalur yang akan dilalui. Akankah memilih jalur seni kriya sebagai ungkapan jiwa kriyawan atau seni kriya sebagai produk yang mengabdi pada pasar? Jalur yang utama, jika mengikuti program pemerintah tentang seni kreatif maka memiliki peluang yang baik manakala sebuah kreativitas dapat diorganisasi menjadi badan usaha yang bergerak dalam pemenuhan desain baru atau ide baru seni kriya yang dapat dimanfaatkan oleh para pengusaha seni kerajinan. Tentu legalitas desain yang diciptakan akan mendapatkan hak sebagai desain ciptaan kriyawan karena didaftarkan ke badan yang mengurusi hak atas kekayaan intelektual (HAKI) yang meliputi hak cipta, hak merk, dan hak paten[4].

C. Keadaan Dunia Seni Kerajinan
Seni kerajinan merupakan bentuk kegiatan berkreasi masyarakat. Jika dalam sebuah wilayah terdapat seni kerajinan yang tumbuh dan berkembang sebagai bentuk kegiatan mata pencaharian, maka wilayah itu disebut dengan sentra seni kerajinan. Para penduduknya menggantungkan hidupnya dari membuat seni kerajinan yang banyak mengandalkan keterampilan tangan. Keahlian itu umumnya didapat dari peninggalan warisan orang tua mereka yang kemudian dikembangkan sebagai bagian penyesuaian dengan gerak pertumbuhan dan perubahan zaman. Bagi sentra industri seni kerajinan yang berkembang dapat dipastikan memiliki pelanggan atau konsumen yang baik. Jika produk seni kerajinan itu semakin laku, maka kegiatan produksi volumenya semakin meningkat. Terjadi sebuah mekanisme sirkulasi proses produksi yang kait-mengait sehingga terjadi sinergisme yang satu sama lain saling membutuhkan.
Pada beberapa tahun ini pemerintah menamai sinergisme itu sebagai klaster. Klaster sebuah sentra seni kerajinan adalah bentuk kegiatan yang saling mendukung secara keseluruhan dalam sebuah sentra seni kerajinan guna mencapai percepatan ekonomi kerakyatan. Keserasian antara peran pemerintah, perajin, dan konsumen dalam membangun sarana pembangunan infrastruktur, mekanisme perizinan, kesediaan bahan, transportasi, keamanan, dan agen-agen pemasar bergerak searah agar mencapai tujuan yang sama.
Sinergisme tersebut menjadi kesepakatan yang diatur bersama dalam mengembangkan sentra industri seni kerajinan. Hal ini diupayakan karena perajin yang sebagian merangkap sebagai pengusaha seni kerajinan umumnya susah diajak kerjasama. Mereka saling menutup diri, yang mengakibatkan tidak adanya komunikasi di antara para perajin, sehingga akhirnya terjadi persaingan tidak sehat. Saling curiga, menurunkan harga, menyerobot desain baru, menjelekkan lawan usaha dan seterusnya, sehingga tidak jarang terjadi perselisihan di antara mereka. Upaya-upaya sinergisme sebagai bentuk perwujudan kerjasama yang saling membutuhkan terus diupayakan. Tata kelolanya dapat di-sharing-kan secara bersama dalam sebuah bentuk kerjasama yang saling menguntungkan.
Namun upaya itu belumlah mendapatkan hasil yang maksimal. Di beberapa daerah masih terjadi persoalan yang cukup pelik, bahkan beberapa sentra seni kerajinan mulai surut, seperti kerajinan cor kuningan di Juwana Pati Jawa Tengah yang konon harga batangannya lebih laku daripada harga sebuah seni kerajinan. Maka, mereka pun mencetak bahan rongsok menjadi batangan-batangan logam kuningan untuk diekspor yang ternyata lebih menguntungkan. Juga masalah bahan baku kayu untuk keperluan permebelan masih menjadi persoalan, meskipun beberapa wilayah seperti di Klaten dan Solo dengan Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (ASMINDO) Surakarta telah membuat depo bahan baku yang didatangkan dari luar daerah. Namun masih terganjal mekanisme suplai yang memang rumit: transportasinya mahal, adanya pungli aparat dan para preman, dan perizinan yang serba duit[5]. Kemudian adanya kenyataan tangisan para perajin keramik di Banjarnegara yang tidak dapat melakukan glasir karena bahan bakar minyak maupun gas semakin tidak balance antara ongkos produksi dengan harga jualnya. Mereka sebagian kembali membakar dengan bahan bakar kayu yang suhu panasnya kurang stabil serta tidak cocok untuk membakar glasir.
Padahal, sebuah wilayah sentra seni kerajinan telah menjadi magnit bagi sebagian masyarakat yang ingin mengembangkan usaha kerajinannya. Sebab, keberadaan sentra tentu telah diketahui para pembeli seni kerajinan. Sebagai contoh, seni kerajinan keramik Kasongan misalnya. Sentra keramik ini telah banyak dilirik dan dijajah para pedagang seni kerajinan dari wilayah luar Kasongan meskipun produk yang dijajakan bukan keramik. Dan ternyata tetap laku. Para pembeli pada kenyataannya berpikir ulang untuk tidak hanya membeli kerajinan keramik, namun juga seni kerajinan lain yang ada di Kasongan. Sebab pedagang seni kerajinan mancanegara itu terdiri dari retailer dan wholesaler. Umumnya, retailer melakukan pembelanjaan lebih bervariatif yang banyak itemnya, hal ini untuk keperluan penjualan dalam lokasi art shop yang ia miliki saja. Berbeda dengan wholesaler yang membeli dengan jumlah banyak namun itemnya sedikit. Dalam proses pembelanjaan pun seorang retailer harus mengumpulkan barang belanjaannya dalam satu lokasi untuk konsolidasi. Sementara wholesaler lebih banyak melakukan pengiriman pada satu perajin yang mengerjakan dalam item terbatas tersebut.
Memang, sebuah sentra industri umumnya lahir dari kunjungan wisatawan yang tertarik dengan produk yang telah ada. Kemudian mereka membeli secara langsung sebagai oleh-oleh. Belakangan, setelah dirasa produknya memiliki daya jual yang baik, maka beberapa pembeli mengupayakan sebuah bisnis yang saling menguntungkan dalam sebuah pembelian yang relatif besar. Oleh karena itu, hasil kerajinan yang semula diperuntukkan bagi pariwisata kemudian ber-order banyak, maka sentra itu juga lebih banyak memenuhi dunia bisnis seni kerajinan. Ada juga yang secara sadar membentuk sebuah perusahaan dengan cara merencanakan sebuah proses produksi yang baik dan sistem pemasaran yang gencar. Bahkan ada juga perusahaan trading yang hanya menangani pemasaran saja tanpa memproduksi, melakukan collecting produk dari perajin, menata dokumen pengiriman, dan melakukan transaksi pembayaran langsung dengan para buyer. Hal demikian cukup menjamur terutama pada perusahaan yang merangkap sebagai shiping company dan agen yang mirip dengan trader.


D. Industri Seni Kriya yang Berkembang di Indonesia
Jika membicarakan persoalan industri pasti di benak kita kemudian masuk pada pemikiran yang berkaitan dengan teknologi modern: pabrik yang mesinnya canggih maupun perusahaan yang menggunakan alat permesinan, seperti pabrik besi-baja, otomotif, dan elektronik. Pada dasarnya terdapat apa yang disebut dengan industri hilir, yakni memproduksi barang yang siap dilempar ke enduser dan industri hulu yang banyak membuat barang baku dan bahan penolong. Namun, ada pula industri yang jauh dari urusan permesinan yakni industri jasa seperti perhotelan, pariwisata, dan lainnya[6]. Dalam beberapa persoalan yang berkaitan dengan seni kerajinan yang mengutamakan kerja tangan, ada yang menyebut dengan industri pedesaan sebab merupakan perkembangan sebuah kegiatan masyarakat pedesaan dalam membuat peralatan rumah tangga atau barang keperluan hidup. Awalnya, mereka membuat produk yang sederhana yang usefull untuk dikonsumsi sebagai barang kebutuhan rumah tangga (houseware). Lagi-lagi karena desakan modernisasi maka peralatan pabrikan oleh industri besar yang menggunakan mesin membuat industri pedesaan tersisih hingga perajinnya kehilangan pekerjaan. Hal ini juga disebabkan karena konsumen lebih suka mengonsumsi barang pabrikan yang konon relatif praktis, ringan, lebih bergengsi, dan dikemas secara menarik. Oleh karena itu, produk tradisional masyarakat industri pedesaan itu kemudian diupayakan untuk dapat memiliki nilai yang lebih daripada produk pabrikan, seperti penambahan aspek nilai seni pada produk kerajinan. Kerajinan pun tidak lagi berfungsi sebagai alat dapur, namun menjadi barang home accessories atau barang sebagai penghias ruang interior rumah tinggal. Aspek desain pun diperbaiki dan cara produksinya menggunakan peralatan semi manual. Oleh karena nilai kerja tanganlah yang diutamakan, maka peralatan mesin hanya dipakai menangani proses awal, sementara pada proses akhir nilai sentuhan tangannya tetap mempunyai ciri khas. Hal inilah yang ternyata mampu bersaing di mancanegara karena aspek etnisitasnya yang khas. Dan untuk industri besar beberapa saat ini bangsa kita masih menjadi sasaran pasar potensial terbesar di Asia Tenggara.
Pameran Inacraft 2009 di Jakarta Convention Center Senayan adalah sebuah pameran khusus industri seni kerajinan terbesar di Indonesia terutama untuk konsumsi dalam negeri atau pasar lokal. Di saat krisis ekonomi global seperti saat ini, adanya pameran Inacraft sangat bermanfaat untuk menyambung hidup di tengah redupnya pasar internasional. Kita tahu, terjadi penurunan ekspor seni kerajinan yang diperkirakan mencapai 75% sampai semester pertama tahun 2009. Pameran yang dibuka Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 22 April 2009 itu mengkampanyekan cinta Indonesia yakni dengan memberikan ajakan meningkatkan apresiasi dan kebanggaan menggunakan produk nasional. Kampanye cinta Indonesia itu dengan tema “100% Cinta Indonesia” sebab ternyata industri seni kerajinan nasional memang memberi kontribusi relatif besar, yakni 30% dari total produk industri kreatif di Indonesia. Melibatkan sekitar 700.000 Usaha Kecil Menengah (UKM), keberadaan industri seni kerajinan telah menyerap 1,8 juta tenaga kerja[7]. Pameran itu setidaknya memberikan acuan potret perkembangan seni kerajinan di Indonesia.
Industri seni kerajinan yang berkembang di Indonesia memberikan kontribusi yang signifikan pada pertumbuhan perekonomian nasional. Bahkan industri ini menyumbang 6,3% dari produk domestik bruto Indonesia. Perkembangan ini memberikan dukungan bagi pertumbuhan ekonomi yang berbasis kerakyatan dan dapat memberi peluang untuk terciptanya usaha baru yang dapat menyerap tenaga kerja. Untuk mengoptimalkan pertumbuhan seni kerajinan maka pemerintah telah membuka kran yang lebar pada akses permodalan. Terlihat pada upaya pemberian kredit lunak tanpa agunan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang dikucurkan pada para perajin sebagai binaannya. Fasilitas pemerintah melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR) diharapkan dimanfaatkan secara optimal. Konon, tahun 2009 alokasi anggaran KUR mencapai 20 triliun. Upaya itu sebagai bagian untuk dapat memberikan peluang yang lebar bagi pertumbuhan seni kerajinan.
Dalam pembicaraan tentang industri seni kriya marilah kita coba melihat perkembangan dari wilayah Yogyakarta. Yogyakarta dikenal dengan produk seni kerajinan yang dapat pula dijadikan tolok ukur perkembangan seni kriya di Indonesia, baik kriya sebagai karya seni maupun seni kerajinan pemenuh kebutuhan pasar[8]. Pertumbuhan dan perubahannya selalu dinamis. Terdapat sentra-sentra industri seni kerajinan yang berkembang yakni sentra seni kerajinan keramik Kasongan, Pundong, dan beberapa sentra seni kerajinan keramik lainnya. Ada pula sentra industri berbahan kulit tersamak dan perkamen yang berkembang di Manding, kulit ikan pari di Sleman, wayang kulit Genteng dan Pocong di Imogiri. Industri seni kerajinan perak di Kotagede, cor logam aluminium-kuningan di Gunung Sempu. batik kayu di Krebet Pajangan Bantul, topeng di Putat Gunung Kidul, tenun di Gamplong Sleman, dan lain sebagainya. Sentra itu terbentuk dari keunikan produk yang telah ada berkat keterampilan nenek moyang mereka. Bentuk-bentuk seni tradisi yang berkembang mendapatkan sentuhan desain yang menyesuaikan perkembangan zaman sehingga menjadikan sentra tersebut dapat berkembang cukup pesat.
Namun demikian, terjadi pasang-surut pada beberapa sentra industri seni kerajinan yang berkembang di Yogyakarta. Pada saat krisis ekonomi pada tahun 1998, jenis industri ini sebagian besar memiliki daya saing luar biasa. Bahan yang didapat adalah dari sumber daya alam lokal Indonesia, didukung dengan jumlah tenaga kerja dan keterampilan tangan perajin yang mampu membentuk sebuah kawasan ekonomi dapat bertahan bahkan meningkat di saat krisis. Namun, pada saatnya sebuah usaha tentu tetap mengalami surut seperti ketika krisis finansial global 2009 saat ini. Krisis ini bermula dari Amerika yang sangat berdampak pada industri seni kerajinan. Hal ini dikarenakan hampir 80% produk kerajinan diekspor ke mancanegara. Dengan melemahnya daya beli masyarakat internasional, maka dampaknya sangat terasa pada tahun 2009 ini. Diharapkan pada tahun 2010 nanti keadaan akan lebih baik dan dapat memberikan keleluasaan pasar ekspor seni kerajinan dari Indonesia.
Industri seni kerajinan menjadi tumpuhan kekuatan ekonomi masyarakat, seperti apa yang terjadi di wilayah Kabupaten Bantul. Kabupaten ini telah dikenal sebagai satu-satunya tempat diproduksinya barang seni kerajinan yang banyak menghiasi galeri di beberapa kota besar di dalam maupun di mancanegera. Hampir 20% penduduknya menggantungkan hidup dengan menggarap seni kerajinan. Memang, Bantul memiliki kekuatan penting dalam dunia seni kerajinan di wilayah Yogyakarta bahkan Indonesia. Barangkali benar jika Bantul memiliki predikat lain yakni the Mekkah of kriya Indonesia is Bantul. Industri seni kerajinannya berkembang hampir di setiap kelurahan karena terdapat perajin-perajin yang siap mengerjakan order yang datang.

E. Penutup
Industri seni kriya pada dasarnya memiliki peluang yang baik dalam meraih kesempatan berkembang di tengah pasar ekspor. Hubungan antara produsen dan konsumen sebenarnya hanya berhenti sesaat di saat krisis finansial global 2009 ini. Telah terbukti sector ini banyak memberikan pengaruh ekonomis terhadap masyarakat pengrajin. Hal inilah yang diharapkan menjadi salah satu bentuk kegiatan kreatif yang dapat memberikan nilai tambah pada kehidupan masyarakat sebagai bentuk ekonomi kerakyatan di Indonesia. Persoalan antara kriyawan dan perajin seni kerajinan sebenarnya juga dapat disinergikan dengan beberapa langkah kemungkinan, yaitu:
Perlunya komunikasi di antara kriyawan dan pengusaha industri seni kerajinan, agar tumbuh sikap saling memerlukan dan menghormati hak maupun kewajiban. Seorang kriyawan yang kreatif akan mencipta produk desain baru, dan perajin pun bersedia memproduksi dalam jumlah banyak. Sementara pengusahanya cenderung mengatur strategi dalam pemasaran.
Membentuk badan usaha yang berkaitan dengan penyediaan ide kreativitas dalam bidang seni kriya atau seni kreatif. Badan ini dikelola dengan manajemen yang baik sehingga hasil idenya dapat dijual kepada para perajin. Hal ini hampir mirip dengan research and development yang dapat mengakomodasi kemauan mengembangkan jenis produk karena adanya ide-ide yang orisinal dan laku jual.
Pemahaman perlunya pengetahuan kriyawan yang tidak saja mempelajari bagaimana menciptakan produk seni kriya yang berorientasi kepuasan batin saja, namun juga dapat mempelajari selera konsumen pada zamannya. Pengetahuan ini penting sebagai bagian mencari ide kecenderungan produk seperti apa yang akan muncul pada tren berikutnya.
Pada situasi krisis global tentu sedikit bertiarap sambil memperbaiki situasi di dalam perusahaan apakah kelemahan kita selama ini. Ekspansi dan investasi mungkin masih jauh dari pemikiran.
Terdapat industri kecil pedesaan yang melibatkan ratusan ribu tenaga kerja yang memiliki potensi reproduksi kerja tangan luar biasa. Industri ini tentu akan menyerap tenaga kerja dan memberikan peluang memperoleh pendapatan dalam hidupnya.
Seni kriya sebagai media percepatan perkembangan seni kerajinan terutama pada suplai desain baru. Industri seni kriya menjadi sangat penting manakala produk baru di era global telah menjadi ujung tombak keberhasilan sebuah produk sehingga dapat diterima pasar.
Mulai menghilangkan manajemen ala kadarnya menjadi manajemen yang profesional. Karena dengan profesionalitas itu akan memberi andil besar dalam pertumbuhan sebuah perusahaan. ***
F. Tambahan Wacana
“Kampanye Cinta Indonesia Bukan Tindakan Proteksi” ulasan berita Pameran Inacraft 2009 di harian Kompas, Kamis 23 April 2009
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Edisi Kedua, (Jakarta: Balai Pustaka)
Mari Elka Pangestu, “Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2009-2025”, makalah disampaikan pada Seminar Nasional bertema “Aksentuasi Triple Helix dalam Realisasi Ekonomi Kreatif” dalam rangka Dies Natalis ISI Yogyakarta ke 24 pada 9 Agustus 2009.
Seperti yang diungkapkan oleh Henk Sechram, seorang buyer berasal dari Belanda dalam sebuah pembicaraan non-formal dengan penulis saat berkunjung di studio penulis, pada 25 Maret 2009 di Kasongan Bantul Yogyakarta.
Timbul Raharjo, “Pasar Global Sedang Gombal”, makalah disampaikan pada diskusi ilmiah yang diselenggarakan Disperindag Provinsi DIY di Hotel Inna Garuda Yogyakarta pada 4 Januari 2008.
_________________, “Yogyakarta sebagai Ikon Perkembangan Seni Kriya di Indonesia”, makalah disampaikan pada acara Diskusi Ilmiah dalam rangka Purna Tugas Prof. Drs. SP. Gustami, S.U. di Gedung Pascasarjana ISI Yogya pada 4 April 2009.
Wahyuntana, ”Pengembangan Kerajinan di Yogyakarta”, makalah disampaikan pada acara persiapan pembukaan Jurusan D-3 Kriya Souvenir FSR ISI Yogyakarta, di Hotel Brongto Yogyakarta pada 28 Juli 2001.



[1]Makalah disampaikan pada acara Seminar Nasional dalam rangka Purna Tugas Prof. Drs. SP. Gustami, S.U. di Institut Seni Indonesia Yogyakarta pada 5 Mei 2009.
[2]Mari Elka Pangestu, “Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2009-2025”, makalah disampaikan pada Seminar Nasional bertema “Aksentuasi Triple Helix dalam Realisasi Ekonomi Kreatif” dalam rangka Dies Natalis ISI Yogyakarta ke 24 pada 9 Agustus 2009.
[3]Seperti yang diungkapkan oleh Henk Sechram, seorang buyer berasal dari Belanda dalam sebuah pembicaraan non-formal dengan penulis saat berkunjung di studio penulis, pada 25 Maret 2009 di Kasongan Bantul Yogyakarta.
[4]Wahyuntana, ”Pengembangan Kerajinan di Yogyakarta”, makalah disampaikan pada acara persiapan pembukaan Jurusan D-3 Kriya Souvenir FSR ISI Yogyakarta, di Hotel Brongto Yogyakarta pada 28 Juli 2001.
[5]Timbul Raharjo, “Pasar Global Sedang Gombal”, makalah disampaikan pada diskusi ilmiah yang diselenggarakan Disperindag Provinsi DIY di Hotel Inna Garuda Yogyakarta pada 4 Januari 2008.
[6]Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Edisi Kedua, (Jakarta: Balai Pustaka), 377.
[7]“Kampanye Cinta Indonesia Bukan Tindakan Proteksi” ulasan berita Pameran Inacraft 2009 di harian Kompas, Kamis 23 April 2009.
[8]Timbul Raharjo, “Yogyakarta sebagai Ikon Perkembangan Seni Kriya di Indonesia”, makalah disampaikan pada acara Diskusi Ilmiah dalam rangka Purna Tugas Prof. Drs. SP. Gustami, S.U. di Gedung Pascasarjana ISI Yogya pada 4 April 2009.

Kamis, 05 Februari 2009

Dampak Krisis Global Seni Kerajinan

Dampak Krisis Global Seni Kerajinan
Bentangan harapan untuk menggapai kesejehteraan masa kini begitu kelabu, tahun 2008-2009 merupakan situasi yang jauh dari harapan. Harapan akan pulihnya krisis global pada pertengahan 2009 dirasa makin sempit. Seni kerajian menjadi tertekan manakala gegeran wacana publik tentang dibatalkannya pameran Madrid Fair 2009 di Spanyol yang konon kabarnya memang nyata. Pada hal sejak pertengahan 2004 Spanyol sebagai salah satu tujuan ekspor seni kerajinan dari Yogyakarta, sehingga pada tahun 2005 mampu menyaingi importer dari negara-negara eropa lainnya. Sunggur fantastis nilai ekspor yang ditunjukan pada ritme pembelanjaan seni kerajinan yang mencapai 3000 USD. Namun apa dikata kesedian ini tetap muncul sebagai komodite publik yang diwacanakan oleh para pembawa berita.
Tetapi apakah benar kondisi dan situasi dunia demikian, jangan-jangan hanya betul pembawa berita itu hanya ingin meraup keuntungan disaat krisis itu. La...wong Amerika sebagai penyebab krisis dan telah disuntik dana yang mencapai 700 biliun USD kok belum bangun ya, sentimen publik atas fluktuasi moneter juga masih kacau, para tamu yang datang ke Yogyakarta juga agak enggan membeli produk yang sembarangan, mereka begitu selektif dan benar-benar perhitungan atas barang kerajinan yang diberinya.
Tetapi yang aneh adalah terjadinya penurunan pada tingkat wholesaler ternyata berbanding terbalik dengan retailer. Banyak pembeli besar yang menurun sementara pembeli yang kecil justru terjadi peningkatan. Ada saran untuk menggali pasar lokal, namun biaya pengiriman ke Batam saja dua kali lebih mahal jika kita bandingkan dengan mengirim ke Australia......hehe aneh ya.

Minggu, 07 Desember 2008

PERAN SENI KRIYA

PERAN SENI KRIYA
DALAM MEMBERI ARAH INOVASI SENI KERAJINAN
DI ERA PERDAGANGAN GLOBAL[1]
Dr. Timbul Raharjo, M. Hum.

A. Pendahuluan
Pada saat berkesempatan berkunjung di pameran internasional Abiente di Frankfurt Jerman 2007 lalu, penulis dikejutkan dengan kenyataan pameran yang agak berbeda penampilannya yakni pada stand milik negara Vietnam. Mereka menyajikan bentuk exhibition yang dikemas apik, berkolaborasi antara kriyawan dan pengusaha seni kerajinan. Padahal pameran tersebut adalah sebuah ajang perdagangan home accessories yang hanya menyajikan produk yang ditawarkan kepada buyer untuk kegiatan ekspor dengan pasar Eropa. Namun, tampaknya Vietnam memiliki kiat yang patut dicontoh untuk menunjukan jati diri para kriyawannya yang memiliki talenta berkreasi dalam menampilkan produk baru. Ada sekitar lima belas kriyawan yang memamerkan hasil karya kriyanya. Layaknya pameran tunggal, masing-masing kriyawan men-display dengan baik pada tiap boot yang mereka tempati, tata lampunya pun baik, juga dilengkap dengan curriculum vitae, foto diri seniman, dan katalog. Penulis mencoba mencari tahu ternyata peran pemerintah Vietnam cukup besar dalam mengolaborasikan antara kriyawan yang kreatif dengan korporasi. Kriyawan menciptakan desain baru dengan prototype-nya dan pihak korporasi berperan sebagai follow up tiap produk yang mendapat respons buyer ketika bertransaksi dan memesan.
Pihak korporasi sebagai penyandang dana tentu saja disubsidi pemerintah Vietnam dalam membiayai dan menciptakan desain baru serta sekaligus mewujudkannya. Antara kriyawan dan pihak korporasi sama-sama mendapatkan keuntungan: kriyawan memperoleh pembagian keuntungan dalam bentuk royalty dan pihak korporasi mendapatkan keuntungan dengan adanya order yang berarti ada pekerjaan dalam usaha mereka. Kriyawan pun dapat mengekspresikan ide-idenya dalam membuat karya, juga menumbuhkan kepercayaan dari para kriyawan bahwa pekerjaan sebagai craft designer merupakan pekerjaan yang menguntungkan. Pihak pemerintah pun juga mendapatkan keuntungan tersendiri, terutama pajak penerimaan negara.
Nilai orisinalitas pada karya seni kriya adalah hasil kreativitas seorang kriyawan dalam menciptakan karya baru dengan menyesuaikan trend pasar yang sedang berkembang. Inovasi baru itu kemudian diproduksi secara massal sebagai barang seni kerajinan. Dengan bentuk kerjasama semacam itu, maka kriyawan dapat juga mempelajari berbagai bentuk produk karya seni kriya baru dari negara lain yang sejenis melalui info dari pihak korporasi, buyer, dan survei ketika ada pameran bersama. Produk buatan dari luar negeri sebagai kompetitor dapat dijadikan bagian sumber inspirasi pembuatan karya baru yang dipakai sebagai dasar penciptaan target pameran tahun berikutnya. Kriyawan pun akhirnya memiliki kepekaan yang baik dalam membaca pasar dari gejala-gejala yang dilihatnya. Di samping itu dapat pula mengombinasikan antara seni tradisi dengan seni modern sehingga membantu para pengrajin seni kerajinan untuk membuat produk yang memenuhi kebutuhan home accessories rumah modern saat ini.[2] Dalam menindaklanjuti pekerjaan produksi, ternyata aspek korporasi memiliki teknologi yang baik dalam membuat produk seni kriya menjadi produk massal guna memenuhi permintaan para buyer untuk diperdagangkan ke negara manca Negara..
Bagaimana dengan di Indonesia? Peran dari berbagai lembaga swasta maupun pemerintah seperti perajin, kriyawan, pemerintah melalui Deperindagkop (Departemen Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi), dan lain sebagainya sangatlah diperlukan. Menurut penulis, bentuk pola kerjasama semacam di negara Vietnam itu sangat mungkin dilakukan di Indonesia, hanya saja sebagian dari pemangku otoritas belum begitu sadar soal pentingnya para kreator seni kriya untuk diberi peluang menampilkan karya kriya dari hasil kreativitas mereka sebagaimana yang telah dilakukan negara Vietnam tersebut. Sungguh suatu kolaborasi yang baik, bagaimana dengan kita? Mampukah seni kriya menjadi komando dalam mengeksplorasi seni kriya baru yang dapat memberikan arah perkembangan bagi seni kerajinan Indonesia secara luas?

B. Seni Kriya
Sejalan dengan perkembangan zaman dan tuntutan masyarakat, seni kriya pun mengalami perubahan dan perkembangan yang signifikan. Bahkan sering tumpang-tindih dengan bidang seni murni dan disain. Penulis mencoba memberi definisi secara umum tentang batasan seni kriya, yaitu sebagai salah satu bentuk produk seni rupa, yang fungsional maupun non-fungsional, dengan mengutamakan pada nilai-nilai dekoratif dan kerja tangan yang mengacu pada nilai craftmanship tinggi. Pada umumnya, aspek estetika dalam seni kriya pun digali dari nilai-nilai tradisi yang bersifat unik. Definisi ini tampaknya memberi kelonggaran pada beberapa jenis produk sehingga bisa menjadi lebih luwes. Semua produk sejenis itu bisa terangkum dalam definisi ini, mulai dari souvenir perkawinan sampai pada jenis arca yang berukuran besar.
Berdasarkan definisi tersebut, maka kajian seni kriya dapat diperhitungkan dalam konteks yang juga luas, tidak hanya diklasifikasikan dari aspek fungsinya saja, tetapi juga aspek lainnya. Tampaknya, kelengkapan jangkauan seni kriya sehingga dapat menjadi lebih luwes dan menyeluruh, juga ditopang oleh keunikan yang muncul dari gerak ornamentasi dan bentuk. Hal tersebut memang memberikan nilai keunikan tersendiri terutama pada karakter setiap karya yang dihasilkan. Aspek estetika dengan tampilan tiga dimensional maupun dua dimensional pun membawa kedalaman, efek, dan bentuk yang secara visual bernilai lebih karena mengandung unsur relief ukiran serta goresan ornamentasi. Hal tersebut masih dapat dikombinasikan dengan adanya kompleksitas teknologi dan aspek material yang ternyata tidak terbatas. Memang, kecenderungan yang terjadi saat ini adalah media bukanlah persoalan signifikan namun aspek idelah yang menjadi panglima dalam menciptakan karya seni kriya. Ide kreatif dan inovatif yang mengangkat isu-isu aktual seni kriya tentu saja menjadi tuntutan dalam mengikuti perubahan zaman.
Eksplorasi terhadap nilai-nilai tradisi pun kemudian menjadi sumber inspirasi tersendiri yang diwujudkan dalam bentuk karya kriya sehingga memiliki unsur artistik luar biasa yang akhirnya dapat diapresiasi sebagai suatu pengembangan baru dalam dunia seni. Wujud akhir yang muncul pun bernilai sangat eksploratif dalam hal bentuk, motif, dan media. Penciptaan suatu karya kriya pun di satu sisi tampak masih ada usaha inovatif yang mengarah pada karya individual. Namun, di sisi lain juga ada usaha untuk mengacu pada unsur-unsur masa lalu yang kemudian diterapkan pada rancangan produk masa kini. Hal inilah yang kini cukup menggejala di kalangan masyarakat kriyawan. Mereka melakukan upaya tersebut karena bertujuan menciptakan produk-produk yang bermuatan lokal atau bercitra tradisional dan berciri khas suatu budaya (bahkan pendalaman) terhadap budaya tertentu. Dalam menciptakan produk seni kriya, tentu saja tidak semuanya dikerjakan oleh tangan-tangan terampil akan tetapi sebagian lainnya dibuat dengan alat bantu (mesin) guna mengatasi masalah dalam pencapaian kuantitas dan kualitas produksi yang tepat dan efektif.
Menurut Gustami, proses penciptaan seni kriya memerlukan daya kreativitas. Pengembaraan jiwa tentu memberi pengalaman batin yang menimbulkan sikap arif dan berbudi luhur serta terpancar pada seni kriya yang diwujudkannya.[3] Daya kreativitas inilah yang ternyata mampu menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Oleh karenanya, pada tahun 1970-an Gustami mencoba untuk sedikit keluar dari patronisasi nilai-nilai tradisi tersebut kemudian memunculkan seni lukis batik. Nilai-nilai yang terkandung dalam seni batik pun memiliki kedalaman dalam hal teknologi proses produksi, bentuk, dan simbolisasi motif-motif pada hasil karya seni batik yang dianut masyarakat tertentu. Perubahan itu kemudian tidak lantas memberi efek degradasi terhadap nilai estetikanya, namun justru menjadi sebuah fenomena baru dalam menggali budaya tradisi nusantara. Teknologi membatik untuk mengekspresikan batin yang semula bermedia alat canthing akhirnya menjadi kuas dan menghasilkan goresan-goresan yang tidak beraturan. Inovasi Gustami tersebut ternyata mampu menginspirasi beberapa seniman batik dalam menerapkan cara-cara membuat seni lukis batik. Pada tahun 1980-an pun seni lukis batik menjadi berkembang lebih signifikan lagi.
Di dalam seni terapan, Wiyoso Yudoseputro berpendapat bahwa dalam upaya pengembangan seni kriya sebagai seni terapan masa kini, diharapkan mampu menampilkan nilai-nilai guna baru berdasarkan daya imajinasi para kriyawan. Kecenderungan untuk memandang produk kriya sebagai hasil produksi massal dan sebagai karya kriya ulang sering mengecilkan arti dari kandungan nilai ekspresi pribadi sebagaimana karya seni terapan.[4] Kaitannya dengan seni kriya sebagai seni terapan dan ekspresi para perupa, maka munculnya perkembangan seni kriya pun tak dapat lepas dari semangat karya-karya pendahulunya, karya-karya yang menjadi masterpiece tiap zaman. Dalam konteks ini, upaya pengaruh dan mempengaruhi antarpertumbuhan dan perkembangan seni kriya seringkali tak dapat dihindari. Artinya, antara karya kriya yang satu dengan yang lainnya seringkali ada kemiripan, bisa pada tema atau ide dasar maupun pada persoalan kemasan estetis atau wujud visual. Namun demikian, hasil akhirnya tetap ditentukan pada ciri pribadi setiap senimannya.
Kemiripan antarkarya seni kriya juga sering dipengaruhi oleh adanya teks atau teori perihal seni kriya yang sebelumnya telah ada. Karenanya, karya yang ada ini pun kemudian mempengaruhi secara ideologis penciptaan karya seni kriya selanjutnya. Bentuk-bentuk tipografi karya, misalnya, akan terpengaruh oleh karya seniman atau perupa yang lebih terkenal, yang hidup pada zaman sebelum karya seni kriya bersangkutan lahir. Saling meniru dan mempengaruhi sebagai hal yang dapat memberikan rujukan inspirasi pada karya baru hasil dari gubahan karya lama. Ini bisa dilihat, analoginya dalam ilmu produktivitas perpaduan dan penerapan teknologi canggih yang disebut kaizen, yakni pada jenis produk yang berteknologi canggih dari Jepang, misalnya dalam pembuatan desain motor yang setiap tahun berganti seri dan tipenya dengan perubahan yang tidak signifikan. Aspek perubahan pun dilakukan secara pelan, tidak radikal, dan mempengaruhi konsumen dengan ingatan produk lama bernuansa baru sehingga biaya research and development-nya juga dapat dihemat. Demikian juga pada seni kriya, meskipun banyak juga muncul corak-corak maupun gaya dalam menciptakan karya seni, namun pola penciptaannya ada dua hal, yakni yang pertama kaizen dan kedua inovasi menyeluruh atau penemuan baru. Hasil dari perubahan tersebut tentu menjadi hal yang baru demikian juga hasil dari seni inovasi dengan menciptakan barang yang memang sebelumnya belumlah ada. Maka yang pertama tidak begitu menghiraukan aspek perubahan, namun pada yang kedua sangatlah menitikberatkan pada nilai novelty-nya.
Dalam perkembangannya saat ini, beberapa peristiwa penting yang terjadi di wilayah seni kriya hampir tidak berkaca pada orientasi produk seni yang dikaitkan kebutuhan pasar. Sebagian orang menganggap jika mengikuti pasar maka dirasa bernilai tabu. Apalagi jika hal itu dikomparasikan dengan produk seni lain yang memang banyak menggali produk yang benar-benar disajikan secara murni. Meskipun tidak menutup kemungkinan juga ikut berdesakan dengan mencari peluang pasar dalam bentuk yang disamarkan. Menurut Peter Dormer dalam beberapa evaluasi menyatakan bahwa pada kenyataannya contemporary craft sangat menyatu dengan kegiatan bisnis, namun beberapa orang juga menyatakan bahwa aspek contemporary craft tersebut dapat digolongkan dalam perspektif seni yang murni. Dengan demikian terjadi dua kemungkinan dalam aspek contemporary craft yakni applied dan fine art.[5] Pandangan itu kemudian menjadi perdebatan manakala presentasi karya kriya muncul sebagai karya yang murni, sebab akan segera dikomparasikan dengan produk golongan lain yang sudah menyatakan dirinya sebagai seni murni. Namun demikian, penulis tidak mau terjebak pada definisi dan penggolongan atas seni kriya, seperti ketika membicarakan definisi seni yang selalu mengalami perkembangan baru dan sulit diprediksi. Dalam banyak hal juga sulit dijelaskan karena aspek kreativitas yang selalu berkembang.

C. Seni Kerajinan
Kerajinan adalah suatu hal yang bersifat rajin, mengacu pada kegiatan atau kegetolan yang berwujud barang. Barang tersebut dihasilkan melalui keterampilan tangan. Umumnya, barang kerajinan banyak dikaitkan dengan unsur seni yang kemudian disebut seni kerajinan.[6] Seni kerajinan adalah implementasi dari karya seni kriya yang telah diproduksi secara massal (mass product). Produk massal tersebut disiapkan para perajin. Umumnya, terdapat kelompok-kelompok perajin sebagai home industry yang banyak berkembang di beberapa wilayah Indonesia. Hal ini sebagai bagian kegiatan ekonomi kerakyatan. Oleh pemerintah pun digolongkan sebagai Usaha Kecil Menengah (UKM). Pada krisis moneter 1998 UKM tersebut dianggap sebagai usaha yang dapat bertahan di saat terpaan krisis datang ketika itu.[7] Hal tersebut disebabkan karena UKM, terutama pada seni kerajinan, umumnya berbasis pada bahan dan keterampilan lokal, hanya saja tetap memiliki jangkauan pasar ekspor. Bahan dan tenaga kerjanya relatif murah serta perubahan merosotnya nilai tukar rupiah terhadap uang asing terutama dolar Amerika membuat produk manufaktur berbahan non-impor menjadi primadona dalam bidang ekonomi rakyat dan mampu meraih kesuksesan dalam masa krisis tersebut.
Keterampilan tangan yang spesifik pun dimiliki para perajin yang berkecimpung dalam bidang seni kerajinan yang akhirnya menjadi bentuk usaha home industry itu. Mereka membuat banyak produk dengan mengandalkan keterampilan tangan yang banyak dilakukan sebagai bentuk usaha keluarga. Keahlian dan keterampilan tangan tersebut umumnya didapat sejak lama bahkan turun-temurun. Data Biro Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa sebagian besar usaha kecil itu tidak berbadan hukum serta umumnya pelakunya berpendidikan dasar. Hal ini terlihat bahwa pada tahun 2003 berjumlah 9.774.940 orang atau sekitar 65 persen.[8] Usaha keluarga tersebut kemudian mampu berkembang dengan baik manakala terjadi keseimbangan antara faktor produksi dan pemasarannya. Munculnya sentra seni kerajinan karena adanya pasar yang selalu membutuhkan tersedianya barang-barang seni kerajinan. Dengan demikian seni kerajinan akan tumbuh subur apabila terjadi interaksi antara produksi seni kerajinan dan pasar. Jika salah satu terjadi kemacetan maka sebuah sentra atau usaha itu akan berhenti. Saling membutuhkan menjadi hukum ekonomi yang statis yakni antara demand dan supply. Oleh karena itu, munculnya sentra seni kerajinan pasti dibarengi dengan potensi market-nya.
Seni kerajinan berkembang dengan baik pada beberapa wilayah di Indonesia. Tumbuh dalam sentra-sentra seni kerajinan, seperti sentra seni kerajinan keramik Kasongan, sentra seni kerajinan tenun Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) di Gamplong Sleman, sentra seni kerajinan bunga kering di Jodog Bantul, sentra kerajinan mebel Jepara, sentra kerajinan rotan di Jati Wangi Plumbon Cirebon, Trangsang Klaten, dan lain sebagainya. Sentra-sentra itu memproduksi seni kerajinan yang banyak dikonsumsi konsumen pasar mancanegara. UKM tersebut juga banyak menggali potensi bahan baku dan keterampilan lokal yang dibuat produk seni kerajinan sebagai komoditi ekspor. Wilayah-wilayah itu adalah kantong-kantong ekonomi yang banyak menyerap tenaga kerja. Seperti yang diungkapkan oleh Soeharto Prawirokusumo, bahwa UKM mampu berkembang menjadi usaha yang tangguh dan mandiri serta dapat memperkuat struktur ekonomi nasional dan menyerap banyak tenaga kerja. Hal tersebut merupakan bentuk ekonomi rakyat yang memiliki tantangan besar dan harus diperjuangkan. Tantangan itu pun dipertimbangkan dengan adanya beberapa masalah yang berkembang di dalam tubuh UKM serta di dalam sentra seni kerajinan. Tantangan yang terlihat nyata misalnya dalam hal pendanaan, manajemen, desain, dan pasar.[9]
Memang, persoalan semacam itu sangatlah klasik bagi para perajin. Namun, jika hal itu tidak diperhatikan maka seni kerajinan yang ada akan mengalami penurunan terutama pada era krisis global tahun 2008 ini. Perkembangan pasar ekspor seni kerajinan pada era krisis global mengalami penurunan tajam, berbeda dengan krisis moneter tahun 1998 lalu. Seni kerajinan pada tahun 1998 justru mengalami peningkatan luar biasa, sebab produk seni tersebut dikonsumsi oleh pasar yang sehat, sementara yang sekarat adalah kondisi ekonomi dalam negeri. Namun, sekarang yang sekarat adalah pasar seni kerajinannya. Saat ini, masyarakat Barat dalam hal ini Amerika dan negara-negara Eropa lainnya sedang mengalami tekanan krisis sehingga mereka takut menginvestasikan pada kebutuhan yang sifatnya sekunder. Seni kerajinan termasuk dalam kategori kebutuhan yang bukan pokok. Masyarakat Amerika dan Eropa lebih baik menahan uang dan bersikap pasif. Oleh karena itu maka semua sektor ekonomi di Barat pun berhenti sejenak. Hal demikian tentu saja berpengaruh amat signifikan terhadap kondisi kehidupan seni kerajinan di Indonesia. Terutama perajin yang banyak mengekspor ke Amerika dan Eropa dipastikan kondisinya sangat menurun sebagaimana yang dikatakan Ambar Polah bahwa kondisi tahun 2008 turun sampai 50 persen jika dibandingkan tahun 2007.[10]
Meski begitu, tetap banyak juga muncul perusahaan seni kerajinan yang dikelola secara profesional. Mereka hadir dengan penampilan yang baik dalam melakukan usaha seni kerajinan itu. Perusahaan itu tidak saja dilakukan oleh masyarakat bangsa Indonesia, namun banyak juga Perusahaan Modal Asing (PMA) yang memberi nuansa kompetisi dalam usaha seni kerajinan. Usaha-usaha itu mengalami pertumbuhan yang baik, misalnya pengusaha asing mendirikan usaha di wilayah tertentu. Bahkan sebagian mendirikan usaha melalui orang Indonesia baik sebagai partner, istri, maupun suami. Segala bentuk perijinan pun dilakukan orang Indonesia namun sebagai penggerak utama adalah orang asing itu sendiri. Ia juga memegang kendali.
Biasanya, dalam melakukan usahanya, pengusaha asing memilih secara diam-diam karena sistem perijinan yang bertele-tele dan faktor orang-orang pajak yang sering melakukan pungli dengan cara menakuti akan mendeportasi mereka. Cara tersebut tentu saja membuat pengusaha asing itu enggan menempuh usaha secara benar. Seperti pernyataan Mudrajad Kuncoro bahwa terjadi kerumitan pada aspek perijinan dan garangnya perpajakan, maka tidak sedikit pengusaha asing yang mengecilkan diri (down sizing) menjadi usaha kecil yang tidak terlalu formal.[11] Studi Kuncoro menunjukkan adanya penyalahgunaan lembaga birokrasi, penyuapan, dan banyaknya pungli serta manipulasi data dari para pengusaha atas desakan petugas pajak. Hal itulah yang salah satunya menjadikan kegiatan usaha yang dirintis takut menjadi besar.
Namun demikian, keberadaan pengusaha ekspatriat itu menjadi partner perajin yang menjadi supplier-nya dalam memasarkan produk ke manca negara. Sebagai contoh, di wilayah Kabupaten Bantul Yogyakarta, terkenal dengan produk seni kerajinan yang banyak diperjualbelikan sebagai komoditi ekspor seperti keramik, mebel, anyam, bahan alam, dan lain sebagainya. Wilayah ini memiliki penduduk yang hampir 20 persen melakukan kegiatan membuat seni kerajinan. Hal ini menarik para investor asing yang datang dan ingin mengembangkan usaha di wilayah ini. Oleh karena itu desain-desain baru seni kerajinan selalu muncul dari Bantul dan wilayah ini cukup memiliki reputasi internasional yang baik.
Perkembangan seni kerajinan saat ini telah sampai pada kompetisi antarbangsa. Negara Cina sebagai raksasa ekspor dunia tampaknya telah banyak menguasai kebutuhan harian masyarakat dunia termasuk seni kerajinan. Demikian juga negara Vietnam, Thailand, Filipina, dan Malaysia juga telah menata sistem kerja seni kerajinannya untuk dapat bersaing dengan negara lain. Tentu telah menjadi pertimbangan tersendiri dalam perkembangan seni kerajinan, yakni tidak dapat lepas dari aspek pendekatan seni kriya. Pengembangan secara terus-menerus harus selalu dilakukan sebab persaingan dalam dunia bisnis seni kerajinan dirasa semakin ketat.

D. Perdagangan Seni Kerajinan
Perdagangan seni kerajinan sebetulnya memiliki dua wilayah pasar yakni pasar lokal-nasional dan internasional. Lokal Indonesia umumnya menjangkau pada wilayah-wilayah dimana wilayah tersebut sebagai tujuan wisata serta kota-kota metropolis yang banyak terdapat kehidupan masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah ke atas. Mereka banyak memerlukan home accessories untuk menghias tempat huniannya. Wilayah lokal sebagai tujuan wisata seperti di kota Kuta Denpasar Bali banyak dikunjungi wisatawan asing yang membeli produk untuk kepentingan souvenir mereka. Meskipun dijual secara lokal namun barang tersebut akan menyertai tamu wisata tersebut keluar negeri. Demikian juga wisatawan domestik yang juga mengoleksi barang-barang souvenir dari tempat yang telah mereka kunjungi.
Pada tataran internasional, umumnya kegiatan penjualan dilakukan dalam kuantitas banyak dalam bentuk peti kemas yang terkoordinasi dalam bentuk kegiatan ekspor. Kegiatan ekspor seni kerajinan ini menjangkau negara-negara seperti Belanda, Italia, Spanyol, Perancis, Australia, Kanada, dan negara-negara Karibian. Negara-negara tersebut merupakan pasar dunia yang potensial sebagai negara-negara penentu dalam era globalisasi. Dalam kegiatan penjualan produk ke pasar global tentu tidak lepas dari aturan perdagangan dunia. Era globalisasi itu telah menjadi realitas yang banyak dialami, baik oleh negara, perusahaan, komunitas maupun individu di seluruh belahan dunia. Tentu mereka bersepakat untuk mengatur komitmen bagaimana agar proses perdagangan dunia menjadi lebih baik dan tertata, maka muncullah World Trade Organization (WTO).[12] Aturan-aturan pada perdagangan bebas, membawa konsekuensi logis bagi setiap negara untuk melakukan proteksi diri dari berbagai macam perubahan yang berindikasi membahayakan pada kegiatan perdagangan dalam negeri di masing-masing negara, bahkan sampai pada bahaya environment seperti penyebaran penyakit. Oleh karena itu ada kesepakatan supra negara yang membuat ketentuan dan aturan sehingga memunculkan zona perdagangan seperti Asia Pacific Economic Cooperation (APEC)[13], General Agreement on Tariff and Trade (GATT), dan lainnya. Oleh sebab itu dalam membuat produk yang khusus untuk ekspor tentu harus memenuhi standar-standar agar dapat diterima oleh negara tujuan ekspor atau pasar yang bersangkutan. Para perajin diharuskan memahami tentang sebab-akibat yang memungkinkan timbulnya aturan tersebut. Maka, perajin harus menjaga kualitas terhadap seni kerajinan yang akan dijual di mancanegara. Seperti aturan tentang standar packaging yang kemungkinan mengandung bibit penyakit membahayakan. Negara Kanada sangat ketat dengan aturan fumigasi, yakni International Standard Pycosanitary Measure (ISPM#15) dan juga negara Australia. Tidak jarang seni kerajinan yang dikirim melalui laut berbentuk peti kemas akan kembali sebagai barang impor, bahkan dibakar atau dimusnahkan sebagai barang yang banyak mengandung penyakit karena dikhawatirkan membahayakan masyarakat wilayah negara tujuan.
Aturan dan ketentuan yang muncul di setiap negara membawa konsekuensi terhadap seni kerajinan untuk memenuhi kualitas ekspor. Berbagai ketentuan itu tertuang dalam bentuk dokumen ekspor yang berupa sertifikat fumigasi, Bill of Leading (BL), Certificate of Original (COO), Invoice Packing List, dan ISPM#15 itu sendiri. Dokumen itu harus berada di tangan pembeli sebelum container sampai di pelabuhan yang dituju. Di samping berkas dokumen itu juga yang tidak kalah penting adalah kualitas barang yang mencakup kualitas bahan, pengerjaan, dan ketepatan waktu pengiriman. Kondisi wilayah konsumen tentu saja merupakan negara yang berbeda dengan di Indonesia. Seni kerajinan yang tampaknya baik dipakai di Indonesia belum tentu sama di luar negeri, di mana aspek budayanya berbeda, juga musim, cuaca, dan tren yang berkembang. Dengan demikian dalam memasarkan seni kerajinan harus benar-benar diperhitungkan secara cermat berbagai aspek yang berkaitan dengan kualitas produk seni kerajinan tersebut.
Usaha-usaha memasarkan seni kerajinan pun semestinya dilakukan, yakni melalui internet, pameran-pameran perdagangan yang bertaraf internasional, art shop, dan lain sebagainya. Dalam usaha penjualan tentu menampilkan berbagai aspek yang baik agar profesionalisme pengusaha terlihat, salah satu hal yang penting yaitu tentang karya baru dengan desain baru. Karya baru sebagai bentuk usaha menarik simpati masyarakat konsumen untuk suka kembali lagi dan membeli. Di samping itu komunikasi yang baik terutama bahasa asing sehingga dapat berinteraksi secara jelas. Dengan demikian instrumen untuk memasarkan harus dilakukan dalam keadaan yang komplit sehingga buyer yang akan membeli produk seni kerajinan itu mendapatkan informasi awal yang juga komplit.
Dalam beberapa pameran yang penulis ikuti menunjukkan bahwa persoalan yang berkaitan dengan desain memegang peran yang sangat penting. Belum ada kesadaran di antara para pengusaha soal pentingnya Research and Development (R&D) dalam menggali potensi baru, desain baru, produk baru, dan material baru yang inovatif serta kreatif. Pengusaha masih sibuk dengan saling meniru terhadap barang baru yang lagi laku sehingga dalam beberapa pameran produk mengalami stagnasi yang mengakibatkan buyer tidak tertarik. Mereka juga belum sadar arti pentingnya menggali desain baru dengan mengutamakan tren desain yang berkembang di negara-negara tujuan ekspor. Apalagi pada krisis global saat ini membuat daya beli masyarakat Barat sangat menurun, sementara pasar ekspor seni kerajinan paling banyak yang dituju adalah Amerika dan negara-negara Eropa. Namun demikian, mereka tetap datang ke Indonesia, mereka hanya mau membeli produk-produk yang memiliki nilai jual tinggi. Dengan demikian aspek memperhatikan desain atau produk baru yang dapat menangkap peluang tersebut adalah mutlak.
Perdagangan seni kerajinan memang mengalami pasang dan surut, beberapa kemungkinan untuk dapat berkembang secara kontinyu adalah menciptakan desain baru yang sesuai dengan tren desain. Tren umumnya dimulai dengan hadirnya perubahan mode pakaian dan mode rumah. Jika jeli mengamati akan muncul tren warna, tren bentuk, dan tren bahan. Hal ini hanya dapat tercipta dari kepekaan seorang pengusaha dan kriyawan yang jeli melihat perubahan-perubahan tersebut.

E. Kolaborasi Seni Kriya dan Seni Kerajinan
Produk seni kerajinan dapat mengalami perubahan yang sangat cepat. Terkadang produk baru atau desain baru yang muncul belum tentu dapat dijual atau bahkan telah dianggap usang, maka produk baru tersebut harus melalui test market terlebih dahulu. Produk baru itu belum tentu laku di pasaran, meskipun laku mungkin hanya beberapa saja atau malah juga booming luar biasa. Produk semacam itu masih memerlukan langkah yang panjang untuk memperoleh kemungkinan diproduksi secara kontinyu. Memang, kenyataannya para kreator seni kriya memiliki daya kreativitas tinggi, namun sayangnya selama ini belum dapat bekerjasama dengan para perajin. Persoalan yang pelik adalah tidak adanya penghargaan yang layak terhadap para kriyawan atas jasanya dalam menciptakan produk baru. Kesadaran terhadap pentingnya produk baru dalam mendongkrak perkembangan perusahaan juga seringkali terlupakan.
Memang, selama ini antara dunia seni kriya dan seni kerajinan secara formal jarang sekali dikelola secara baik agar memiliki hubungan yang saling menguntungkan. Banyak kriyawan yang enggan berhubungan dengan para pengusaha seni kerajinan yang dianggap sebagai korporasi karena dikhawatirkan akan siap menyaplok kreativitasnya. Kriyawan merasa dirugikan. Beberapa desain yang diciptakan kemudian direproduksi oleh pengusaha itu tanpa memberikan imbalan yang layak terhadap para kriyawan. Hal inilah yang menjadi jurang pemisah antara kriyawan dan pengusaha. Memang, salah satu penyebabnya adalah pola pikir yang sangat berbeda. Kriyawan lebih berkonsentrasi pada kemampuan kesenimanannya untuk menciptakan produk baru yang sama sekali tidak mempedulikan pasar. Sementara, pengusaha orientasinya adalah keuntungan sehingga desain yang tercipta selalu dikaitkan dengan wacana pasar. Bagi pengusaha, produk yang bagus adalah produk yang laku dijual sementara bagi kriyawan produk yang bagus adalah memenuhi kriteria basic design dan kesesuaian dengan suara batin. Oleh karena itu antara kriyawan dan seni kerajinan jika digabungkan akan memiliki kekuatan yang dahsyat. Kekuatan inilah yang menjadi andalan bagi produk seni kerajinan dari Indonesia untuk memenangkan pertarungan dalam perdagangan seni kerajinan di pasar lobal. Seperti apa yang dilakukan oleh para kriyawan dari Vietnam. Mereka dapat bersatu dengan perajin. Hal itulah yang membuat Vietnam pada tahun 2005 menjadi meteor baru untuk produk seni kerajinan. Menurut Mr. Enrico, produk negara Vietnam memiliki keunikan tersendiri dan juga memiliki harga yang kompetitif.[14] Beberapa saat lamanya, dalam lima tahun, Vietnam menjadi idola para buyer yang juga sering berkunjung ke Indonesia.
Pelajaran tentang negara Vietnam menurut penulis menjadi satu model pembinaan bagi para kriyawan dan pengrajin untuk dapat berkolaborasi dalam suatu kerjasama yang saling menguntungkan. Keuntungan dari pihak kriyawan maupun dari pihak pengrajin adalah aspek pengembangan usaha yang bisa menjadi lebih baik. Kriyawan pun dapat berekspresi dan memberi arah pada pertumbuhan seni kerajinan terutama pada konteks penciptaan produk baru.

F. Penutup
Terjadi kerjasama antara pengrajin dan kriyawan dalam menciptakan produk-baru guna meraih pasar terutama konteks pasar global. Sebab pasar untuk produk seni kerajinan datang dari luar negeri. Pasar yang telah mengglobal tentu membutuhkan tata kelola perdagangan dunia yang kian hari kian rumit, seperti adanya aturan proteksi, deregulasi, dan lain sebagainya. Dengan demikian aspek persaingan pun semakin sulit dalam kancah pengembangan seni kerajinan untuk pasar global. Apalagi krisis global seperti sekarang sedang berkecamuk yang disebabkan oleh pasar Amerika yang bangkrut sehingga mengakibatkan negara-negara Eropa juga turun aspek daya belinya. Dari pengamatan pada pameran Trade Expo Indonesia (TEI) bulan Oktober 2008 lalu, barang-barang seni kerajinan yang memiliki inovasi baiklah yang dapat merebut pasar. Para buyer tetap berhati-hati tentang kemungkinan salah investasi barang. Yang paling baik adalah mengoordinasi pola pengembangan dengan cara kerjasama antara kriyawan dan seniman. Jika ini terjadi maka desain inovatif akan segera muncul dengan sendirinya. Pada gilirannya, aspek ekonomi kreatif yang sedang diwacanakan saat ini pun dapat terealisasi dengan baik.
Memang, beberapa kriyawan telah juga menjadi bagian dari korporasi seni kerajinan yang ada. Namun keberadaan mereka sebagai desainer korporasi itu belumlah memiliki arah, cenderung sesuai imajinasinya sendiri. Aspek penciptaan pun agak terganggu ketika ada intervensi dari pimpinan apalagi yang terlalu dalam. Namun demikian, beberapa kriyawan semestinya tetap secara benar mengurus perusahaannya menjadi sebuah perusahaan yang mengedepankan aspek kreativitas dan inovasi baru sehingga dapat bersaing dengan siapa pun yang ada di sekitarnya.

G. Daftar Pustaka
Adler Haymans Manurung, Wirausaha Bisnis Usaha Kecil Menengah, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2006.
“Design Meet Artisan” Craft Revival Trust, Artesanfas de Columbia S.A., Unesco, 2005.
John Naisbitt, Megatrends Asia: Delapan Megatrend Asia yang mengubah Dunia, PT Gramedia, Jakarta, 1995.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan Balai Pustaka, Jakarta, 1996.
Mudrajad Kuncoro, Ekonomi Industri Indonesia Menuju Negara Industri Baru 2030?, Penerbit Andi Yogyakarta, Yogyakarta, 2007.
Peter Dormer (ed.), The Culture of Craft: Status and Future, Manchester University Press, Distributed exclusively in the USA by St. Martin’s Press, New York, 1997.
Sp. Gustami, Proses Penciptaan Seni Kriya ”Untaian Metodologis”, Program Penciptaan Seni Pascasarjana, Institut Seni Indonesia Yogyakarta, 2004.
Soeharto Prawirokusumo, Ekonomi Rakyat (Konsep, Kebijakan, dan Strategi), Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2001.
Sugeng Bahagijo (ed.), Globalisasi Menghempas Indonesia, LP3ES dan Perkumpulan Para Karsa, Jakarta, 2002.
Tika Nurjaya (ed.), Usaha Kecil Indonesia Tinjauan Tahun 2002 dan Prospek Tahun 2003, Indonesia Small Business Research dan Perkumpulan untuk Meningkatkan Usaha Kecil bekerjasama dengan LP3ES dan Kadin, Jakarta, 2003.
Wiyoso Yudoseputro, Seni Kriya dalam Budaya Masa Kini, Pameran Seni Terapan, Jakarta, 1993-1994.
Wawancara dengan Ambar Polah pada tanggal 29 November 2008 di kantor Asmindo Yogyakarta jam 11.00 WIB.
Wawancara dengan Enrico Vacetti, importir dari Karu, Milano, Italia pada tanggal 20 November 2008 di Kasongan Bantul Yogyakarta.
[1]Disampaikan dalam Acara Seminar Akademik 2008, Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia Yogyakarta, tanggal 10-11 Desember 2008.
[2]“Design Meet Artisan” Craft Revival Trust, Artesanfas de Columbia S.A., Unesco, 2005, p. 4.
[3]Sp. Gustami, Proses Penciptaan Seni Kriya ”Untaian Metodologis”, Program Penciptaan Seni Pascasarjana Institut Seni Indonesia Yogyakarta, 2004, p. 35.
[4]Wiyoso Yudoseputro, Seni Kriya dalam Budaya Masa Kini, Pameran Seni Terapan, Jakarta, 1993-1994, p. 3.
[5]Peter Dormer (ed.), The Culture of Craft: Status and Future, Manchester University Press, Distributed Exclusively in The USA by St. Martin’s Press, New York, 1997, p. 67.
[6]Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan Balai Pustaka, Jakarta, 1996, p. 881.
[7]Adler Haymans Manurung, Wirausaha Bisnis Usaha Kecil Menengah, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2006, p. ix.
[8]Tika Nurjaya (ed.), Usaha Kecil Indonesia Tinjauan Tahun 2002 dan Prospek Tahun 2003, Indonesia Small Business Research, Perkumpulan untuk Meningkatkan Usaha Kecil bekerjasama dengan LP3ES dan Kadin, Jakarta, 2003, p. xx.
[9]Soeharto Prawirokusumo, Ekonomi Rakyat (Konsep, Kebijakan, dan Strategi), Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2001, p. 5.
[10]Wawancara dengan Ambar Polah pada tanggal 29 November 2008 di kantor Asmindo Yogyakarta jam 11.00 WIB.
[11]Mudrajad Kuncoro, Ekonomi Industri Indonesia Menuju Negara Industri Baru 2030?, Penerbit Andi Yogyakarta, Yogyakarta, 2007, p. 402.
[12]Sugeng Bahagijo (ed.), Globalisasi Menghempas Indonesia, LP3ES dan Perkumpulan Para Karsa, Jakarta, 2002, p. 22.
[13]John Naisbitt, Megatrends Asia: Delapan Megatrend Asia yang mengubah Dunia, PT. Gramedia, Jakarta, 1995, p. 4.
[14]Enrico Vacetti, importir dari Karu, Milano, Italia. Wawancara pada tanggal 20 November 2008 di Kasongan Yogyakarta.

Rabu, 26 November 2008

PASAR SENI KERAJINAN GLOBAL SEDANG “GOMBAL

PASAR SENI KERAJINAN GLOBAL SEDANG “GOMBAL”[1]
DR. Timbul Raharjo, M. Hum.

A. Awalan
Memang tahun ini situasi dunia baru tidak berpihak dengan kita, terutama ruang pasar ekspor kita yang sedang lesu akibat krisis finansial global. Situasi ini berbeda dengan saat krisis moneter tahun 1998 yang membuat negara kita banyak berubah dengan paham reformasi. Krisis 1998 adalah krisis yang membuat kenyang para produsen/eksporir yang menggunakan bahan dan ketrampilan lokal seperti yang kita lakukan (mebel dan seni kerajinan). Saat itu yang terkena krisis adalah kita sebagai produsen, namun permintaan pasar sangat meningkat luar biasa, sebab negara Indonesia menjadi negara yang sangat murah di dunia bagi importer mebel dan seni kerajinan. Hal ini diakibatkan para buyer manca Negara sangat diuntungkan dengan perubahan merosotnya nelai uang rupiah terhadap dolar. Sementara krisis 2008 yang krisis adalah pasar kita sehingga kita tidak punya kuasa untuk memperbaikinya. Dengan kata lain krisis 1998 adalah sebagai berkah, namun krisis dunia 2008 menjadi masalah.
Perubahan saat ini bagi sebagian teman pengrajin yang banyak mengekspor khususnya ke Amerika mengalami penurunan yang luar biasa. Sebagai efek nomino, maka kawasan Eropa menjadi wilayah ke dua yang terkena dampak krisis, Sementara pasar mebel dan seni kerajinan kita banyak diekspor ke dua wilayah tersebut. Maka yang terjadi adalah sebuah malapetaka bagi sebagian pengusaha yang mengandalkan pasar ekspor terutama dua wilayah tersebut. Meskipun pada periode berikutnya efek itu akan merembet ke beberapa Negara lain diluar dua wilayah tersebut. Nah selanjutnya bagaimana nasib kita?
Judul di atas Pasar Global sedang “Gombal”, adalah sebuah umpatan yang dapat kita lontarkan, akankah kita hanya menunggu, diam, stress, nglalu atau justru menjadi salah satu cobaan yang akan dilalui untuk mendapatkan kemenangan?. Marilah kita sama-sama coba untuk melihat situasinya.
B. Kondisi Buyer Saat Krisis 2008
Pada umumnya para buyer manca Negara yang datang ke Indonesia mulanya adalah mereka yang datang dengan tujuan berpariwisata. Sebagian dari mereka memperkenalkan produk Indonesia sebagai barang souvenir sebagai oleh-oleh yang diberikan pada handaitolannya maupun untuk koleksi pribadi sebagai kenang-kenangan. Oleh karena keunikannya, maka banyak menarik minat para penikmatnya untuk memilikinya. Lebih lanjut mulailah mereka memperdagangkannya sebagai barang komodite ekspor, bahkan system memasarkannya telah diperkenalkan dengan cara-cara lebih modern baik melalu pameran perdagangan maupun melalui sarana informasi dunia maya. Dengan demikian dunia bisnis mebel dan seni kerajinan menjadi salah satu andalan ekspor Indonesia. Oleh karenanya setiap kali diadakan pameran produk ekspor selalu dipenuhi dengan produk mebel dan seni kerajinan. Seperti Asmindo selalu merajai setiap even pameran, karena asosiasi ini merupakan kumpulan UKM (Usaha Kecil Menengah) yang mengandalkan kreatifitas dan ketrampilan membuat produk manufaktur sebagai komodite ekspor, bukan industri yang dikuasai oleh Negara dan konglomerasi bermodal raksasa yang malah kadang tidak terasa efek ekonomisnya bagi masyarakat.
Penyelenggaraan pameran mebel dan seni kerajinan di dalam maupun di luar negeri saat ini marak dengan agresifitas untuk menawarkan produk. Cina sebagai raksasanya ekspor dunia sangat inten memamerkan hasil produknya. Mengingat kondisi pasar lesu, sehingga terjadi over produksi di Negara Cina, mereka mengharapkan segera terserap oleh pasar, agar proses produksi terus berjalan. Ketidak seimbangan tentu menjadi kendala dimana produktifitas tetap bahkan meningkat, namun penyerapan produk terbatas atau menurun. Para konsumen seolah serentak bertiarap bersamaan, menunggu sampai kondisi membaik. Konsumen mengalami shock terhadap situasi investasi moneter yang ternyata sama sekali tidak menguntungkan. Mereka masih takut menginvestasikan ke real sector, sementara produk mebel dan seni kerajinan termasuk kebutuhan yang bersifat skunder, mereka lebih mementingkan terkecukupinya kebutuhan primer seperti makan, sandang, dan rumah. Bahkan beberapa produk primerpun terjadi penurunan, misal menurut info buyer langganan penulis produk cake di Europe terjadi penurunan berkisar 20 persen, yang menjadi pertanyaan adalah apakah mereka mengurangi makannya atau mengurangi makan jatah hewan piaraan, atau sedang berdiet, pokoknya sedang ngirit.
Jika melihat dari beberapa buyer berkunjung ke Indonesia, menurut penulis tidak terjadi penurunan jumlah, hanya saja terjadi penurunan kuantitas pembelian Mereka tetap hadir sebagai bagian kegiatan rutin mereka untuk mencari produk baru, namun daya beli sangat menurun. Dapat dilihat dari terjadinya perubahan buyer wholesaler yang banyak mengalami kemunduran dalam kuantitas pembelian, dapat dikatakan hampir 60 persen terjadi penurunan order. Hal ini diakibatkan pasokan terhadap ke beberapa toko sebagai tempat menjualnya mengalami seret jual. Pada kenyataanya konsumen (end-user) sedang tidak “royal” mengganti home asesories mereka lagi disaat krisis ini. Yang terjadi kemudian kelompok wholesaler pada beberapa saat seperti menghentikan aktifitasnya dalam pembelanjaan karena jumlahnya sedikit jika dibandingkan sebelumnya. Yang menarik kemudian adalah kelompok retailer yang datang langsung ke Negara kita, umumnya mereka memiliki sarana jual atau artshop yang dikelola sendiri, mereka cenderung dapat bereksperimen bagi barang baru yang semula hanya dikonsumsi sebagai bagian proteksi special product wholesaler banyak ditawarkan kepada retailer. Dengan demikian retailer masih memiliki peluang besar untuk memasarkannya.
Umumnya buyer mebel dan seni kerajinan datang dari America, Europe, Australia, Canada, Japan, Korea, dan lainnya. Sangat jelas sumber krisis datang dari Amerika, oleh karenanya bagi pengusaha yang hanya memiliki pasar Amerika akan segera terkena imbasnya sejak awal tahun 2008 bahkan pertengahan 2007. Kemudian pasar Europe terasa pada pertengahan tahun 2008. Sementara pasar yang biasa belum pernah dirambah memiliki karakter sendiri. Produk yang biasanya dipasarkan di America belum tentu baik jika dipasarkan ke Europe, demikian juga produk yang biasanya dijual ke Jepang belum tentu matching dengan Timur Tengah dan seterusnya. Oleh karena itu perlu waktu untuk memasarkan produk itu pada pasar tertentu. Pola hidup dan budaya menjadi sumber inspirasi utama dalam membentuk sebuah produk desain yang akan dilempar ke pasar yang baru. Oleh karenanya diperlukan research terlebih dahulu. Banyak mengalirnya produk sejenis selain dari Indonesia ke Negara yang sama tentu menjadi pertimbangan tersendiri. Sebagai contoh misalnya produk yang kita pasarkan ke Timur Tengah yang dikenal tidak terkena imbas krisis, tentu bagi penulis disain yang ditampilkan lantas bukan produk kaligrafi karena salah-salah ayat Al-Quran keliru dalam penulisannya. Umumnya produk itu akan di-screening oleh lembaga tertentu yang justru menyulitkan bahkan balik ke Indonesia sebagai barang import, seperti jika terjadi kesalahan atas fumigation standard untuk Canada maupun Australia yang terkenal ketat itu.
C. Perkiraan Solosi
Bagi penulis yang juga memproduksi barang kerajinan gerabah sangat memahami dan perlu dipahami saat seperti ini. Judulnya adalah krisis financial global, harapannya yang krisis hanya duit-nya saja, namun sector yang kasat mata tidak terlalu lama terkena imbasnya. Krisis ini adalah krisis bersama terutama Negara-negara kelas kakap dunia tentu akan segera memperbaiki sesegera mungkin dengan tata kelola yang lebih baik. Penulis yakin akhir tahun 2009 dan pada 2010 depan kondisi membaik akan terlihat. Seperti falsafah bahwa, tentu tidak selamanya usaha berada pada posisi untung terus, ada kalanya kita buntung, tapi jangan buntung terus menerus, anggab saja ini dinamika berusaha yang perlu dilalui.
Memang pangsa pasar local Indonesia cukup menjanjikan terutama wilayah-wilayah di luar Jawa. Di jawa seperti di Jakarta pasar mebel dan kerajinan telah menjadi sasaran utama, karena wilayah ini dikenal sebagai metropolis yang masyarakatnya selalu ingin bergonta-ganti mode. Namun wilayah di luar Jawa juga tak kalah bagusnya jika di kelola dengan baik. Hanya saja system transportasi antar pulau Negara kita sangat payah. Sebagai contoh untuk pengiriman container ke Australia justru lebih murah dari pada mengirim produk ke Batam atau ke Kalimantan. Belum lagi system transportasi darat kita yang banyak pungli dari preman maupun aparatnya, yang menyebabkan production cost tinggi sehingga pasar-pasar dalam negeri tidak tergarap dengan baik.
Saat ini dunia tourism di Indonesia membaik, terlihat pada hotel occupancy di beberapa titik tourism seperti di Bali terjadi peningkatan yang sangat signifikan. Hal ini menandakan dunia retail dalam negeri khususnya untuk tamu tourism meningkat. Produk-produk cinderamata akan naik daun lagi terutama yang mudah ditenteng sebagai seni bandara. Pada umumnya tamu dari Jepang dan Australia mendominasi tourism di Bali. Datangnya para tamupun menjadi permulaan rutinitas keberadaan embrio baru, sebagai pemain baru dalam bidang bisnis mebel dan seni kerajinan. Mereka generasi baru dengan cara pandang yang baru untuk membuat jaringan bisnis dengan system otak platinum yang mereka miliki. Sebagaimana sering penulis teorikan sebuah perjalanan bisnis ekspor mebel dan kerajinan di Indonesia adalah mata rantai yang tidak terlepas dari dunia pariwisata. Maka sebuah sentra seni kerajinan awalnya adalah penggarapan pada dunia pariwisata. Seorang toris yang datang ke Indonesia adalah seseorang yang pengagumi seni kerajinan mereka akan membeli di wilayah yang mereka temui seperti di Kuta Bali, maka kelompok buyer ini penulis kategorikan sebagai jenis buyer baru tergolong masih “bodoh”. Kemudian akan menjadi buyer yang “pinter” maka ia akan datang ke wilayah Tegalalang Gianyar Bali untuk mencari sumber grosirnya, Kemudian buyer yang “amat pintar” datang ke Yogyakarta, ia mencari sumber langsung dari perajin. Yang terakhir buyer yang “genius” maka ia sudah masuk ke wilayah yang lebih mendalam seperti Serenan, Jepara, Banyumulek, Pundong, dan lain sebagainya. Para buyers yang telah menjadi pekerjaan mereka akan mendatangi even pameran yang diselenggarakan baik di dalam maupun di manca Negara. Bahkan keberadaan orang asing yang mirip buyer atau mungkin investor asing yang ternyata melakukan produksi sendiri juga menjadi salah satu partner yang sekaligus pesaing sebab mereka juga melakukan promosi di dalam negeri.
D. Penutup
Nah kondisi saat ini justru kita anggab sebagai salah satu persoalan yang harus dilalui. Saatnya untuk menciptakan kreatifitas dalam menjalankan usaha mebel dan seni kerajinan. Menata perusahaan efisiensi, meningkatkan system produksi, menciptakan desain-desain yang baik. Sebab dari pengamatan yang penulis lakukan tenyata pembelian masih dilakukan oleh para buyer dengan menitik beratkan pada desain-desain yang diyakini memiliki daya jual yang baik. Daya jual terhadap produk tentu harus diciptakan produk yang sesuai dengan pasar.
Dalam situasi yang demikian, yang penulis lakukan adalah sebaliknya, penulis justru bersemangat untuk menciptakan desain baru sebagai antisipasi pasar yang sedang lesu, penulis juga beberapa hari yang lalu membuka artshop di Tegalalang Ubud Bali, sebagai bagian menjaring pasar. Dan ternyata banyak buyer yang tidak tahu di Yogyakarta ada Kasongan. Nah hidup layaknya cokromanggilingan jangan tetawa jika pas di atas (kenikmatan) dan jangan menagis jika pas di bawah (kesusahan), usahalah tetap di atas terus. Banyak salah mohon maaf , nuwun…..


Penulis:
Nama DR. Timbul Raharjo, M. Hum. Baru 2008 lulus S-3 Program Doktor di Universitas Gadjah Mada, sejak tahun 1993 mengajar di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, pada program studi Seni Kriya Jurusan Kriya. Memiliki Stodio Timboel Keramik yang berada di Kasongan Bantul. Sering bersedia diundang untuk ceramah tentang seni kerajinan maupun desain.
[1]Makalah disampaikan pada acarane Asmindo tentang pasar mebel dan seni kerajinan saat global financial crises, di Hotel Bintang Fajar tanggal 18 Nopember 2008 jam 15.00 WIB.